Sekolah yang masih Menjadi Tempat Memanusiakan Manusia

# Refleksi 25 Tahun SALAM
Sekolah yang masih Menjadi Tempat Memanusiakan Manusia
Sabrang Mowo Damar Panuluh dan Kiai Kanjeng saat tawasulan dalam peringatan 25 tahun Sanggar Anak Alam (SALAM) Nitiprayan, Yogyakarta. (anggarakzza rayyi untuk koranbernas.id)  

KORANBERNAS.ID, BANTUL -- Di tengah lajunya dunia pendidikan yang berlomba mengejar standar nilai dan prestasi akademik, ada sebuah sekolah kecil di Bantul, Yogyakarta, yang justru mengajarkan anak-anaknya mendengarkan semut dan memahami kenapa daun gugur tanpa gaduh. Sekolah itu bernama SALAM (Sanggar Anak Alam), yang baru saja merayakan 25 tahun perjalanannya dengan penuh renungan.

"SALAM tidak sedang merayakan sukses. Ia sedang merenung. Karena dalam 25 tahun itu, lebih banyak keraguan daripada tepuk tangan. Lebih sering dicurigai daripada dipahami," ujar Toto Rahardjo, Pengarah SALAM, dalam refleksi 25 tahun SALAM yang digelar pada 18-20 Juni 2025.

Kalimat pembuka yang menohok itu bukan keluhan, melainkan cerminan perjalanan panjang sebuah lembaga pendidikan yang memilih jalan berbeda. Pada era di mana ijazah menjadi tolok ukur utama, SALAM justru lebih sering diminta laporan daripada didoakan keselamatan.

Filosofi Sedulur, bukan Murid

Yang membuat SALAM unik bukan hanya metode pembelajarannya, tapi filosofi dasarnya. Toto menegaskan bahwa di SALAM, anak-anak bukan murid, tapi "sedulur" - istilah Jawa yang berarti saudara. Mereka bukan wadah kosong yang harus diisi pengetahuan, melainkan mata air yang perlu dijaga alirannya agar tetap jernih dan mengalir natural.

"Mereka belajar menumbuhkan tanaman, menakar air mata, mendengarkan semut, dan memahami kenapa daun gugur tanpa gaduh. Mereka belajar dari kehidupuan, bukan dari buku paket," jelasnya dengan nada yang penuh makna.

Namun, perjalanan 25 tahun SALAM tidak selalu mulus. Toto mengajak semua pihak untuk jujur bertanya: apakah sekolah yang lembut, sabar, dan tidak terburu-buru masih punya tempat di dunia yang makin keras kepala dengan logika industri?

"Robohnya sekolah rakyat kami... mungkin bukan karena gedungnya lapuk, tapi karena jiwanya dijebak. Karena rakyat disuruh ikut sistem yang dibuat tanpa partisipasi. Karena guru hanya dijadikan alat ukur prestasi, bukan pejuang karakter," ucapnya dengan nada prihatin.

Kritik ini bukan tanpa dasar. Selama 25 tahun, SALAM memang lebih sering diminta menunjukkan ijazah daripada ditanya tentang konteks pembelajaran. Lebih sering diminta laporan formal daripada didoakan keselamatan dalam menjalankan misi pendidikannya.

Toto mengibaratkan SALAM seperti nabi yang datang bukan membawa ajaran baru, melainkan menyempurnakan. SALAM mewartakan kabar baik bahwa anak-anak masih bisa jadi anak-anak, bahwa belajar bisa dilakukan sambil tertawa, bertani, menari, berpuisi, bahkan menyapu daun.

Konsep ini ternyata memiliki akar yang dalam. Sabrang Mowo Damar Panuluh, yang lebih dikenal sebagai Noe Letto, dalam sesi tawasulan bersama mengungkap filosofi dasar SALAM.

"Konsep pertama SALAM adalah pemahaman bahwa orang tua adalah guru pertama dan guru adalah orang tua kedua. Jadi orang tua dan guru sama-sama mendidik anak, tidak sebagai entitas yang terpisah tapi sebagai entitas yang saling menyambung untuk memberi pembelajaran," ungkap musisi yang juga putra dari budayawan Emha Ainun Najib.

Dari Memahami hingga Mendesain

Dalam paparannya yang mendalam, Sabrang menguraikan konsep pembelajaran SALAM yang terdiri dari tiga tahap fundamental. Pertama, memahami sebab akibat - mengapa sesuatu terjadi dan apa konsekuensinya. Kedua, mengalami sebab akibat - merasakan langsung bagaimana sebuah tindakan menghasilkan dampak tertentu. Ketiga, mendesain sebab untuk mendapatkan akibat yang diharapkan.

"Semua teori di sekolah sebenarnya adalah teori tentang sebab akibat agar kita paham ilmu. Tapi anak-anak jarang diajari bagaimana mendesain sebab sehingga mendapatkan akibat yang mereka inginkan," jelasnya.

Metode ini terlihat sederhana, namun implementasinya membutuhkan fasilitator yang luar biasa. Bukan guru yang mengajar dengan kurikulum kaku, melainkan pendamping yang mampu menerjemahkan ketertarikan alami anak menjadi pembelajaran yang bermakna.

Sabrang memberikan contoh konkret: seorang anak yang tertarik dengan sepeda. Alih-alih dipaksa belajar matematika di kelas, fasilitator SALAM akan membantunya memahami konsep roda, gir, kecepatan, bahkan geometri melalui ketertarikannya pada sepeda tersebut.

