Demokrasi Pancasila Dilupakan? Ini Pendapat Anggota MPR RI M Afnan Hadikusumo

Fatsun dan kesantunan berpolitik telah mulai bergeser.

Demokrasi Pancasila Dilupakan? Ini Pendapat Anggota MPR RI M Afnan Hadikusumo
Anggota MPR RI M Afnan Hadikusumo pada acara Penyerapan Aspirasi Masyarakat Empat Pilar Bernegara. (istimewa)

KORANBERNAS.ID, YOGYAKARTA -- Orang bertanya untuk apa berpolitik? Salah satu jawaban yang lugu dan sederhana barangkali diberikan oleh Aristoteles. Yaitu, tujuan politik adalah menghantarkan manusia pada hidup yang baik.

Pendapat ini disampaikan Anggota MPR RI M Afnan Hadikusumo pada acara Penyerapan Aspirasi Masyarakat Empat Pilar Bernegara, Senin (16/10/2023), di Grha Ibnu Sina SMA Muhammadiyah II Yogyakarta.

Pertanyaan ini muncul mengingat ada kecenderungan dewasa ini dikhawatirkan politik tidak didedikasikan untuk memperjuangkan kepentingan publik (rakyat). Namun masih sekadar dijadikan sebagai alat berebut kekuasaan.

“Politik sebagai kendaraan untuk memperebutkan kekuasaan ini sudah membudaya di bangsa ini. Biasa,  apabila dalam pergantian pengurus sebuah partai atau organisasi selalu sibuk dengan keributannya sendiri,” ujarnya.

Peserta Penyerapan Aspirasi Masyarakat Empat Pilar Bernegara, Senin (16/10/2023), di SMA Muhammadiyah II Yogyakarta. (istimewa)

Ini terjadi karena adanya orientasi kekuasaan yang diperebutkan. Bahkan tidak segan menggunakan cara-cara yang mengingkari hati nurani misalnya menghabisi lawan baik secara fisik maupun menghabisi karakternya (character assassination). “Fatsun dan kesantunan berpolitik telah mulai bergeser,” kata cucu Pahlawanan Nasional Ki Bagoes Hadikoesoema ini.

Sudah saatnya saat ini, lanjut dia, patut ditanamkan suatu kesadaran bahwa politik yang hendak diperjuangkan bukanlah semata politik kekuasaan melainkan suatu politik yang mengedepankan panggilan pengabdian demi kesejahteraan masyarakat luas.

“Dengan demikian, nilai-nilai luhur Pancasila dapat diimplementasikan dalam perilaku keseharian serta menjadi acuan bagi pengambil keputusan dan kebijakan,” kata Afnan.

Pada sisi lain, demokrasi yang berdasarkan Pancasila juga mensyaratkan adanya masyarakat yang kritis, yang melihat perbedaan pandangan serta perdebatan wacana antar elemen bangsa sebagai suatu kewajaran demokrasi.

ARTIKEL LAINNYA: Anggota DPD RI Afnan Hadikusumo Prihatin, Banyak Terjadi Perundungan di Sekolah

Dialektika antar elemen bangsa yang kritis, menurut Afnan, diyakini akan memperluas medan kesadaran baru dalam berbangsa dan bernegara, yang menjadikan era keterbukaan ini sebagai hal yang produktif, bukan semata pertikaian dan luapan kebencian lantaran berbeda ideologi atau pandangan.

“Bila ini berlangsung dalam suatu proses yang berkelanjutan, jelas demokrasi kita tidak akan terjebak pada sekadar prosedural, melainkan sungguh-sungguh mewarnai kehidupan keseharian sosial politik negeri ini,” ungkapnya.

Artinya, terbuka peluang melalui serangkaian tahapan dan proses itu, para politikus bermetamorfosis menjadi para negarawan.

Achid Widi Rahmanto selaku Wakil Ketua Pimpinan Daerah Muhammadiyah Kota Yogyakarta dalam kesempatan yang sama menyampaikan, demokrasi Pancasila yang dipraktikkan saat ini mulai diterapkan di Indonesia sejak pemerintahan order baru berkuasa.

Pada dasarnya, demokrasi Pancasila adalah demokrasi yang dijiwai, diwarnai, disemangati dan didasari oleh Pancasila.

ARTIKEL LAINNYA: UMY Luncurkan Program PAI untuk Cegah Generasi Strawberry

Menurut dia, di dalam demokrasi Pancasila dikenal dua cara pengambilan keputusan yaitu musyawarah mufakat dan voting. Musyawarah mufakat adalah pengambilan keputusan yang disetujui oleh seluruh peserta musyawarah.

Adapun voting adalah pengambilan keputusan dengan cara pemungutan suara terbanyak. Voting dilakukan bila dalam musyawrah tidak menemui kata mufakat.

Akan tetapi, lanjut dia, dalam musyawarah harus terlebih dahulu diusahakan mencapai kata mufakat. Apabila tidak tercapai, barulah dilaksanakan voting.

“Suatu musyawarah harus dilakukan secara demokratis. Maksudnya, dalam suatu musyawarah setiap orang mempunyai hak untuk mengemukakan pendapatnya. Apabila pendapat-pendapat tersebut tidak mungkin lagi menemukan kata mufakat, Baru bisa dilakukan voting. Dengan demikian, musyawarah tersebut benar-benar diliputi nilai-nilai demokrasi,” kata Achid. (*)