Museum DIY Pamerkan Koleksi yang Menginspirasi Kehidupan Saat Pandemi

Museum DIY Pamerkan Koleksi yang Menginspirasi Kehidupan Saat Pandemi

KORANBERNAS ID, YOGYAKARTA -- Menyambut Hari Kemerdekaan Indonesia (HUT RI) ke-76 Dinas Kebudayaan DIY menyelenggarakan Jogja Museum Expo (JME)  pada 12-16 Agustus 2021. Bertajuk Phalacitta, Inspirasi di Balik Koleksi pameran ini sekaligus memeriahkan berdirinya Badan Musyawarah Museum (Barahmus) DIY ke-50.

Event ini diikuti 38 museum di DIY dan telah disesuaikan dengan kondisi pandemi menggunakan teknologi virtual dan 360° view melalui www.gregrahmuseum.jogjaprov.go.id serta www.jogjamuseumexpo.com.

Sesuai tema, penyelenggara pameran museum ini akan mengajak orang untuk mengetahui alasan mempelajari obyek-obyek koleksi museum serta dapat terinspirasi dari balik nilai arti koleksi. Dengan lebih mendalami dan mengetahui inspirasi di balik koleksi-koleksi tersebut harapannya menambah semangat baru menjalani pola kehidupan tatanan baru yang sedang dihadapi, yakni pandemi Covid-19.

“Pameran temporer ini menampilkan empat sub-tema yakni tokoh, lingkungan, obyek dan peristiwa. Pameran ini bertujuan memberikan pertanyaan reflektif mengenai peran museum saat ini dan masa mendatang," terang Sektiadi, salah seorang kurator Jogja Museum Expo saat konferensi pers secara daring, Senin (9/8/2021).

Koleksi–koleksi yang dipamerkan ditata sedemikian rupa  dengan layout yang memberikan pengalaman ruang khusus, agar pengunjung memiliki pengalaman unik yang tidak diperoleh dari tempat lain.

Obyek yang dipamerkan dipilih dari ratusan ribu koleksi museum-museum di DIY. Pameran ini pun sarat nilai inspiratif, seperti, ketekunan, kerja keras, pantang menyerah, kreatif dan perilaku adil, yang bisa dilihat dari obyek-obyek yang dipamerkan.

Arkeolog sekaligus Kurator JME Djaliati Sri Nugrahani menambahkan, setiap museum pasti punya koleksi sangat spesifik. Setiap museum pasti punya sisi yang berbeda. Untuk melihat koleksi museum tidak hanya dari fisiknya. Bisa jadi fisik yang dilihat masyarakat awam hampir sama namun cerita di baliknya berbeda.

“Yang ingin saya sampaikan saat kita berkunjung ke museum itu bisa menginspirasi apa? Justru pada era pandemi ini bagaimana work from home itu merupakan peluang yang sangat luar biasa untuk menjadi kreatif. Jadi harapannya adalah dari pameran ini kita bisa menunjukkan bagaimana obyek itu diperoleh inspirasinya dan bisa menginspirasi," terangnya.

Salah satu yang ditampilkan secara virtual koleksi dari pameran museum ini adalah jemparing (anak panah) dan gandhewa (busur) peninggalan pasukan Pangeran Diponegoro koleksi museum Monumen Pangeran Diponegoro Sasana Wiratama. “Bukan sekadar senjata, namun benda ini memiliki nilai inspiratif yang bisa diketahui pengunjung ketika bertandang ke JME,” paparnya.

Di Keraton Yogyakarta, pasukan pemanah diberi nama Bregada Nyutra, merupakan pasukan elite kerajaan pengawal Sultan. Pangeran Diponegoro merupakan salah seorang bangsawan yang menaruh perhatian tinggi terhadap jemparingan.

“Bahkan, Diponegoro menciptakan tembang macapat Adab Ing Njemparing yang berisi tuntunan adab seorang pemanah. Menurut tembang tersebut, seorang pemanah harus mempunyai sifat welas asih, mengalah, tetapi pemberani,” kata pakar Arkeologi Universitas Gadjah Mada ini.

Kini, Hani melanjutkan, jemparing tidak lagi digunakan sebagai sarana berperang maupun berburu melainkan juga olahraga yang dikenal dengan sebutan Jemparingan Mataram.

Alat maupun tata cara penggunaannya tidak pernah berubah sejak zaman dahulu dan menjadi warisan budaya yang mempunyai nilai penting untuk membentuk karakter kesatria.

Kepala Bidang Pemeliharaan dan Pengembangan Sejarah Bahasa Sastra dan Permuseuman, Tri Agus Nugroho, menyampaikan melalui kegiatan yang didanai dari Dana Keistimewaan DIY tahun 2021 ini pihaknya ingin mendorong obyek dikoleksi karena memiliki makna terkait sejarah. Seperti, peristiwa, tokoh, menjadi simbol komunitas, pernah digunakan untuk menyelesaikan masalah tertentu atau bahkan akibat dari suatu kondisi tertentu.

"Pameran ini mengungkap salah satu sisi dari sebagian obyek tersebut, mengapa terdapat obyek semacam itu, serta apa yang dapat dipelajari atau dikembangkan dengan mengetahui karakteristik obyek, lingkungan ketika obyek itu dibuat, tokoh di baliknya serta peristiwa yang melekat di dalamnya," ujarnya.

Rangkaian kegiatan kedua yaitu museum performance atau karnaval virtual yang diharapkan bisa menjadi panggung untuk menampilkan kreasi dan potensi museum di Yogyakarta. Kegiatan pengambilan gambar di setiap museum dan sejumlah titik di Yogyakarta, sehingga pengunjung yang menyambangi JME bisa mendapatkan sensasi seperti mengikuti karnaval dengan latar belakang tempat ikonis di Yogyakarta.

Selama JME berlangsung, acara dimulai pukul 15:00 sampai 16:40. Selain itu, acara juga akan diisi performance seperti musik, tari, maupun museum performance atau karnaval virtual yang hadir di sela-sela kuratorial class.

Ketiga, webinar internasional permuseuman yang menghadirkan diskusi menarik dengan konsep bincang santai secara hybrid atau bauran (perpaduan luring dan daring). Diskusi yang membahas perkembangan permuseuman di DIY ini bisa diikuti masyarakat melalui aplikasi berbasis internet.

Pembicara webinar permuseuman meliputi Smithsonian Institution, Washington DC Paul Taylor, perwakilan British Museum, London Alexandra Green,  perwakilan China National Silk Museum, Hangzhou Yilan Wang, Museum Perkebunan Indonesia Medan, Sri Hartini.

Selanjutnya, Dahlia Kusuma Dewi dari Museum Konperensi Asia Afrika, Bandung, Ruth Barnes dari Yale University Art Galery, New Haven, Carol Cains dari National Gallery Of Australia Canberra, Francine Brinkgreve dari Volkenkunde Museum Leiden dan Cyntia Handy dari Museum Gubug Wayang Mojokerto.

“Kami berharap Jogja Museum Expo (JME) bisa mengedukasi masyarakat luas dan lebih memperkenalkan museum kepada masyarakat sekaligus meningkatkan jumlah kunjungan museum, museum peserta pameran maupun museum-museum lainnya sehingga museum bisa menjadi inspirasi kehidupan yang sebenarnya,” ungkapnya. (*)