Revolusi Tosan Aji, Ketika Jeruji Motor Bekas dan Knalpot Menjelma Keris
Keris ditampilkan dengan pendekatan seni rupa dan instalasi modern, tanpa ornamen-ornamen yang bersifat magis atau menakutkan.
KORANBERNAS.ID, YOGYAKARTA -- Di tengah hiruk pikuk Kota Yogyakarta, sebuah revolusi sunyi tengah berlangsung. Bukan revolusi politik atau teknologi, melainkan revolusi budaya yang memadukan warisan leluhur dengan kesadaran lingkungan.
Jeruji bekas roda motor, potongan besi tua bahkan knalpot bekas -- semua bermetamorfosis menjadi keris yang tak hanya indah, tetapi juga bermakna.
Grha Budaya di Taman Budaya Embung Giwangan menjadi saksi perubahan paradigma dunia perkerisan Indonesia. Sejak 29 Mei hingga 4 Juni 2025, pameran Lumur Wesi Aji yang diselenggarakan Perkumpulan Lar Gangsir memberikan perspektif baru tentang tosan aji -- bukan lagi sekadar pusaka yang disimpan dalam lemari kaca, melainkan karya seni kontemporer yang merespons tantangan zaman.
Lumur Wesi Aji -- istilah yang merujuk pada jenis besi dalam pembuatan keris yang diyakini memiliki daya tuah ekologis dan spiritual -- menjadi tajuk yang tepat untuk menggambarkan semangat pameran ini.
Intan Anggun Pangestu di antara karya Keris Patrem Ron Gandhung dan Keris Patrem Ron Wening yang dibuatnya dari baja dan knalpot bekas. (muhammad zukhronnee muslim/koranbernas.id)
Kurator Hedi Hariyanto menegaskan, ini bukan sekadar etalase visual keris kontemporer tetapi ruang reflektif tentang bagaimana warisan budaya tosan aji dapat terus hidup dan relevan di masa kini.
Konsep recycle yang diusung dalam proyek Reka Cipta #2 bukanlah sekadar tren ramah lingkungan. Lebih dari itu, ini merupakan ajakan kepada para empu muda untuk melihat potensi keindahan dalam benda-benda yang telah dibuang.
"Pelestarian keris bukan hanya soal melestarikan peninggalan masa lalu, tetapi juga menjaga keberlanjutannya di masa depan. Salah satu caranya adalah dengan mendorong munculnya karya-karya baru dari empu muda yang kreatif," ujar Anusapati, Direktur Program Reka Cipta #2, menjelaskan filosofi di balik pendekatan ini kepada wartawan di sela pameran, Kamis (28/5/2025).
Proyek yang didanai Kementerian Kebudayaan melalui Dana Indonesiana ini melibatkan riset dan dokumentasi mendalam terhadap empat empu muda potensial.
Potensi artistik
Ada Ghodo Priyantoko dari Wonosari, Puryadi dari Gunungkidul, Intan Anggun Pangestu dari Solo dan Tukirno Bhrontho Sutejo dari Yogyakarta. Keempatnya dipilih berdasarkan potensi artistik serta kontribusi mereka terhadap pengembangan keris dalam konteks kekinian.
Selain keempat empu tersebut, sepuluh empu lainnya juga diundang untuk menciptakan karya baru yang secara khusus merespons tema daur ulang. Kebebasan artistik yang diberikan menghasilkan karya-karya mengejutkan -- dari penggunaan besi bekas kendaraan hingga sisa bahan bangunan sebagai material utama.
Paduan bahan-bahan tersebut menciptakan pola pamor baru yang tidak hanya estetis, tetapi juga membawa pesan kuat tentang keberlanjutan.
Upaya ini juga menjadi bagian dari misi menghapus stigma negatif tentang keris yang selama ini dikaitkan dengan hal mistik atau kekerasan dalam sinetron dan film. Anusapati menekankan pentingnya menciptakan suasana baru yang lebih terbuka, inklusif dan kontemporer.
Tanpa ornamen
"Kita ingin menciptakan suasana baru yang lebih terbuka, inklusif dan kontemporer," ujarnya.
Dalam pameran ini, keris ditampilkan dengan pendekatan seni rupa dan instalasi modern, tanpa ornamen-ornamen yang bersifat magis atau menakutkan.
Pendekatan ini sejalan dengan perkembangan dunia pendidikan, seperti Program Studi Senjata Tradisional di ISI Surakarta, yang telah melahirkan sarjana-sarjana keris dan menjadi motor pelestarian di tingkat akademik.
"Peran mereka sangat besar dalam meneruskan tradisi ini secara ilmiah dan berkelanjutan," kata Anusapati.
Terus berkembang
Dia mengakui karya-karya yang dihasilkan "memang mungkin belum sampai pada karya masterpiece seperti zaman dahulu, tetapi inilah generasi penerus yang kami dorong untuk terus berkembang."
