Media Sosial hanya Menjadi Alat Validasi dan Pelampiasan Rasa Takut
KORANBERNAS.ID, YOGYAKARTA – Di tengah derasnya arus informasi, kehidupan generasi muda Indonesia kini banyak ditentukan oleh apa yang terjadi di layar ponsel. Bukan lagi tentang makna, nilai atau refleksi, melainkan kecepatan, tren dan keterhubungan. Media sosial yang semula lahir sebagai ruang ekspresi, kini cenderung digunakan sebagai alat validasi dan pelampiasan rasa takut tertinggal—fear of missing out (FOMO).
Fenomena ini menjadi perhatian utama dalam Sarasehan Budaya dan Kepemudaan yang digelar oleh Dahana Pramoda, komunitas pelopor pemuda produktif, Minggu (6/7/2025) di Yogyakarta. Sarasehan ini mengusung tema besar “Peran Lingkungan dan Literasi Digital Menyikapi Isu yang Berkembang”, dan mencoba mendekati isu kebangsaan dengan cara yang lebih lentur dan inklusif melalui budaya dan seni.
Momo ZIMA, seniman dan aktivis komunitas yang dikenal vokal dalam isu-isu sosial generasi muda. Dalam paparannya, Momo menilai bahwa generasi saat ini hidup dalam tekanan citra yang sangat kuat.
“Kalau nggak update, takut dibilang ketinggalan. Kalau nggak punya opini, takut dibilang nggak relevan. Padahal anak muda itu butuh ruang aman untuk bertanya, meragukan, dan mencari jati diri tanpa harus dinilai terus-menerus,” paparnya.
Momo menambahkan, budaya digital hari ini membuat manusia makin bergantung pada perangkat. Mereka hidup nyaris tanpa jarak dari gawai, dan perlahan berubah bukan sekadar pengguna teknologi, tetapi sudah menyatu secara mental dan emosional dengannya.
“Coba saja tanya, bisa nggak anak muda sekarang hidup tanpa lihat HP 24 jam? Banyak yang gelisah. HP-nya dicas saja sudah bingung mau ngapain. Padahal, yang hilang itu cuma notifikasi, bukan jati diri,” ujarnya.
Menurut Momo, ini bukan hanya persoalan personal, tapi menyangkut desain sosial yang lebih besar. Ia menilai, masyarakat hari ini sedang “di-setting” menjadi gigi roda industri yang produktif tapi tidak reflektif.
“Gigi roda itu nggak boleh mikir. Karena kalau mikir, kita akan sadar: ‘Lho, yang saya kerjakan ini masuk akal nggak? Ini perbudakan bukan? Nah, makanya kita dibanjiri informasi terus, biar nggak sempat berpikir. Itu semua by design,” katanya.
Kondisi ini juga membuat anak muda makin jauh dari nilai-nilai kebangsaan. Identitas diri, semangat kolektif, dan kepedulian sosial tenggelam oleh tren dan pencitraan. Generasi Z, dalam banyak anggapan, dinilai apatis terhadap isu-isu publik.
Namun Momo membantah generalisasi itu. Baginya, anak muda bukan tidak peduli, hanya saja pendekatan yang digunakan selama ini sering kali terlalu formal dan kaku.
“Mereka bukan malas atau bodoh. Mereka hanya tidak menemukan medium yang jujur untuk bicara. Kita nggak bisa ajak mereka ngomong soal bangsa dengan bahasa podium. Lewat seni, mural, musik atau pertunjukan jalanan, kita bisa bicara hal besar dengan cara yang lebih organik,” ungkapnya.
Sarasehan ini sendiri merupakan bentuk kegelisahan nyata terhadap lunturnya sopan santun sosial, serta menjamurnya sikap anti-politik dan anti-budaya di kalangan anak muda. Dahana Pramoda menilai, jika kondisi ini terus dibiarkan tanpa ruang dialog yang sehat, maka akan muncul generasi yang kehilangan orientasi sosial dan nasionalisme.
Namun forum seperti ini membuktikan sebaliknya: bahwa ruang diskusi yang santai tapi jujur, yang terbuka dan kreatif, justru menjadi oase bagi pemuda untuk berbicara tanpa pretensi. Beberapa peserta yang hadir berasal dari komunitas seni, kampus, hingga pegiat lingkungan. Diskusi berlangsung cair, tanpa moderator yang menggurui.
“Anak muda itu sebenarnya punya semangat juang yang tinggi, cuma sering disalahpahami. Dan lewat seni dan ekspresi budaya, kita bisa ajak mereka bicara soal bangsa dengan cara yang lebih relevan, lebih jujur," paparnya.
Momo mengingatkan pentingnya berpikir otentik di tengah derasnya informasi yang sering kali dangkal. Ia bahkan menyentil fenomena banyaknya orang hanya ikut-ikutan atau FOMO.
“Ketika ada A, semua ikut A. Ketika B muncul, ikut B. Begitu terus. Akhirnya hidup kita diombang-ambingkan oleh informasi. Bukan oleh makna," tandasnya. (*)