Sleman Pionir Sekolah Lansia Tangguh dengan Sinergi Multihelix

 Sleman Pionir Sekolah Lansia Tangguh dengan Sinergi <i>Multihelix</i>
Simbolisasi penyerahan kartu tanda peserta Sekolah Lansia oleh Penggagas Sekolah Lansia UGM, drg. Elastria Widita MSc PhD. (muhammad zukhronnee ms/koranbernas.id)  

KORANBERNAS.ID, SLEMAN -- Ketika sebagian besar daerah masih berkutat dengan paradigma lansia sebagai beban pembangunan, Kabupaten Sleman justru melakukan terobosan revolusioner. Dengan 177 ribu jiwa penduduk berusia di atas 60 tahun dari total 1,1 juta penduduk, Sleman mengubah tantangan aging population menjadi aset pembangunan melalui program Sekolah Lansia Tangguh.

Rabu, 21 Mei 2025, menjadi hari bersejarah bagi pendidikan lansia Indonesia. Di Kalurahan Sendangagung, Kapanewon Minggir, dibuka Sekolah Lanjut Usia Standar 1 pertama yang menerapkan "Sinergi MultiHelix"—kolaborasi Universitas Gadjah Mada, Kalurahan Sendangagung, BKKBN Perwakilan DIY, DP3AP2KB Kabupaten Sleman, Indonesia Ramah Lansia, dan BKL Brajan.

"Kita sudah 15,8% lansia, artinya masuk kategori aging population. Tapi bagi kami, ini bukan masalah, melainkan peluang menciptakan generasi lansia sehat, mandiri, aktif, produktif, dan bermartabat," ujar Dra. Dwi Wiharyanti, M.Si, Kepala Bidang Pengendalian Penduduk dan Keluarga Berencana Dinas P3AP2KB Sleman.

Sekolah Sungguhan

Program ini bukan simbolik belaka. Seperti sekolah formal, Sekolah Lansia Tangguh memiliki kurikulum terstruktur mulai Standar 1 (8 modul berkembang jadi 10), Standar 2, hingga Standar 3. Setiap sekolah menampung 25-50 peserta dengan program enam bulan berakhir wisuda dan ijazah resmi.

Materi pembelajaran mencakup kesehatan lansia (pencegahan inkontinensia, demensia), pemeliharaan kemandirian dan produktivitas, aktivitas fisik-kognitif, plus kesehatan gigi-mulut hasil kolaborasi dengan Fakultas Kedokteran Gigi, Fakultas Kedokteran, Fakultas Psikologi UGM, dan Rumah Sakit Gigi Mulut.

Meski menghadapi pengurangan anggaran 31% di setiap dinas, alokasi Sekolah Lansia justru meningkat. Dari 9 sekolah (6 APBD, 3 Kemendikdasmen) sebelum 2025, kini bertambah 6 sekolah APBD, total 15 sekolah aktif.

"Idealnya setiap kelurahan punya satu sekolah lansia. Alumni S1, S2, S3 akan dilatih jadi fasilitator untuk keberlanjutan program," kata Dwi Wiharyanti.

Penggagas Sekolah Lansia UGM, drg. Elastria Widita MSc PhD menambahkan, Program ini mengusung filosofi pemberdayaan. Melalui pendataan BKL, diidentifikasi lansia produktif, lansia dengan kondisi kesehatan terbatas, dan lansia kurang mampu. Bantuan sosial diintegrasikan dengan sekolah lansia untuk solusi komprehensif.

"Persoalan terbesar lansia adalah hipertensi dan diabetes melitus. Kalau tidak dicegah, menurunkan kualitas hidup. Intinya, usia bertambah tapi masalah tidak bertambah—mereka tetap hidup bahagia," paparnya.

"Ini pertama kali UGM meresmikan sekolah lansia dengan skema sinergi multihelix. Berbagai mitra kami ajak masuk ke laboratorium sosial ini," kata dia.

Kepala Departemen Ilmu Penyakit Mulut UGM, Prof. Dr. drg. Dewi Agustina, M.DSc, mengungkapkan, sebagai pilot project, program Sekolah Lansia diharapkan menjadi model replikasi kabupaten lain. "

Mudah-mudahan bisa ditiru kabupaten lain. Masih minimal di Kulonprogo dan Gunungkidul, kami akan coba jangkau," ujarnya.

Program enam bulan akan mencapai puncak November 2025 dengan wisuda ratusan lansia yang menyelesaikan Standar 1. Kriteria peserta: bisa baca tulis, tidak depresi berat.

Dengan 15 sekolah aktif, ratusan peserta, dan target ekspansi ke seluruh kelurahan, Sleman membuktikan aging population bukan ancaman, melainkan peluang emas menciptakan masyarakat inklusif dan berdaya. (*)