Meskipun Anggaran Dipotong, Keraton Yogyakarta tetap Mempertahankan Kegiatan Budaya
KORANBERNAS.ID, YOGYAKARTA -- Di tengah efisiensi dan pemotongan anggaran pemerintah yang memaksa pembatalan sejumlah acara di seluruh Yogyakarta, Karaton Ngayogyakarta Hadiningrat tetap teguh dalam komitmennya untuk mempertahankan upacara tradisional yang telah menjadi vital bagi pariwisata daerah.
Komitmen ini disampaikan GKR Bendara, Penghageng Nityabudaya Keraton Yogyakarta di sela acara International Symposium on Javanese Culture 2025, yang diselenggarakan pada 12-13 April di Royal Ambarrukmo Yogyakarta. Dia pun menyinggung perpaduan antara pelestarian budaya dan pariwisata di tengah kendala keuangan.
"Banyak acara di Jogja yang berguguran tahun ini dikarenakan efisiensi. Namun Hajad Dalem akan tetap digelar. Hajad Dalem bukan atraksi pariwisata, tapi tetap bisa menarik wisatawan untuk datang ke Jogja," paparnya.
Sikap keraton ini merepresentasikan keseimbangan antara kewajiban budaya dan realitas ekonomi. Meski upacara tradisional seperti Garebeg dan Labuhan tidak dirancang terutama sebagai atraksi wisata, namun kegiatan tersebut telah menjadi komponen penting dalam lanskap pariwisata budaya di Yogyakarta.
"Hajad Dalem itu bukan objek wisata. Itu memang wajib kami laksanakan setiap tahun ada anggarannya atau tidak dari dais (Dana Keistimewaan- red) atau tidak, itu akan selalu kami laksanakan," tegas GKR Hayu, Penghageng Tepas Tandha Yekti di Keraton Yogyakarta."
Menurut GKR Hayu, Sultan Yogyakarta sebelumnya menekankan bahwa Keraton harus bekerja menuju kemandirian, pesan yang menjadi urgensi baru dalam iklim ekonomi saat ini.
Simposium, yang kini memasuki tahun ketujuh, mempertemukan peneliti, akademisi, dan praktisi budaya untuk mendiskusikan pelestarian tradisi istana. Tema tahun ini berfokus pada "aparatur nagari", mengkaji fungsi administratif dan operasional historis Keraton.
Analis industri pariwisata mencatat bahwa upacara Keraton Yogyakarta terus menarik pengunjung domestik dan internasional yang terpesona oleh warisan hidup dari salah satu kesultanan yang paling signifikan secara budaya di Indonesia.
Simposium ini juga menampilkan pameran yang memamerkan artefak sejarah dan dokumentasi terkait dengan pejabat istana dan peran mereka sepanjang sejarah.
GKR Hayu menjelaskan bahwa tema pameran dipilih dengan hati-hati untuk menyeimbangkan minat akademis dengan daya tarik publik, dengan tema tahun depan yang akan diumumkan pada hari terakhir simposium.
Terlepas dari tantangan finansial, Keraton Yogyakarta tetap berkomitmen pada upaya dokumentasi, memanfaatkan teknologi modern untuk melestarikan tradisi yang mungkin memudar seiring waktu.
Pada saat pemerintah daerah di seluruh Indonesia menerapkan langkah-langkah efisiensi sebagai respons terhadap tekanan ekonomi, pendekatan Yogyakarta untuk mempertahankan upacara budaya dapat menawarkan model untuk melestarikan warisan sambil mendukung ekonomi lokal yang bergantung pada pariwisata. (*)