Mengkritisi Peran Pustakawan

Oleh: Agung Hartono

Pribadi yang tidak menjadi kepribadian itu merupakan pribadi yang terjerumus, pribadi yang tidak setia terhadap Tuhan, terhadap masyarakat dan dirinya sendiri, pribadi yang kehilangan keluhuran dan kehormatannya. Kepribadian adalah perkembangan dari pribadi. Perkembangan yang betul-betul menjalankan kedaulatan dan kekuasaannya atas dirinya sendiri dan tidak dijajah oleh kenafsuan-kenafsuan, dan dunia material. Jika ini tercapai maka pribadi betul-betul ”bersemayam” dalam dirinya sendiri. Analogi dengan sedikit modifikasi berikut tentunya dapat dipakai sebagai permenungan dengan mengganti kata ”pribadi” dengan kata ”pustakawan” serta kata ”kepribadian” dengan kata ”kepustakawanan”. Hasilnya adalah pustakawan supaya benar-benar menjadi pustakawan harus menjadi dan memiliki kepustakawanan. Pustakawan yang tidak menjadi kepustakawanan itu merupakan pustakawan yang terjerumus, pustakawan yang tidak setia terhadap Tuhan, terhadap masyarakat dan dirinya sendiri, pustakawan yang kehilangan keluhuran dan kehormatannya.

Mengkritisi Peran Pustakawan
Agung Hartono. (istimewa).

PADA sebuah obrolan di warung angkringan, ada seorang teman yang bertanya pada saya: “Masih kerja di perpustakaan, apa masih ada pengunjung?” Boleh jadi, pertanyaannya spontan namun seperti menyelipkan sebuah satire bahkan mungkin pertanyaan itu mewakili benak sebagian besar masyarakat kita saat ini tentang perpustakaan. Tidak dapat dipungkiri perkembangan teknologi informasi dan komunikasi yang kian melaju pesat pada era sekarang ini tanpa disadari ‘meminggirkan’ peran perpustakaan sebagai pusat penyedia sekaligus pengelola informasi. Kehadiran smartphone yang dapat dipergunakan untuk browsing informasi hanya dalam satu genggaman ditambah hadirnya kecerdasan buatan (AI) seolah menghadirkan fenomena ironi tentang perpustakaan.

Gambaran (image) perpustakaan sebagai tempat sepi, terasing karena sering ditempatkan di belakang sebuah bangunan, masih hinggap dalam benak dan menjadi persepsi banyak orang. Parahnya gambaran kini ‘jatuh’ dalam bayangan kekuatiran tentang perpustakaan sebagai tempat yang tidak lagi popular sebagai tempat mencari rujukan informasi. Isu-isu tentang citra perpustakaan yang tidak segera beranjak ke hal-hal yang positif ditambah maraknya fenomena masyarakat kita mulai ‘gandrung’ pada kecerdasan buatan perlu disikapi pustakawan sebagai lokomotif perkembangan perpustakaan dan kepustakawanan.

Pustakawan dan Kepustakawanan

Undang Undang Perpustakaan mendefinisikan pustakawan adalah seseorang yang memiliki kompetensi yang diperoleh melalui pendidikan dan/atau pelatihan kepustakawanan serta mempunyai tugas dan tanggung jawab untuk melaksanakan pengelolaan dan pelayanan Perpustakaan. (UU No.43, Th 2007).

Mengutip dari apa yang dikatakan Blasius Sudarsono dalam bukunya yang berjudul: “Cerita Tentang Pustakawan dan Kepustakawanan”, pustakawan adalah pribadi yang memiliki sifat khusus yaitu kepustakawanan. Memang agak sedikit berbelit untuk menerangkannya. Dengan menganut pendekatan ini muncul kemungkinan bahwa suatu saat pustakawan tidak selalu terkait dengan pekerjaan atau profesi. Sedangkan batasan pustakawan menurut Peraturan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi Republik Indonesia Nomor 9 Tahun 2014 adalah “Pegawai Negeri Sipil (PNS) yang diberi tugas, tanggung jawab, wewenang dan hak untuk melaksanakan kegiatan kepustakawanan”.

Peraturan Menteri ini tidak menyebut pendidikan secara eksplisit. Namun kepustakawanan dinyatakan sebagai: “Kegiatan ilmiah dan profesional yang meliputi pengelolaan perpustakaan, pelayanan perpustakaan, dan pengembangan sistem kepustakawanan”. Menarik jika disimak kegiatan “ilmiah dan profesional” yang terdiri tiga sub kegiatan yaitu pengelolaan perpustakaan, pelayanan perpustakaan, dan pengembangan sistem kepustakawanan.

Batasan mengenai pustakawan menurut peraturan menteri tersebut yang hanya berlaku bagi PNS/ASN, faktanya diterima kurang tepat oleh banyak kalangan bahkan memunculkan penafsiran bahwa pustakawan haruslah PNS. Persepsi tersebut tanpa sadar menunjuk pada pembagian suatu keseluruhan menjadi dua bagian yang terpisah yang bermuara pada lahirnya sebutan pustakawan PNS dan pustakawan swasta. Lahir pula sebutan atau istilah Pustakawan PNS sebagai Pustakawan “plat merah”. Ketiadaan definisi versi swasta berpotensi tiadanya atau lemahnya posisi jabatan pustakawan dalam lingkup organisasi swasta. Kiranya hal urgen untuk memperkuat posisi jabatan tersebut karena posisi yang kuat dapat dijadikan media untuk memeroleh apresiasi dari lembaga dalam rupa tingkat kesejahteraan agar tidak terlalu jauh dibandingkan pustakawan yang bernaung dalam lembaga pemerintah.

