Dari Grup Facebook, TK Kecil Berusia 52 Tahun Ini Bangkit Lagi

TK Pertiwi 50 bukan sekolah dengan gedung megah atau fasilitas canggih. Dindingnya mulai menua menyimpan cerita panjang tentang ribuan anak yang pernah belajar di dalamnya, sejak 1973.

Dari Grup Facebook, TK Kecil Berusia 52 Tahun Ini Bangkit Lagi
Komunitas Jogja Menyapa sedang mengerjakan mural di TK Pertiwi 50. (muhammad zukhronnee muslim/koranbernas.id)

KORANBERNAS.ID, BANTUL -- Pada ruas jalan Tangkilan, Palbapang - Srandakan Bantul, berdiri sekolah Taman kanak-kanak (TK) yang telah menyaksikan perjalanan waktu selama 52 tahun.

TK Pertiwi 50, demikian namanya, bukan sekolah dengan gedung megah atau fasilitas canggih. Dindingnya yang mulai menua menyimpan cerita panjang tentang ribuan anak yang pernah belajar di dalamnya sejak 1973.

Mulai Minggu (1/6/2025) sesuatu yang ajaib terjadi. Dinding-dinding tua itu kini penuh dengan warna-warni ceria. Gambar-gambar kartun mulai dari hewan menggemaskan hingga piring terbang menghiasi tembok depan hingga pilar-pilar sekolah, seolah memberikan nafas baru pada bangunan yang sempat terlihat suram.

“Setelah dilukis, penampilannya lebih menarik. Anak-anak senang, dan dari jalan pun sudah kelihatan lebih hidup,” ujar Fadmi Lestari S Pd, Kepala TK Pertiwi 50, matanya berbinar saat memandangi mural-mural itu sedang dikerjakan.

Komunitas Jogja Menyapa berfoto bersama Kepala Sekolah dan Guru TK Pertiwi 50 di sela pengerjaan mural. (muhammad zukhronnee muslim/koranbernas.id)

Cerita kebangkitan TK Pertiwi 50 dimulai dari sebuah titik nadir yang menyakitkan. Menjelang pandemi silam, sekolah yang pernah ramai ini hanya menyisakan 10-11 siswa. Bagi sebuah institusi pendidikan, angka itu bukan hanya statistik melainkan alarm keras bahwa mereka berada di ambang kehancuran.

Fadmi, yang mulai menjabat kepala sekolah pada 2021 setelah sebelumnya menjadi guru, menghadapi tantangan yang tidak mudah. Di sekelilingnya, TK-TK besar dengan fasilitas lengkap dan program yang kuat seperti magnet yang menarik orang tua.

“Banyak orang tua yang memilih TK besar karena dianggap lebih memenuhi harapan, terutama dalam aspek keislaman dan fasilitas,” akunya dengan jujur kepada koranbernas.id.

Fadmi memilih tidak menyerah. Alih-alih berkutat dengan kekurangan, dia mulai memikirkan apa yang bisa dilakukan dengan sumber daya yang ada. Perlahan, strategi kebangkitan mulai dijalankan. “Alhamdulillah, setelah pandemi, naik jadi 14, kemudian 16, sekarang sudah 19 murid,” katanya dengan nada syukur yang tulus.

Program ekstrakurikuler
Salah satu kunci kebangkitan TK Pertiwi 50 terletak pada transformasi program ekstrakurikuler. “Dulu ekstrakurikuler kami seadanya. Baru setelah COVID-19 kami mulai mengajukan proposal dan dapat bantuan, seperti alat untuk kegiatan drum band,” jelasnya.

Kini, dengan hanya dua tenaga pengajar yang bertugas dari Senin hingga Jumat, TK kecil ini menawarkan kegiatan yang tak kalah menarik mulai dari tari, melukis dan drum band. Semua dilaksanakan setelah jam sekolah, menjadi magnet baru bagi anak-anak dan orang tua.

Meski berbasis Islam, Fadmi memastikan TK-nya tetap terbuka untuk semua siswa dari latar belakang berbeda. “Kami ingin memberikan pendidikan terbaik untuk semua anak,” tegasnya.

Jika ada momen yang paling berkesan dalam perjalanan kebangkitan TK Pertiwi 50, mungkin itulah saat para tangan-tangan terampil dari komunitas “Jogja Menyapa” datang dengan kuas dan cat warna-warni.
“Sempat dianggap mural itu bukan prioritas. Tapi sekarang setelah ada, ternyata pengaruhnya besar juga,” kenang Fadmi.

Paling berkesan
Sebelumnya, pihak sekolah memang lebih fokus pada kebutuhan primer seperti paving dan area parkir. Mural dianggap sebagai kebutuhan sekunder yang bisa ditunda. Namun, kenyataan berkata lain.

Tatkala dinding-dinding tua itu berubah menjadi penuh warna, efeknya tidak hanya visual. Anak-anak menjadi lebih bersemangat datang ke sekolah. Orang tua yang melintas mulai melirik dengan rasa penasaran. Bahkan, bisa menjadi daya tarik bagi calon siswa baru.

