Menimbang Utang Pemerintah: Aman atau Rawan?

Menimbang Utang Pemerintah: Aman atau Rawan?

Kebijakan Utang Pemerintah

DALAM waktu dekat ini, bengkaknya utang pemerintah menjadi topik yang hangat untuk didiskusikan. Hal ini dikarenakan adanya pandemi Covid-19 yang membuat negara-negara di dunia termasuk Indonesia melakukan kebijakan countercyclical, sehingga menimbulkan terjadinya peningkatan utang negara. Di sisi lain, utang pemerintah memunculkan konsekuensi pada sisi ekonomi, yakni utang sebagai pengungkit (leverage) pertumbuhan ekonomi. Kondisi ini membuat pemerintah menganut kebijakan defisit anggaran (kebijakan fiskal ekspansif) guna menggenjot dan menstimulus laju pertumbuhan ekonomi nasional. Meningkatnya pertumbuhan ekonomi nasional akan berdampak pada meningkatnya pendapatan nasional, yang selanjutnya dapat meningkatkan pendapatan per kapita masyarakat. Kebijakan ini baik digunakan apabila keadaan ekonomi pada suatu negara mengalami resesif (Satya, 2015).

Pandemi Covid-19 berimbas pada meningkatnya pengeluaran negara (belanja) dan menyusutnya penerimaan negara (pendapatan). Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), pendapatan dan pengeluaran negara pada tahun 2020 dan 2021, yaitu penerimaan negara sebesar Rp 1.698 triliun dan Rp 1.742 triliun sedangkan pengeluaran negara sebesar Rp 2.739 triliun dan Rp 2.750 triliun. Hal ini mengindikasikan terjadinya ketimpangan antara jumlah pendapatan dan pengeluaran yang menimbulkan defisit anggaran. Kondisi defisit timbul karena dana yang dimiliki pemerintah tidak sanggup membiayai jumlah belanja pemerintah. Pada tahun 2020 dan 2021, defisit anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN) mengalami peningkatan yang substansial, yakni 6,34% dan 5,7%. Supaya tidak terjadi defisit, maka pemerintah menutup defisit tersebut dengan melakukan pinjaman atau berhutang. Utang pemerintah adalah instrumen fiskal dalam mendanai belanja pemerintah.

Peningkatan utang Pemerintah Indonesia harus sepadan dengan belanja pemerintah untuk menunjang laju pertumbuhan ekonomi di tengah ekonomi negara yang mengalami kontraksi. Perlu adanya kesinambungan antara kemampuan pemerintah dalam meminjam dengan kemampuan pemerintah dalam membelanjakan utang pemerintah, untuk menunjang laju pertumbuhan ekonomi secara nasional. Yusuf Rendy (2021), ekonom Center of Reform on Economics (CORE) menyinggung pemerintah terkait belum optimalnya pemerintah dalam mengeksekusi belanja dari utang untuk menstimulus pemulihan ekonomi secara nasional (PEN) di banding negara lain, utamanya pada belanja kesehatan. Hal ini menunjukkan bahwa pemerintah perlu meningkatkan akselerasi atas realisasi anggaran belanja kesehatan. Dengan demikian, pemerintah perlu memberikan porsi anggaran yang lebih besar pada belanja kesehatan, dengan cara memperbanyak penyelenggaraan vaksinasi, test, tracing, dan isolasi.

Manajemen Utang Pemerintah

Muncul kekhawatiran dan kecemasan dari Badan Pemeriksa Keuangan setelah melakukan audit atas Laporan Keuangan Pemerintah Pusat (LKPP) yang memperoleh opini Wajar Tanpa Pengecualian (WTP); bahwa Pemerintah Indonesia disinyalir tidak mampu membayar bengkaknya utang pemerintah karena pandemi Covid-19, di mana posisi utang Pemerintah Indonesia sebesar Rp 6.079,17 triliun pada saat BPK melakukan audit LKPP. Kekhawatiran ini muncul karena adanya ketidakkonsistenan kemampuan pemerintah dalam membayar utang dan bunga utang pemerintah. Hal ini menjadi pertanyaan di benak masyarakat, apakah utang pemerintah pada kategori yang aman sehingga negara tidak akan mengalami kebangkrutan?

