Hukum dan Pergantian Tahun
Oleh: Sudjito Atmoredjo
Diyakini bahwa tiada maksud lain, alam semesta dan hukum alam dicipta, kecuali sebagai rahmat bagi semua makhluk. Dengan rahmat-Nya itu, setiap makhluk dapat hidup mudah, tertib, teratur, dalam suasana damai, harmonis, tercukupi kebutuhan masing-masing. Berlakulah ungkapan: “hidup yang baik adalah hidup yang alami”. Untuk itu, maka bersahabatlah dengan alam semesta. Taat, patuhi, dan banyaklah belajar kearifan dari hukum alam. Kearifan dimaksud antara lain terkandung dalam ungkapan: “sopo sing jujur bakal mujur, sopo sing salah bakal seleh”. Di sanalah ada konsistensi, kejujuran, kebersamaan, dan persatuan.
TAHUN 2023 telah berlalu. Berganti tahun 2024. Adakah makna istimewa pada pergantian tahun ini? Pada setiap orang dewasa yang sehat akal budinya, wajib menjawab pertanyaan ini. Mengapa demikian? Karena, mereka tergolong subjek hukum. Mereka wajib paham dan bertanggung jawab atas segala hak dan kewajiban yang melekat pada dirinya. Hak dan kewajiban dimaksud secara vertikal tertuju kepada Sang Pencipta, dan secara horizontal tertuju kepada sesama manusia maupun makhluk-makhluk lainnya.
Dapat dipastikan, atas pertanyaan tersebut, jawabnya beraneka macam. Tiada jawaban tunggal. Apalagi berlaku universal. Dalam keberagaman itu, izinkan saya memaknai pergantian tahun berdasarkan hukum alam (sebagaimana dalam agama disebut sunatullah). Mengapa perspektif ini dipilih?
Karena penting diingat bahwa hukum alam (sunatullah) merupakan hukum yang berlaku universal dan abadi. Keberlakuannya bersifat kodrati. Rentang keberlakuannya berseiring dengan keberadaan alam semesta. Hukum jenis ini, sudah ada sejak awal alam semesta dicipta al-Khalik (Tuhan Sang Pencipta).
Diyakini bahwa tiada maksud lain, alam semesta dan hukum alam dicipta, kecuali sebagai rahmat bagi semua makhluk. Dengan rahmat-Nya itu, setiap makhluk dapat hidup mudah, tertib, teratur, dalam suasana damai, harmonis, tercukupi kebutuhan masing-masing. Berlakulah ungkapan: “hidup yang baik adalah hidup yang alami”. Untuk itu, maka bersahabatlah dengan alam semesta. Taat, patuhi, dan banyaklah belajar kearifan dari hukum alam. Kearifan dimaksud antara lain terkandung dalam ungkapan: “sopo sing jujur bakal mujur, sopo sing salah bakal seleh”. Di sanalah ada konsistensi, kejujuran, kebersamaan, dan persatuan.
Seorang tokoh teori hukum alam, Thomas Aquinas (1225-1274), menyatakan bahwa hukum alam (lex natura) merupakan subsistem dari sistem hukum. Keseluruhannya, mencakup: (a) lex aeterna (hukum tuhan yang bersifat abadi, universal, dan sempurna); (b) lex devina (hukum tuhan yang terkodifikasi dalam kitab suci, dan berlaku secara kontekstual); (c) lex natura (hukum tuhan yang terbentang di alam semesta); (d) lex humana (hukum buatan manusia).
Layak diingat bahwa jauh sebelum ajaran Thomas Aquinas dikenal, sebenarnya hukum alam sudah membumi, menyatu, dan secara normatif berlaku dalam kehidupan semua makhluk. Dalam ranah religius (agama Islam), itulah ayat-ayat kauniyah. Wujud ayat-ayat kauniyah antara lain: benda, kejadian, peristiwa, dan segala hal lain yang ada di alam semesta.
Secara sosiologis-empiris, banyak bukti nyata bahwa pemaknaan pergantian tahun sangat personal dan kontekstual. Artinya, setiap person beserta situasi yang mengelilingi, berpengaruh signifikan dalam pemaknaannya. Misal, dalam tradisi dan dinamisasinya, umumnya masyarakat menyongsong datangnya tahun baru di tengah malam. Mereka keluar rumah. Di jalan, di tanah lapang, di pantai, di hotel, atau tempat-tempat lain. Petasan, kembang api, genderang, disertai makanan-minuman tradisional (jagung bakar, durian, kopi) hingga hidangan mewah, tersaji dan dinikmati. Pesta-pora, sorak-gembira, membahana.
