Akademisi dan Pakar Hukum Membedah Putusan MK No 90 Tahun 2023

Kami dari kalangan akademisi ingin menyuarakan itu, jangan sampai hukum justru dilanggar sedemikian rupa.

Akademisi dan Pakar Hukum Membedah Putusan MK No 90 Tahun 2023
Focus Group Discussion yang diselenggarakan PiJAR Yogyakarta, Sabtu (20/1/2024), di Hotel Royal Ambarrukmo Yogyakarta. (istimewa)

KORANBERNAS.ID, YOGYAKARTA – Sejumlah akademisi, pakar hukum tata negara dan hukum administrasi negara membedah kembali Putusan MK No 90 Tahun 2023 tentang Ketentuan Tambahan Pengalaman Menjabat dari Keterpilihan Pemilu dalam Syarat Usia Minimal Capres/Cawapres.

Mereka menyuarakan pendapat, telaah serta kajian-kajian saat berlangsung Focus Group Discussion (FGD) yang diselenggarakan Pijar Yogyakarta, Sabtu (20/1/2024), di Hotel Royal Ambarrukmo Yogyakarta.

Diskusi bertema Uji Examinasi Putusan MK No 90/2023, Pelanggaran PKPU No 19 Tahun 2023 yang berlangsung secara hybrid offline dan online tersebut dihadiri pembicara dari Tim Semut Merah Indonesia, Dr Dian Agung Wicaksono SH LL M dari Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada (UGM) serta Ketua PiJAR Prof Dr Nindyo Pramono SH MS didampingi Sekretaris PiJAR Saifudin Zuhri MSi.

Selian itu, juga ada pembicara seperti Dian Agung Wicaksono, Demas Brian Wicaksono serta Sunandiantoro SH MH (lawyer).

Di hadapan para intelektual serta pemerhati bidang hukum tata negara dan hukum administrasi negara, Prof Nindyo Pramono itu mengakui putusan MK tersebut sempat viral di mana-mana sehingga membuat gelisah. “Kami ingin membedah putusan itu, rasio logisnya seperti apa dan pertimbangannya kayak apa,” ungkap Prof Nindyo.

ARTIKEL LAINNYA: Perguruan Tinggi Perlu Mengkaji Sistem Demokrasi dan Pemilu

Menurut dia, hakim juga manusia. Bisa jadi putusan hakim salah dan itu normal. Persoalannya adalah adanya doktrin bahwa semua putusan hakim yang sudah inkrah harus dianggap benar. “Tetapi pada tataran akademisi putusan hakim itu kan putusan manusia, dari sisi akademisi boleh dilakukan uji eksaminasi, uji determinasi,” kata dia.

Sebagaimana yang dirasakan kalangan akademisi lainnya, Prof Nindyo mengaku prihatin tentang penegakan hukum akhir-akhir ini. “Kami dari kalangan akademisi ingin menyuarakan itu jangan sampai hukum justru dilanggar sedemikian rupa,” ucapnya.

Dia mengakui, pada masa lalu ada jargon yang mengatakan yang namanya ahli hukum itu berbuat melanggar hukum tapi tidak dihukum.

Adapun Uji Examinasi Putusan MK No 90/2023 betul-betul murni dari kalangan akademisi. “Kita melakukan diskusi uji eksaminasi putusan itu hasilnya kayak apa, ya nanti kita lihat. Jika keputusan itu salah ya salah. Tapi kan sudah ada doktrin Res judicata pro veritate habetur,” jelasnya.

Artinya, putusan hakim sekalipun keliru atau salah kalau sudah inkrah maka harus dianggap benar. Prof Nindya kemudian memberikan gambaran mengenai tahapan-tahapan proses hukum. Di tingkat pengadilan biasa ada banding atau kasasi atau peninjauan kembali.

ARTIKEL LAINNYA: KPU Bantul Mengingatkan Pemilih di TPS Khusus Jangan Lupa Mencoblos

“Tetapi putusan dari Mahkamah Konstitusi itu prinsipnya yaitu doktrin Erga Omnes,” tambahnya. Dengan kata lain, keputusan MK sudah final.