Meski telah mengalami kebangkitan yang menginspirasi, TK Pertiwi 50 masih menghadapi berbagai tantangan yang masih tersisa. Bangunan yang sudah berusia 52 tahun dan pernah terdampak gempa masih membutuhkan perbaikan besar-besaran. “Bangunan kami memang belum banyak direnovasi. Semoga ke depan ada bantuan juga untuk perbaikan fasilitas,” harap Fadmi.

Persaingan dengan TK-TK besar di sekitar juga masih menjadi tantangan tersendiri. Namun, dengan semangat dan kreativitas yang telah terbukti, Fadmi optimis bahwa TK kecilnya akan terus berkembang.

Grup Facebook

Di balik mural-mural menawan itu, ada cerita unik tentang sebuah komunitas yang lahir dari hal yang sepele. Adalah Jogja Menyapa awalnya hanyalah grup Facebook untuk bercanda dan berinteraksi. Siapa sangka, grup yang dimulai dari guyonan itu kini menjelma menjadi kekuatan sosial yang nyata.

Supriyanto adalah salah seorang penggerak utama komunitas ini. Selama tiga tahun terakhir, dia menyaksikan bagaimana grup Facebook sederhana berevolusi menjadi wadah kegiatan sosial, pendidikan dan budaya.

“Kegiatan sosial kami bersifat spontan. Ketika terjadi musibah seperti banjir, kami langsung gerak cepat membuka donasi dan menyalurkannya dalam waktu sekitar satu minggu hingga dua minggu,” jelasnya.

Komunitas yang terdiri dari dua koordinator wilayah -- Bantul dan Kota Yogyakarta -- memiliki total anggota sekitar 200 orang. Korwil Bantul tercatat memiliki 107 anggota, sementara Korwil Kota 97 orang. Meski begitu, yang aktif di lapangan biasanya hanya 20-30 orang. “Siapa yang punya waktu, tenaga dan kesehatan, ya ayo ikut. Tidak ada paksaan,” kata Supriyanto

Prinsip sederhana

Yang membuat Jogja Menyapa berbeda adalah prinsip-prinsip sederhana yang mereka pegang teguh. Semua kegiatan dijalankan secara swadaya tanpa pungutan atau honor. Transparansi menjadi kunci utama, dengan komitmen bahwa semua dana donasi harus habis tanpa sisa.

“Kita prinsipnya tidak boleh ada sisa. Kalau ada uang sisa dan tidak jelas penggunaannya, itu bisa menjadi masalah. Jadi, kami usahakan semuanya habis sesuai kebutuhan kegiatan,” tegasnya.

Prinsip ini bukan hanya slogan, tapi benar-benar dipraktikkan. Ketika mereka memutuskan untuk membuat mural edukatif di TK Pertiwi 50 sebagai fokus kegiatan 2025, dana yang terkumpul dari anggota dua wilayah dikelola dengan sangat hati-hati.

Perjalanan untuk menemukan lokasi mural juga penuh cerita. “Kami sempat kesulitan cari tempat. Teman-teman di kota sudah mencari ke berbagai sekolah, tapi tak bisa menemukan TK di Jogja yang belum bergambar,” ujar Supriyanto sambil tertawa.

Secara alami

Beruntung, setelah melakukan survei dan mengajukan permohonan, TK Pertiwi 50 memberikan izin. Pertemuan antara komunitas yang ingin berbagi dengan sekolah yang membutuhkan dukungan pun terjadi secara alami.

Bagi Jogja Menyapa, kegiatan mural di TK Pertiwi 50 adalah bagian dari visi yang lebih besar. “Kami ingin anak-anak merasa senang datang ke sekolah. Lewat gambar-gambar menarik, mereka bisa lebih semangat belajar,” kata salah seorang anggota komunitas.

Komunitas ini juga aktif dalam berbagai kegiatan sosial lainnya. Mulai dari berbagi kitab di mushala dan masjid, menyediakan kursi roda bagi yang sakit, berbagi takjil saat Ramadan, hingga menggalang bantuan untuk warga yang kesulitan. Semua dijalankan dengan semangat kebersamaan tanpa pamrih.

Cerita TK Pertiwi 50 dan komunitas Jogja Menyapa mengajarkan kita bahwa perubahan besar bisa dimulai dari hal-hal sederhana. Sebuah mural yang awalnya dianggap tidak prioritas ternyata mampu menghidupkan kembali semangat sebuah sekolah. Grup Facebook yang dimulai dari candaan bisa berevolusi menjadi kekuatan sosial yang nyata.

Ruang peduli

“Melalui kegiatan ini, kami membuktikan bahwa media sosial bisa menjadi kekuatan nyata yang mendorong perubahan positif di masyarakat. Bukan sekadar tempat bercanda, tetapi ruang untuk berbagi dan peduli. Refleksi yang tepat dari perjalanan komunitas Jogja Menyapa," kata dia

Kini, ketika anak-anak TK Pertiwi 50 bermain di halaman yang dihiasi mural warna-warni, mereka mungkin tidak menyadari bahwa mereka adalah bagian dari sebuah cerita kebangkitan yang menginspirasi.

Mereka adalah saksi hidup bagaimana dedikasi seorang kepala sekolah bertemu dengan kepedulian sebuah komunitas, menciptakan keajaiban kecil di selatan Bantul. (*)