Dua Profesor, Kurator dan Fotografer Senior Menelanjangi Karya Anang Batas

Ternyata niat menelanjangi karya Anang Batas gagal. Semua memuji. Tidak ada celaan.

Dua Profesor, Kurator dan Fotografer Senior Menelanjangi Karya Anang Batas
Diskusi menelanjangi karya Anang Batas di Sangkring Art Space, Minggu (27/4/2025). (sholihul hadi/koranbernas.id)

KORANBERNAS.ID, BANTUL -- Dua orang guru besar masing-masing Prof Dr Paschalis Maria Laksono MA (Antropologi) serta Prof Ir Ign Pramana Yuda M Si Ph D (Konservasi) mengupas tuntas karya-karya fotografi seniman Anang Batas.

Karya-karya spektakuler yang dipamerkan di Sangkring Art Space Jalan Nitiprayan, Sanggrahan Ngestiharjo Kasihan Bantul 12-28 April 2025 itu bahkan ditelanjangi habis-habisan, Minggu (27/4/2025), sehari menjelang pameran berakhir.

Tak hanya guru besar, pada panggung khusus yang didirikan di lokasi pameran, ada pula fotografer senior Risman Marah dan kurator seni rupa Dr Suwarno Wisetrotomo M Hum. Keduanya juga mengupas tuntas karya-karya yang dipamerkan bertema Nest To Meet You itu.

Kepada wartawan, Anang Batas menyampaikan dirinya memang sengaja memberikan kesempatan narasumber, tamu, maupun audience lewat kanal youtube maupun TikTok agar memberikan kritik, cacian, makian, hujatan bahkan bully dari perspektif masing-masing.

Anang Batas (kanan) saat diminta naik panggung menjelang diskusi. (sholihul hadi/koranbernas.id)

Dirinya sudah bersiap jauh-jauh hari menerima apapun, meski asam uratnya sempat kambuh dan bersyukur hari itu sembuh.

"Terserah mau mencaci atau menghujat karya saya, saya sudah siap mental menerima masukan. Ini untuk pembelajaran ke depan, selain buat saya sendiri juga untuk bareng-bareng,"  ungkapnya.

Sejak awal, niatnya pameran fotografi memang tidak semata-mata bisnis melainkan membawa misi konservasi terhadap burung-burung langka. "Laku tidak laku, itu urusan nanti. Saya lebih menikmati prosesnya. Soal hasil itu bukan urusan saya lagi,"  kata Anang.

Menyampaikan kritiknya, Risman Marah, mengaku dirinya tidak sabar memotret burung karena harus sabar menunggu. "Saya berharap foto-foto Mas Anang ini tidak setingan tapi betul-betul dicari di alam liar," katanya.

Melukis on the spot, melengkapi acara diskusi menelanjangi karya Anang Batas. (sholihul hadi/koranbernas.id)

Sebab di Jakarta sudah ada studio burung. Cukup dengan kode sempritan burung keluar dan fotografer tinggal menyiapkan kamera. Selain itu, kadang-kadang pula ada fotografer yang akal-akalan tidak mengindahkan kode etik dan etika.

Prof Pramana Yuda menyatakan dirinya justru memperoleh informasi soal konservasi burung dari karya-karya Anang Batas. "Beberapa foto sangat detail jenis makanannya apa, itu yang tidak diperoleh peneliti burung di kampus,"  katanya.

Sedangkan Soewarno menyatakan karya-karya Anang Batas memberikan "gangguan" karena mempertemukan konservasi dengan seni. "Ini mengingatkan kita untuk mengangkat isu-isu tentang alam, konservasi dan krisis iklim," ungkapnya kepada wartawan.

Menurut dia, yang kurang dari karya-karya adalah perluasan medium. Artinya, jangan berhenti pada cetak foto kemudian dipamerkan. Itu belum cukup. Isu konservasi perlu amplifikasi dan diledakkan supaya banyak pihak mengetahui ada problem serius di sana.

Pelajaran kebudayaan

Dalam kesempatan itu Prof Paschalis Laksono menyatakan karya-karya Anang Batas bukan hanya sekadar aktivitas burung di dalam sarang melainkan itulah sebenarnya aktivitas inti dari kehidupan sekaligus intisari dari pelajaran kebudayaan.

"Foto atau image sarang itu adalah pilihan yang sangat tepat bila belajar kebudayaan," ujarnya. Dia sepakat, di balik karya itu ada kejujuran, kesabaran serta sesuatu yang istimewa dan memberi inspirasi.

Menjelang diskusi berakhir, Risman Marah menyatakan ternyata niat menelanjangi Anang Batas gagal.
"Malah semua memuji. Tidak ada celaan. Adanya harapan untuk lebih sempurna ke depan, lebih giat, lebih kencang lagi. Kalau saya, nasihatnya lebih terkonsep lagi jangan hanya teknis aku isa motret apik tetapi di balik itu semua harus ada perjuangan yang kita angkat," kata Risman Marah. (*)