Dikotomi antara pustakawan ‘plat merah’ dengan pustakawan swasta tersebut biarkan menjadi semacam diskursus untuk menemukan identitasnya tersendiri. Namun menurut penulis yang lebih penting bagaimana pustakawan membangun jatidiri agar menjadi atau memiliki sifat kepustakawanan.

Pustakawan adalah mahkluk hidup yang disebut sebagai manusia. Filsuf Indonesia, Driyarkara menyebut manusia yang tidak hanya ”apa” melainkan juga ”siapa” itu sebagai ”pribadi”. Dengan demikian ”pustakawan” adalah pribadi. Menarik melihat ”pustakawan” dan ”pribadi” ini dari sudut kebahasaan. Jika dua kata itu diturunkan dengan tambahan ke-an, maka ”pustakawan” akan menjadi ”kepustakawanan”, sedang ”pribadi” akan menjadi ”kepribadian”. Padahal ”pustakawan” adalah juga ”pribadi”, sehingga dapat diharapkan ada kesetaraan konsep ”pustakawan dan kepustakawanan” dengan konsep ”pribadi dan “kepribadian”.

Dengan demikian, secara logis pemikiran Driyarkara tentang ”pribadi dan kepribadian” berlaku juga untuk konsep ”pustakawan dan kepustakawanan”. Pokok pikiran Driyarkara mengenai ”pribadi” dan”kepribadian” perlu ditulis kembali di sini, yakni pribadi manusia supaya betul-betul menjadi pribadi harus menjadi kepribadian. Pribadi yang tidak menjadi kepribadian itu merupakan pribadi yang terjerumus, pribadi yang tidak setia terhadap Tuhan, terhadap masyarakat dan dirinya sendiri, pribadi yang kehilangan keluhuran dan kehormatannya. Kepribadian adalah perkembangan dari pribadi. Perkembangan yang betul-betul menjalankan kedaulatan dan kekuasaannya atas dirinya sendiri dan tidak dijajah oleh kenafsuan-kenafsuan, dan dunia material. Jika ini tercapai maka pribadi betul-betul ”bersemayam” dalam dirinya sendiri. Analogi dengan sedikit modifikasi berikut tentunya dapat dipakai sebagai permenungan dengan mengganti kata ”pribadi” dengan kata ”pustakawan” serta kata ”kepribadian” dengan kata ”kepustakawanan”. Hasilnya adalah pustakawan supaya benar-benar menjadi pustakawan harus menjadi dan memiliki kepustakawanan. Pustakawan yang tidak menjadi kepustakawanan itu merupakan pustakawan yang terjerumus, pustakawan yang tidak setia terhadap Tuhan, terhadap masyarakat dan dirinya sendiri, pustakawan yang kehilangan keluhuran dan kehormatannya.

Pustakawan Berdampak

Di negeri ini telah terbentuk organisasi yang mewadahi kiprah para pustakawan Indonesia, Organisasi itu dinamakan Ikatan Pustakawan Indonesia atau disingkat IPI. Berdasarkan kongres pustakawan seluruh Indonesia Tanggal 6-7 Juli 1973 di Ciawi, Bogor, bahwa IPI didirikan pada 7 Juli 1973.

Kongres XV Pengurus pusat IPI tanggal 4 November 2022 di Surabaya telah memutuskan tentang hari pustakawan Indonesia yakni diperingati setiap tangal 7 Juli. Keputusan itu diperkuat keputusan Menteri Pendidikan Dasar Menengah RI Nomor 81/M/ 2025. Menurut penulis kiranya menjadi momentum yang tepat pada peringatan hari pustakawan ini pustakawan senantiasa meningkatan kualitas dalam karya pelayanan di tengah masyarakat dan gempuran teknologi informasi serta riuhnya generasi muda sekarang ini dalam memanfaatkan kecerdasan buatan (AI). Seiring dengan perpustakaan yang terus bertransformasi menyesuaikan laju zaman, pustakawan dalam pekerjaan keseharian dikelilingi sumber gizi (pengetahuan), sudah selayaknya mengambil sikap agar profesi pustakawan tetap di hati masyarakat dengan karya pelayanan yang punya dampak nyata dan berkorelasi dengan semangat dan tema HUT ke–52 pustakawan tahun ini. Adapun temanya: “Pustakawan Hadir Dalam Penguatan Literasi Masyarakat”.

Pustakawan harus produktif menghadirkan karya nyata di tengah masyarakat. Bukan justru sebaliknya pustakawan bak ayam mati di lumbung padi. Selamat hari pustakawan, maju terus sebagai penggerak literasi! **

Agung Hartono

Pustakawan ISI Yogyakarta