Dia menekankan pentingnya memberikan tantangan dan dukungan kepada empu muda agar terus bereksperimen dan menciptakan karya yang segar dan relevan.
Salah satu aspek paling menarik dari pameran ini adalah kehadiran sosok Intan Anggun Pangestu, perempuan empu berusia 31 tahun yang mengajar di Institut Seni Indonesia (ISI) Surakarta.
Dalam dunia perkerisan yang selama ini identik dengan maskulinitas dan dominasi laki-laki, Intan membuktikan bahwa perempuan juga memiliki tempat dalam warisan budaya yang sarat nilai filosofis ini.
Tidak terduga
Perjalanan Intan dimulai secara tidak terduga pada tahun 2012, ketika menerima beasiswa masuk Program Studi Senjata Tradisional ISI Surakarta.
"Awalnya saya tidak punya latar belakang seni, keluarga saya pun bukan seniman," ujarnya. Namun, sebuah kisah loral dari ayahnya mengubah segalanya -- dia baru mengetahui bahwa buyut-nya adalah seorang empu.
"Karya-karyanya sudah dikoleksi orang lain. Itu menginspirasi saya untuk menekuni dunia keris," lanjutnya.
Menjadi satu-satunya perempuan di prodi tersebut pada masanya, Intan menantang konstruksi sosial yang selama ini melekat pada profesi empu. Berdasarkan penelusurannya, setidaknya ada lima empu perempuan di Indonesia, termasuk di Madura.
Makna kehidupan
Karya-karya Intan tak hanya bicara tentang bentuk, tetapi juga makna. Dalam pameran ini, dia mengeksplorasi simbolisme pernikahan dan makna kehidupan melalui keris yang dibuatnya.
Salah satunya menggunakan daun pisang sebagai simbol perempuan yang mengalami kelahiran kembali, baik sebagai ibu, praktisi, maupun profesional lain. Keris-keris tersebut menggunakan bahan seperti baja, kayu cendana, dan bahkan knalpot bekas sebagai pengganti nikel untuk mendukung tema industrial.
"Meskipun saya Kristen, dalam proses pembuatan keris tetap ada doa yang saya panjatkan. Tapi saya tidak menggunakan sesaji atau laku-laku khusus," jelasnya.
Bagi Intan, esensi spiritual tetap terjaga, meskipun dengan pendekatan yang berbeda dari kebiasaan tradisional.
Sebagai peneliti
Intan berharap makin banyak perempuan Indonesia yang terlibat dalam pelestarian keris, tak hanya sebagai pembuat, tapi juga sebagai peneliti, antropolog, maupun sejarawan. "Saya ingin perempuan Indonesia melihat bahwa mereka juga bisa berkarya di ranah ini," tegasnya.
Dengan pengalaman lebih dari satu dekade, Intan kini aktif mengajar di kampus dan juga mengenalkan keris kepada anak-anak. "Dari tidak tahu sama sekali, saya belajar dari nol. Sekarang saya ingin membagikan ilmu itu agar generasi mendatang juga peduli dan menghargai budaya ini," jelasnya.
Reka Cipta #2 tidak berhenti pada pameran visual. Berbagai kegiatan edukatif dihadirkan untuk memperdalam pemahaman publik tentang tosan aji, mulai dari Tur Kuratorial bersama Hedi Hariyanto (30 Mei 2025), Lokakarya #2: Menempa Besi bersama Empu Tukirno B Sutejo (1 Juni 2025), hingga Lokakarya & Diskusi Publik: Melukis Warangka dan Tosan Aji (3 Juni 2025).
Diskusi publik menghadirkan narasumber kompeten seperti Ir Agris Setiawan S Pd T M Eng (Dosen Teknik Metalurgi UPN Yogyakarta) dan Intan Anggung Pangestu (Seniman Reka Cipta #2), dengan moderator Alexandri Luthfi (Pegiat Tosan Aji). Selain itu, Pasar Sasen juga hadir untuk memberikan ruang bagi pelaku ekonomi kreatif di bidang kerajinan tradisional.
Jati diri
Melalui Lumur Wesi Aji, penyelenggara berharap pameran ini menjadi medium untuk menggugah kesadaran publik akan pentingnya merawat, menghidupkan dan mengembangkan kembali tosan aji sebagai bagian bermakna dari sejarah dan jati diri Nusantara.
Di tengah tren global yang menuntut keberlanjutan dan inovasi, keris sebagai warisan budaya Indonesia mendapat nafas baru. Bukan lagi sekadar simbol masa lalu, melainkan karya seni yang hidup, berkembang, dan terus relevan dengan zaman.
Jeruji motor bekas yang bermetamorfosis menjadi keris adalah bukti bahwa tradisi dan modernitas dapat berdampingan, saling memperkaya, dan bersama-sama menjawab tantangan masa depan. (*)