Patut diparesiasi, ternyata banyak saudara-saudara kita yang merayakan pergantian tahun dengan cara-cara hikmat. Bersama keluarga atau komunitas lainnya, mereka berkumpul di suatu tempat tertentu (tempat ibadah atau balai kampung/desa). Diselenggerakanlah acara-cara bernuansa agama atau sosial-kebangsaan. Pergantian tahun menjadi lebih bermakna. Masa lalu, masa kini, dan masa depan, dipahami sebagai rangkaian waktu. Sepanjang tahun, waktu-waktu itu mesti diisi amalan-amalan saleh. Setiap orang wajib berjalan di jalan lurus, jalan kemuliaan, dan jalan kebenaran. Tak kalah pentingya, setiap orang wajib amar ma’ruf (mengajak pada kebaikan), serta-merta nahi munkar (melakukan pencegahan terhadap kejahatan).
Pada hemat saya, pada tradisi beragam yang manapun, kiranya pergantian tahun perlu dipelajari secara mendalam, dan ditukikkan pada hakikat penciptaan tahun itu sendiri. Bagi orang-orang berakal, tahun merupakan hitungan dan perjalanan waktu yang bersifat alami. Di situlah terbuka peluang dan kesempatan memaksimalkan rasio dan potensi kemanusiaan lainnya, untuk mengabdikan diri kepada Sang Pencipta. Berbagai kenikmatan hidup dan rezeki yang terlimpah, disikapi dengan syukur. Segala cobaan atau ujian disikapi dengan sabar. Pengembaraan ke seluruh penjuru angin, ditempuh dalam sikap rendah hati. Pantang menyombongkan diri. Senantiasa berbuat kebajikan. Ikhlas menginfakkan sebagian rezekinya kepada pihak lain. Tiada henti-hentinya, memuji keagungan-Nya.
Telah terhampar banyak bukti dimuka bumi ini, di masa lalu, Allah swt memanjangkan umur suatu umat. Hal demikian dimaksudkan agar mereka berpikir tentang hakikat dirinya maupun hakikat alam semesta. Penjelasan dan peringatan pun telah diberikan oleh para Rasulullah, agar mereka tidak ingkar terhadap sunatullah. Akan tetapi, mereka tetap ingkar. Lex humana berbau sekuler diagung-agungkan. Dengan kredo “supremasi konstitusi”, maka ketertundukan pada konstitusi mengalahkan keimanannya pada kitab suci. Hukum positif pun diceraikan dari nilai moralitas-religius. Mereka sombong. Banyak melakukan kejahatan secara terencana, terstruktur, dan massif.
Allah swt berfirman: "Karena kesombongan (mereka) di muka bumi dan karena rencana (mereka) yang jahat. Rencana yang jahat itu tidak akan menimpa selain orang yang merencanakannya sendiri. Tiadalah yang mereka nanti-nantikan melainkan (berlakunya) sunnah (Allah yang telah berlaku) kepada orang-orang yang terdahulu. Maka sekali-kali kamu tidak akan mendapat penggantian bagi sunnah Allah, dan sekali-kali tidak (pula) akan menemui penyimpangan bagi sunnah Allah itu (QS. Fathir, ayat: 43).
Rencana jahat dan tipu daya mereka itu, tidak sekali-kali dapat melemahkan dan mengubah sunatullah. Artinya, terhadap umat terdahulu mupun umat terkini dan nanti, berlaku kemurkaan Allah swt. Tak seorang pun dapat melepaskan diri dari azabnya, di dunia maupun akhirat. Berlakulah ungkapan “sopo sing salah bakal seleh”.
Agar perjalanan hidup kita sarat dengan keberkahan, dan terjauhkan dari laknatullah, maka sunatulah wajib menjadi rujukan dalam berpikir, bersikap, dan berperilaku pada semua urusan. Melalui evaluasi diri, insya Allah ditemukan seberapa besar kadar kuantitas maupun kualitas amal-amal saleh maupun dan perbuatan sesat dan jahat yang pernah dilakukan masing-masing.
Marilah, tahun baru 2024 dan seterusnya, diisi dengan upaya-upaya menjaga dan meningkatkan keimanan pada Allah swt. Di antara kita perlu saling ingat-mengingatkan perihal berlakunya sunatullah. Janganlah nafsu demokrasi menggusur ajaran religi dan hati-nurani. Ukuran kebenaran bukanlah suara terbanyak, melainkan kebenaran yang ada pada al-Haq (Tuhan Yang Maha Benar). Ketika anomali kehidupan semakin marak, maka bersandar pada sunatullah dan bersikap sabar, perlu terus diaktualisasikan dan disosilalisaikan kepada sesama komponen bangsa. Wallahu’alam bishawab. **
Prof. Dr. Sudjito Atmoredjo, S.H., M.Si.
Guru Besar Ilmu Hukum UGM.