Menurut Prof Nindyo apabila putusan MK tersebut terindikasi ada pelanggaran minimal hal itu sebagai pembelajaran buat semua pihak. Prinsip, jangan sampai justru pembangunan demokrasi menjadi menurun atau tercederai hanya gara-gara pesta demokrasi yang mengandung cacat.

Dalam kesempatan itu Dian Agung Wicaksono SH LL M dari Departemen Hukum Tata Negara Fakultas Hukum (FH) UGM membeberkan tiga lembaga yang terkait erat dengan keputusan MK tersebut, yaitu Komisi Pemilihan Umum (KPU), Mahkamah Konstitusi serta Badan Pengawas Pemilihan Umum atau Bawaslu.

Dian menjelaskan, KPU memiliki peluang menganulir pendaftaran Capres-Cawapres yang tidak sesuai dengan pemaknaan putusan pluralitas tersebut pada tahapan verifikasi bakal pasangan calon.  Peluang ini dimungkinkan di dalam Pasal 230-232 UU 17/2017 tentang Pemilu. “Namun, peluang ini sudah terlewat dari tahapan Pemilu 2024 saat ini,” tandasnya.

Selain itu, kata dia, patut disangsikan juga apakah KPU berani, dalam tanda kutip, menggunakanpenafsiran putusan pluralitas tersebut untuk menilai apakah Capres-Cawapres yang diusulkan oleh partai politik dan/atau gabungan partai politik memenuhi kualifikasi dalam Putusan MK yang merupakan putusan pluralitas tersebut.

ARTIKEL LAINNYA: Pembelajaran Khas Kejogjaan untuk Menjadikan DIY Terkemuka di Asia Tenggara

Faktanya, Dian melihat KPU hanya mengikuti pendapat mainstream bahwa Putusan MK a quo memang memperbolehkan kepala daerah dengan usia di bawah 40 tahun sepanjang pernah/sedang menjabat jabatan yang dipilih melalui pemilihan umum termasuk pemilihan kepala daerah dapat diusulkan sebagai Capres-Cawapres, dibuktikan dengan perubahan PKPU Nomor 19/2023 menjadi PKPU Nomor 23/2023.

Sedangkan Mahkamah Konstitusi, menurut dia, di dalam menguji ketentuan UU 7/2017 menegaskan pada penerapan Purcell Principle -- dalam membaca putusan-putusan MK terdahulu yang menguji aturan Pemilu setelah tahapan Pemilu 2024 dimulai -- yaitu putusan-putusan MK tersebut hanya dapat diberlakukan pada Pemilu 2029, terkecuali bagi putusan-putusan MK yang berorientasi pada penyelamatan suara pemilih.

Apakah MK dinilai membuat putusan yang berlaku surut? Menurutnya, tidak sepenuhnya tepat. Dengan menegaskan Purcell Principle, MK hanya memberikan penegasan cara membaca putusan-putusan yang menguji UU Pemilu.

Khusus untuk lembaga Bawaslu, menurut dia, memiliki peluang yang disandarkan pada ketentuan di dalam Pasal 239 UU 7/2017 yang mengatur bahwa Bawaslu melakukan pengawasan atas pelaksanaan verifikasi kelengkapan dan keabsahan administrasi Pasangan Calon yang dilakukan oleh KPU.

Jika Bawaslu menemukan unsur kesengajaan atau kelalaian anggota KPU yang berakibat merugikan pasangan calon maka Bawaslu menyampaikan temuan tersebut ke KPU dan KPU wajib menindaklanjuti temuan Bawaslu.

Lagi-lagi, kata Dian, peluang tersebut sudah terlewat bila Pasal 239 hanya dimaknai untuk Verifikasi Kelengkapan Administrasi Pasangan Calon. “Kecuali Bawaslu menafsirkan ekstensif ketentuan Pasal 239 tidak terikat batas waktu karena yang diatur adalah Verifikasi Kelengkapan Administrasi Pasangan Calon dan bukan Verifikasi Kelengkapan Administrasi Bakal Pasangan Calon,” ungkapnya. (*)