Rehabilitasi Pengguna Narkoba dalam Implementasi Restorative Justice

Rehabilitasi Pengguna Narkoba dalam Implementasi <i>Restorative Justice</i>

POLITIK hukum nasional masih mengedepankan unsur penghukuman dan pemidanaan (penjara) terhadap semua tersangka kasus narkoba termasuk kepada penyalahguna narkoba. Kondisi overcrowded Lembaga Pemasyarakatan mencapai 186%. Jumlah warga binaan 252.384 orang, sementara kapasitas yang tersedia hanya untuk 135,704 orang. Lebih dari 50% penghuni terkait dengan kasus narkoba. RPJMN 2020-2024 perbaikan sistem hukum pidana melalui pendekatan keadilan restoratif. Hal ini yang mendorong adanya reorientasi kebijakan penegakan hukum dan pelaksanaan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika.

Penegakan hukum sebagai salah satu wujud perlindungan negara terhadap hak asasi manusia harus dilaksanakan secara konsisten dan selaras dengan perkembangan hukum, serta memperhatikan rasa keadilan dan perubahan paradigma yang terdapat di dalam masyarakat. Bahwa bahaya penyalahgunaan narkotika, menunjukkan kecenderungan korban semakin meningkat, terutama di kalangan anak-anak, remaja dan generasi muda, sehingga diperlukan komitmen dan sinergi dari seluruh unsur aparat penegak hukum, pemangku kekuasaan terkait, maupun masyarakat, dalam menyikapi perubahan paradigma tersebut. Pecandu narkotika dan korban penyalahgunaan narkotika tidak semata- mata dipandang sebagai pelaku tindak pidana, tetapi juga sebagai korban, di mana pelaksanaan rehabilitasi merupakan bagian dari alternatif hukuman.

 

Selain itu, tentang penanganan penyalahgunaan narkotika dilakukan dengan dua metode, yaitu prevention without punishment melalui wajib lapor pecandu dan implementasi penegakan hukum rehabilitasi dengan pendekatan keadilan restoratif. Restorative Justice (keadilan restoratif), merupakan model pendekatan penyelesaian perkara pidana di mana semua pihak yang berkepentingan dalam perkara tersebut bertemu bersama untuk menyelesaikan secara adil dengan menekankan pengembalian seperti keadaan semula dan bukan pembalasan. Implementasi dari keadilan restoratif adalah dengan mencari alternatif pemidanaan dengan tidak mengedepankan pemenjaraan. Pasal 54 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 menyebutkan, pecandu narkotika dan korban penyalahgunaan narkotika wajib menjalani rehabilitasi medis dan sosial.

Perkara penyalahgunaan narkotika adalah perkara menggunakan narkotika untuk dikonsumsi dengan jumlah kepemilikan narkotika terbatas untuk sehari pakai. Gramasinya ditentukan dalam SEMA Nomor 4 Tahun 2010. Kewajiban penyidik dan penuntut untuk melakukan penyidikan dan penuntutan secara ilmiah, apakah penyalah guna berpredikat sebagai pecandu atau pecandu merangkap pengedar.

Persyaratan tambahan penanganan tindak pidana berdasarkan keadilan restoratif untuk tindak pidana narkoba, meliputi :

  1. Pecandu narkoba dan korban penyalahgunaan narkoba yang mengajukan rehabilitasi;
  2. Pada saat tertangkap tangan ditemukan barang bukti narkotika pemakaian 1 (satu) hari dengan penggolongan narkotika dan psikotropika sesuai dengan ketentuan perundang-undangan, dan tidak ditemukan barang bukti tindak pidana narkoba namun hasil tes urine menunjukkan positif narkoba;
  3. Tidak terlibat dalam jaringan tindak pidana narkoba, pengedar, dan/atau bandar;
  4. Telah dilaksanakan asesmen oleh tim asesmen terpadu;
  5. Pelaku bersedia bekerja sama dengan penyidik polri untuk melakukan penyelidikan.

Potensi penerapan keadilan restoratif dalam tindak pidana narkotika, meliputi:

  1. Regulasi untuk mendorong pelaksanaan keadilan restoratif semakin lengkap (Peraturan Kapolri Nomor 8 Tahun 2021 tentang penanganan tindak pidana keadilan restoratif. Peraturan Kejaksaan Nomor 15 Tahun 2020 tentang penghentian penuntutan berdasarkan keadilan restoratif. Pedoman Kejaksaan Nomor 18 Tahun 2021 tentang penyelesaian penanganan perkara tindak pidana penyalahgunaan narkotika melalui rehabilitasi dengan pendekatan keadilan restorative sebagai pelaksanaan asas dominus litis. Peraturan Bersama Tahun 2014 tentang penanganan pecandu narkotika dan korban penyalahgunaan narkotika ke dalam lembaga rehabilitasi.
  2. Pengetahuan atas informasi mengenai penerapan keadilan restoratif melalui layanan rehabilitasi bagi aparat penegak hukum semakin baik, masyarakat juga semakin paham mengenai hak untuk memperoleh layanan rehabilitasi sesuai regulasi yang berlaku
  3. Tim Asesmen Terpadu telah terbentuk di 34 BNNP dan 202 BNN Kabupaten/Kota dan telah berjalan sejak tahun 2014

Langkah antisipasi yang perlu dilakukan dalam penerapan keadilan restoratif dalam tindak pidana narkotika, meliputi:

  1. Mempersiapkan Balai/Loka Rehabilitasi BNN untuk dapat mengoptimalkan kapasitasnya dalam memberikan layanan rehabilitasi terhadap penyalah guna narkotika terkait hukum
  2. Mempersiapkan Klinik IPWL BNNP/BNNK untuk dapat memberikan layanan rehabilitasi terhadap penyalah guna narkotika terkait hukum
  3. Meningkatkan kemampuan Lembaga rehabilitasi (SDM dan kelembagaan), dari rumah sakit dan IPWL (Kementerian Kesehatan, Kementerian Sosial, Pemda) untuk memberikan layanan rehabilitasi terhadap penyalahgunaan narkotika terkait hukum.
  4. Pengaturan Tim Asesmen Terpadu, sebagai tim yang akan melakukan penilaian terhadap seorang penyalah guna narkotika, apakah dapat diberikan tindakan rehabilitasi atau tidak
  5. Diklat terpadu anggota TAT guna meningkatkan kompetensi dan performa anggota, tidak hanya memahami secara teknis yuridis, tetapi juga memahami landasan sosiologi dan filosofis semangat pelaksanaan rehabilitasi bagi pecandu/penyalah guna narkotika. *

Tri Sulistya Hadi Wibowo, S.Psi.

Konselor Adiksi Ahli Muda BNN Kabupaten Bantul