Sebuah Refleksi Pendidikan yang Berakar pada Kehidupan
Seperempat Abad Sanggar Anak Alam
KORANBERNAS.ID, BANTUL -- Di tengah lajunya kompetisi dunia pendidikan yang semakin mengejar angka dan sertifikat, sebuah perayaan sederhana di Nitiprayan, Bantul, mengingatkan kita bahwa sekolah bisa menjadi ruang untuk kembali “belajar hidup”.
Sanggar Anak Alam (SALAM) merayakan seperempat abad perjalanannya sebagai ruang pendidikan alternatif yang tak hanya mengajar, tapi merawat tumbuh kembang anak—sebagai manusia seutuhnya.
Bukan sekadar ulang tahun, peringatan seperempat abad ini dibalut dalam suasana reflektif bertajuk “Robohnya Sekolah Rakyat Kami”, meminjam judul cerpen legendaris AA Navis, Robohnya Surau Kami.
Bagi komunitas SALAM, ini bukan seremoni penuh gegap gempita, tapi undangan untuk diam sejenak, menunduk di hadapan waktu, dan mendengar kembali nafas anak-anak yang kerap tenggelam di balik tuntutan kurikulum.
Sri Wahyaningsih, pendiri dan pembina SALAM, menyebut usia 25 tahun ini sebagai ruang kontemplasi.
“Tanpa dukungan masyarakat, SALAM tidak akan pernah bisa hadir seperti sekarang,” ujarnya saat membuka perhelatan 25 Tahun SALAM di Nitiprayan, Yogyakarta.
SALAM sendiri lahir dari keresahan personal—dari protes sang anak, yang merasa ditinggalkan oleh orang tuanya yang sibuk bekerja. “Dia bilang, ‘Ibu dan Bapak tidak bertanggung jawab. Saya mau ikut Eyang.’ Itu titik balik bagi kami,” kenang Wahya.
Dari pengalaman itu, Wahya dan suaminya, Toto Rahardjo, membangun SALAM bersama masyarakat. Mereka menemukan bahwa banyak anak putus sekolah bukan karena tak mampu secara ekonomi, tapi karena sistem formal tak memberi ruang bagi keberagaman cara belajar.
“Kami tidak pernah membayangkan membuat sekolah. Tapi dari diskusi-diskusi warga, kami sadar bahwa kami perlu ruang belajar yang bisa menerima semua cara anak tumbuh,” kata Wahya.
Sementara, Toto Rahardjo dalam tulisan 25 Tahun SALAM menyentil kenyataan pahit pendidikan di negara kita.
“SALAM lebih sering ditanya soal ijazah daripada makna. Lebih sering diminta laporan daripada didoakan keselamatan,” ucapnya.
Di SALAM, anak-anak bukan murid, tapi sedulur—bukan wadah kosong, tapi mata air kehidupan.
Selama dua dekade lebih, SALAM menempatkan anak sebagai subjek pembelajaran yang tumbuh dari tanah dan kehidupan sekitar: menanam, mendengarkan semut, memahami gugurnya daun.
"Proyek mereka bukan demi nilai rapor, tapi demi memahami diri, bumi, dan sesama," lanjutnya.
Acara diisi dengan pertunjukan seni, pameran dokumentasi, diskusi terbuka, dan cerita dari alumni—sebuah cermin tentang bagaimana pendidikan bisa tumbuh organik dari akar warga.
Toto menutup refleksi dengan kalimat yang menggugah: “SALAM tidak didirikan untuk mengganti sekolah, tapi untuk mengingatkan. Bahwa anak-anak masih bisa belajar sambil tertawa, menari, bertani, dan menyapu daun.”
Dan selama SALAM masih berdiri, harapan itu tetap menyala—bahwa pendidikan bisa kembali menjadi ibadah, bukan industri.
Sementara Ketua Panitia Agus Setyo Bomo mengatakan, perayaan ini dirancang sejak awal tahun oleh panitia kecil yang bekerja secara gotong royong.
Perayaan ini juga menjadi momentum untuk menengok kembali nilai-nilai dasar pendidikan di SALAM, yang menempatkan anak sebagai subjek pembelajaran, menjunjung tinggi keberagaman, serta berakar pada konteks lokal.
“Terima kasih kepada Ibu Wahya yang 25 tahun lalu mempercayakan SALAM untuk tumbuh di sini," ujarnya.
Dia melanjutkan, bahwa perayaan ini bukan sekadar pesta ulang tahun, tetapi juga ruang bersama untuk merawat semangat belajar dan berkarya dalam komunitas.
“Sejak Januari kami mulai merancang, bukan hanya soal selebrasi, tapi bagaimana ulang tahun ke-25 ini bisa menjadi titik refleksi bersama. Teman-teman bahkan lembur sampai malam untuk mempersiapkan semua detail. Ada yang ngurus panggung, konsumsi, dokumentasi—semuanya dikerjakan bareng-bareng,” ujar Bomo.
Selain pertunjukan seni, acara juga diisi dengan pameran dokumentasi perjalanan SALAM, diskusi terbuka, dan ruang berbagi cerita dari alumni. Kegiatan ini menunjukkan bagaimana SALAM tetap konsisten sebagai ruang pendidikan alternatif yang tumbuh organik bersama masyarakat.
“SALAM bukan hanya tentang belajar di kelas, tapi juga tentang belajar hidup bersama. Kita merayakan bukan hanya 25 tahun institusi, tapi juga 25 tahun keberanian untuk terus mencoba cara-cara baru dalam mendampingi tumbuhnya anak-anak,” imbuh Bomo.
“Bukan soal selebrasi semata, tapi ruang untuk merawat semangat belajar dan berkarya dalam komunitas,” tandasnya. (*)