"Kalau dia tertarik, ilmunya nempel di kepala otomatis. Kalau dia tidak tertarik, tidak akan nempel. Dan itu bukan klaim, itu fakta ilmiah," tegasnya.

Relevansi pada Era Artificial Intelligence

Yang menarik, apa yang selama ini dianggap "aneh" dari metode SALAM justru sangat relevan untuk menghadapi era Artificial Intelligence (AI). Sabrang yang mengaku sudah "teriak-teriak" tentang AI hampir dua tahun lalu, melihat kesesuaian yang mengejutkan antara filosofi SALAM dengan kebutuhan masa depan.

"AI adalah mesin yang punya kemampuan menjawab, pinter banget jawabnya. Sementara pendidikan formal sekarang melatih anak untuk menjawab. Ketika datang mesin penjawab yang pintar banget, orang yang pandai menjawab gunanya semakin sedikit," analisisnya tajam.

Di sinilah keunggulan anak-anak SALAM terlihat. Mereka dilatih bukan untuk menjawab pertanyaan yang sudah disiapkan guru, melainkan untuk mengajukan pertanyaan dari keingintahuan mereka sendiri. Mereka terbiasa mengeksplorasi, mengekspresikan diri, dan penuh keingintahuan.

"AI tidak akan mengeluarkan apapun kalau orangnya tidak mampu bertanya. Orang-orang yang penuh keingintahuan, anak-anak yang mengekspresikan dirinya, yang pengin mengejar mimpinya adalah anak-anak yang terlatih untuk bertanya pada situasi," jelasnya.

Sabrang memberikan contoh sederhana namun mengena: dalam kelas formal, ketika guru bertanya "ada pertanyaan?", sangat sedikit tangan yang terangkat. Hal yang sama terjadi di seminar atau kampus. Mengapa? Karena membuat pertanyaan jauh lebih susah daripada menjawab.

"Kalau menjawab itu menggali apa yang kita miliki. Kalau bertanya, kita harus tahu apa yang kita tidak miliki. Berarti harus tahu apa yang kita miliki sehingga tahu apa yang kita tidak miliki," urainya.

Tidak Mudah Direplikasi

Keunikan SALAM ternyata juga menjadi tantangan tersendiri. Berbeda dengan sekolah franchise yang mudah dibuka cabang di mana-mana, SALAM sangat sulit direplikasi. Alasannya sederhana: konsep dasar yang mengharuskan keterlibatan penuh orang tua.

"Toto tidak mau bikin cabang karena orang tua harus terlibat. Konsep pertama tadi: orang tua adalah guru pertama, guru adalah orang tua kedua. Jadi tidak bisa dipisah. Kalau orang tuanya tidak tertarik mendidik anaknya dengan cara seperti ini, ya susah," jelas Sabrang.

Meski begitu, ada beberapa sekolah yang mencoba mengadaptasi filosofi SALAM dengan caranya sendiri, seperti Sekolah Motekar di Ciamis. Sabrang menyebutnya sebagai "cabang ideologi, bukan cabang ekonomi" dari SALAM.

Hasil dari pendidikan model SALAM terlihat jelas pada anak-anak didiknya. Mereka tidak takut naik panggung, mengekspresikan diri, tidak takut salah karena dari kecil lebih diajari untuk berekspresi dan mencari tahu daripada untuk mencari benar-salah.

Dalam refleksinya, Sabrang menekankan bahwa 25 tahun bukanlah waktu yang sebentar. Ini bukan lagi percobaan, melainkan dedikasi hidup Toto Rahardjo dan istrinya, Sri Wahyaningsih yang akrab dipanggil Wahya.

"Sepertinya ini dedikasi hidup Pak Toto dan Bu Wahya. Penghargaan kepada beliau berdua yang sudah sangat banyak pengalaman di bidang sosial dan mendedikasikan hidupnya untuk pendidikan model seperti di SALAM," ucapnya sambil mengajak peserta memberikan tepuk tangan.

SALAM memang bukan sekadar sekolah. Seperti yang dikatakan Sabrang, SALAM adalah "monumen inspirasi bahwa orang Indonesia tetap mau berjuang untuk dirinya dengan caranya sendiri."

Pada era di mana pendidikan semakin terkotak dalam urusan ilmu pengetahuan semata, SALAM mengingatkan bahwa pendidikan sejati adalah mendidik manusia seutuhnya. Ilmu pengetahuan memang penting, tapi itu hanya sebagian kecil dari pendidikan, karena ilmu bisa didapat di mana saja.

Yang terpenting adalah bagaimana membentuk karakter, mengembangkan keingintahuan, dan mempersiapkan anak-anak untuk beradaptasi dengan segala macam lingkungan dan tantangan zaman - termasuk era AI yang sudah di depan mata.

Ketika dunia pendidikan berlomba-lomba mengadaptasi teknologi AI, SALAM justru tenang karena sejak awal sudah mempersiapkan anak-anak dengan kemampuan yang tidak bisa digantikan mesin: kemampuan bertanya, berempati, dan menjadi manusia yang utuh.

Dua puluh lima tahun SALAM adalah bukti bahwa jalan yang berbeda, meski penuh tantangan dan kecurigaan, bisa menghasilkan sesuatu yang bermakna. 

Bukan hanya untuk anak-anak yang belajar di sana, tapi juga sebagai inspirasi bahwa pendidikan masih bisa menjadi tempat memanusiakan manusia, bukan sekadar mencetak lulusan yang siap pakai di industri. (*)