Biennale Jogja Menjadi Jalan Pulang ke Pengetahuan yang Menubuh

Biennale Jogja Menjadi Jalan Pulang ke Pengetahuan yang Menubuh
Alia Swastika Direktur Yayasan Biennale Yogyakarta saat berbincang dalam media gathering Biennale Jogja 18 di Kampung Mataraman. (muhammad zukhronnee ms/koranbernas.id)

KORANBERNAS.ID, YOGYAKARTA — Di tengah arus deras globalisasi dan industrialisasi, Biennale Jogja 18, tahun 2025 hadir sebagai ruang perenungan. Bertajuk KAWRUH: Tanah Lelaku, ajang dua tahunan ini tak hanya menyuguhkan karya seni, tetapi juga mengundang publik untuk kembali menelisik akar pengetahuan yang berakar pada tubuh, tanah dan laku sehari-hari.

“KAWRUH” yang diangkat sebagai judul bukan sekadar istilah. Dalam Bahasa Jawa, kawruh berarti pengetahuan—bukan yang hanya disimpan di kepala, melainkan yang dialami, dijalani dan diwariskan.

Menurut Direktur Yayasan Biennale Yogyakarta, Alia Swastika, konsep ini menjadi kelanjutan dari tema besar translokalitas dan transhistorisitas dalam Seri Khatulistiwa Putaran Kedua Biennale Jogja.

“Pengetahuan yang kami maksud adalah yang menubuh, yang lahir dari pengalaman dan refleksi, dan hidup berdampingan dengan alam serta masyarakat,” ungkap Alia saat media gathering pada Rabu (9/7/2025).

Biennale kali ini dirancang sebagai ruang partisipatif, tempat warga dan seniman bisa bertemu untuk membaca kembali sejarah lokal, mitologi, serta dinamika perubahan lingkungan.

Biennale Jogja 18 akan berlangsung dalam dua babak. Babak pertama akan digelar pada 19–24 September 2025 di Padukuhan Boro, Desa Karangsewu, Kulonprogo.

Babak kedua menyusul di Kota Yogyakarta, Desa Bangunjiwo dan Desa Panggungharjo, Bantul, pada 5 Oktober hingga 20 November 2025. Lebih dari 50 seniman dari Indonesia dan negara-negara Global Selatan akan terlibat.

Salah satu kurator, Greg Sindana dari kelompok ketjilbergerak, berbagi pengalaman personalnya.

“Warga sering kali lupa bahwa mereka punya pengetahuan dan kekayaan sendiri. Saya saja kesulitan mencari sukun di desa saya, padahal dulu itu makanan sehari-hari. Biennale ini mengingatkan kita untuk tidak melupakan yang dekat, yang lokal,” ujarnya.

Greg menekankan, momen Biennale bukan sekadar pameran seni, melainkan kesempatan untuk pulang ke diri dan lingkungan.

“Bagaimana seseorang bisa tetap berpijak pada tanahnya sendiri namun tetap berdialog dengan dunia? Inilah yang ingin kami upayakan melalui KAWRUH: Tanah Lelaku,” katanya.

Di tengah riuh modernitas, Biennale Jogja 18 menawarkan jeda. Sebuah ruang untuk belajar kembali tentang apa yang pernah dekat—dan mungkin sempat terlupakan. (*)