Memuliakan Tanah Lewat Panggung, Tafsir Teater atas Warisan yang Terancam
Parade Teater Linimasa #8, 20 Juli 2025
KORANBERNAS.ID, YOGYAKARTA — Tanah bukan hanya soal kepemilikan. Ia adalah ingatan, ritus, rumah, hingga tubuh peradaban yang perlahan-lahan tergerus oleh modernitas dan komodifikasi. Gagasan besar ini yang menjadi nafas dari gelaran Parade Teater Linimasa #8 di Taman Budaya Yogyakarta (TBY), yang digelar mulai 20 Juli 2025.
Melalui tema “Tanah, Pewarisan, dan Problematika Ruang Tinggal”, teater menjadi medium untuk menggali kembali makna tanah—bukan sebagai benda mati, tetapi sebagai simbol kehidupan yang sarat makna spiritual dan historis.
Dalam dunia yang makin dipenuhi mesin dan beton, Linimasa #8 hadir seperti seruan yang lirih tapi tegas: mari kembali memuliakan tanah, bukan sekadar menginjaknya.
Teater sebagai Ruang Perenungan
Kepala Taman Budaya Yogyakarta Purwiati menegaskan, teater linimasa telah berkembang menjadi panggung eksperimental yang membuka ruang bagi eksplorasi artistik, intelektual, dan sosial. Tahun ini, dari 15 proposal yang masuk, terpilih tiga kelompok yang masing-masing merepresentasikan gaya dan generasinya.
“Teater Linimasa bukan hanya soal pertunjukan, tapi juga laboratorium ide. Yang kami pilih adalah mereka yang berani bereksperimen dan memperluas batas teater, dari sekadar dialog menuju eksplorasi ruang, gerak, dan tubuh,” ujar Purwiati saat konferensi pers pada Kamis (19/6/2025).
Tiga kelompok terpilih adalah Teater SD Tumbuh dengan pertunjukan berjudul “Planeto”, Perkumpulan Seni Nusantara Baca yang dikomandani Landung Simatupang dengan “Tanah Warisan”, dan Tarikatur karya Hanif Joaniko Putra.
Masing-masing tampil dengan pendekatan berbeda—dari drama musikal, realisme auditif, hingga koreografi ketubuhan—mewakili keragaman cara pandang terhadap tanah sebagai entitas yang hidup.
Lintas Generasi, Lintas Tafsir
Kurator Linimasa #8, Elyandra Widharta menyebut, ketiga kelompok ini mewakili keberagaman generasi dan gaya artistik yang menjadi kekayaan khas Linimasa.
“Landung membawa realisme yang lebih auditif, SD Tumbuh hadir lewat drama musikal yang ekspresif, dan Tarikatur membawa tubuh sebagai medan tafsir. Ini bukan sekadar pertunjukan, tapi ruang dialog antargenerasi,” jelas Elyandra.
Ia juga menambahkan bahwa tanah, dalam tema tahun ini, bukan hanya dilihat sebagai ruang fisik, tetapi juga ruang batin, rumah memori, bahkan simbol konflik sosial.
“Kami ingin mengangkat kembali kontrak sosial yang mulai dilupakan: bahwa rumah dan tanah adalah bagian dari jati diri. Ia bisa hilang, digusur, dijual, atau diklaim atas nama pembangunan,” tambahnya.
Narasi Tanah yang Retak
Dalam catatan kuratorialnya, panitia Linimasa #8 menekankan bahwa mempertahankan tanah sebagai identitas adalah upaya menyintas melalui ingatan-ingatan. Segelintir kekuasaan bisa saja menyerebotnya tanpa peduli sejarah yang dibangun oleh generasi sebelumnya.
Kepentingan simbolik dan ekonomi bertabrakan dengan mitos dan ritus lokal. Gaung “gemah ripah loh jinawi” pun tinggal nyanyian sunyi dari akar rumput. Beton tumbuh, kolam susu mengering, dan nilai yang seharusnya memuliakan tanah justru lenyap di tengah kepentingan industri dan modernitas.
“Tanah tidak netral. Ia menyimpan memori kolektif, konflik kelas, bahkan trauma. Kita hanya ingin membangunkan kembali kesadaran itu, melalui seni," imbuhnya.
Di berbagai belahan dunia, tanah pernah jadi sumber perang, debat, dan ketidakadilan. Namun di beberapa komunitas Timur, tanah adalah milik perempuan, milik bersama, milik adat. Ia dijaga dengan ritus, disapa dengan nyanyian, bukan ditaklukkan dengan alat berat.
Linimasa #8 mencoba menyuarakan kembali kesadaran tersebut: bahwa ada jiwa yang melekat pada tanah, dan tugas manusialah untuk merawatnya.
Tiga Suara, Satu Kesadaran
Ketiga pertunjukan yang dipilih membawa sudut pandang berbeda namun satu nafas. Planeto dari SD Tumbuh mengajak penonton menyelami imajinasi anak-anak dalam membayangkan ruang hidup masa depan.
Tanah Warisan oleh Landung Simatupang menyuarakan generasi yang memikul ingatan leluhur di tengah pusaran konflik agraria. Sedangkan Tarikatur menyuguhkan tubuh sebagai arsip ruang dan pengalaman, membawa energi purba yang hadir melalui gerak dan bunyi.
Pada penghujung hari, panggung Linimasa bukan tempat mencari jawaban, melainkan mengajukan pertanyaan-pertanyaan yang makin langka terdengar di zaman ini: Di mana letak kehormatan kita terhadap tanah?
Dan lebih jauh, masihkah kita mengingat rumah kita yang sesungguhnya? (*)