Berdasarkan APBN kita bulan Juli 2021, Kementerian Keuangan (2021) merilis informasi kondisi utang pemerintah per akhir Juni 2021 tercatat sebesar Rp 6.554,56 triliun atau meningkat sebesar Rp 136,41 triliun dibandingkan bulan sebelumnya, yakni sebesar Rp 6.418,15 triliun. Komposisi utang pemerintah terdiri atas surat berharga negara (SBN) dan pinjaman. Jumlah utang SBN yang tercatat sebesar Rp 5.580,02 triliun yang terdiri atas denominasi rupiah sejumlah Rp 4.430,87 triliun dan valuta asing Rp 1.280,92 triliun. Besaran pinjaman pemerintah sejumlah Rp 846,76 triliun dengan rincian, pinjaman domestik sebesar Rp 12,52 triliun sedangkan pinjaman luar negeri sebesar Rp 830,24 triliun.

Untuk melihat utang pemerintah aman, maka kita perlu memperhatikan rasio utang terhadap PDB sesuai dengan ketentuan perundang-undangan. Rasio utang pemerintah terhadap produk domestik bruto (debt to GDP) masih pada ambang batas atau level yang wajar. Berdasarkan data per akhir Juni 2021, rasio utang pemerintah mencapai 39,4%, sehingga berada pada level yang relatif aman atau menurun dibandingkan bulan sebelumnya sebesar 40,49%. Sebagaimana tertuang pada UU 17/2003 tentang Keuangan Negara, bahwa batas maksimal utang pemerintah sebesar 60% dari produk domestik bruto (PDB), artinya utang pemerintah masih jauh dari ancaman kebangkrutan berdasarkan ketentuan perundang-undangan.  Hal ini menunjukkan bahwa pemerintah tetap menjaga rasio utang terhadap produk domestik bruto (PDB) supaya tidak melebihi 60%. 

Bagaimana dengan rasio utang pemerintah Indonesia dibandingkan dengan negara-negara lain? Rasio utang Pemerintah Indonesia berada pada tingkat yang relatif lebih rendah apabila dibandingkan dengan negara-negara seperti China, Amerika Serikat, Jepang, Korea Selatan, Singapura, Vietnam, Filipina, dan Thailand. Rasio utang terhadap produk domestik bruto negara China sebesar 61,7%, Amerika Serikat sebesar 131,2%, Jepang sebesar 266,2%, Korea Selatan sebesar 48,4%, Singapura sebesar 131,2%, Vietnam sebesar 46,6%, Filipina sebesar 48,9%, dan Thailand sebesar 50,4%. Di kawasan Asia Tenggara, kondisi rasio utang Pemerintah Indonesia masih lebih baik daripada negara Singapura, Vietnam, Thailand dan Filipina.

Catatan Positif

Utang Pemerintah Indonesia dinilai masih berada pada tingkatan yang wajar dan aman, meskipun terjadi peningkatan yang tajam akibat pandemi Covid-19. Hal tersebut dapat ditinjau melalui beberapa aspek, di antaranya: pertama, posisi rasio utang Pemerintah Indonesia per akhir Juni 2021 terhadap PDB berada pada level yang aman berdasarkan ketentuan perundang-undangan, yaitu sebesar 39,4% dan relatif lebih rendah apabila dibandingkan dengan posisi utang terhadap PDB pada negara lain. Kedua, sebagian besar penerbitan Surat Berharga Negara (SBN) berdenominasi rupiah masih mendominasi utang pemerintah. Per akhir Juni 2021, utang pemerintah dalam SBN sebesar 87,14% dan sisanya 12,86% berasal dari pinjaman dalam dan luar negeri. Hal ini mengindikasikan bahwa utang negara dalam bentuk SBN didominasi oleh dana dari domestik. Di samping itu, pemerintah berupaya untuk meningkatkan kemandirian pembiayaan utang dan peran masyarakat sekaligus untuk meminimalkan risiko terjadinya gagal bayar. Ketiga, dominasi rupiah pada utang pemerintah dapat mengurangi dan meminimalkan risiko terjadinya fluktuasi nilai tukar mata uang dengan cara mengoptimalkan sumberdaya dalam negeri. Catatan terakhir, penulis berharap bahwa pemerintah perlu memperhatikan kesinambungan fiskal untuk mendorong tata kelola APBN yang lebih sehat, dengan cara meningkatkan penerimaan basis pajak. Pemerintah perlu inovatif dan kreatif dalam meningkatkan perluasan basis pajak untuk menggali potensi pajak negara. Hal ini perlu dilakukan supaya pemerintah lebih mandiri dalam membiayai utang dan menghindarkan pemerintah melakukan gali lubang dan tutup lubang pada utang pemerintah. Di samping itu, pemerintah perlu meningkatkan eksekusi belanja supaya lebih produktif untuk mendorong pemulihan ekonomi secara nasional akibat pandemi Covid-19. **

Krist Setyo Yulianto

Alumni Mahasiswa Magister Akuntansi Universitas Gadjah Mada