Sumpah Pemuda dan Desa

Sumpah Pemuda dan Desa

DESA sarat sumberdaya. Ibaratnya, kita bisa hidup di desa tanpa uang seperser pun, hal ini jelas akan beda jika kita mengais hidup di kota. Segala rupa diuangkan dan diperhitungkan dengan matematika untung dan rugi.

Pertanian terhampar. Kita mau makan apa, pengin sayur apa atau kita mau minum apa, di desa segala ada, meskipun desa bukan segala-galanya. Produsen petani memang di desa. Sementara pabrikan profesi petani pun berhamburan dari desa-desa kita yang berkelindan pada lebih dari 74 ribu desa.

Pandemi ini membawa desa reborn. Kini desa pun kena timpuk pandemi pula, mungkin pandemi tak pernah tebang pilih, kecuali mereka yang taat prokes dan saling menjaga. Rasanya, tak ada yang perlu dikhawatirkan buat desa.

Pada satu titik, desa memang sudah sudah berat bebannya, baik fisik dan psIkologis. Pada fase fisik terbujur, masih ada infrastruktur desa yang kurang memadai, terutama di lintas batas antardesa. Mereka saling menghindar dan mengklaim itu bukan wilayahnya.

Tapi kala ada iming-iming bantuan dana. Mereka pun saling berebut klaim, jika itu desanya, kalau itu banyak warganya yang miskin. Tak sedikit warganya yang masih kuyub dalam gegap rumah tidak layak huni.

Desa harus bermesubudi, berupaya membuat warganya bisa bersenyum lepas tanpa beban dan mampu dan berani mengambil keputusan untuk masa depannya. Salah satu cara, merawat kaum muda agar tak berlarian ke kota, dengan membuka lapangan kerja dan usaha di desa. Tak masalah memulai dengan usaha ekonomi produktif berskala kecil dan mikro, secara lambat tapi pasti bahkan bisa secara cepat melampaui kemurungan desanya.

Di samping, membuka spot-spot produktif tersebut, penting juga menghadirkan para expert dan best practice lain yang bisa memantik spirit baru dan detak baru bagi konstruksi usaha kaum muda desa.

Dana desa pun penting menoleh pada potensi dan masa depan mereka. Bukan infrastruktur melulu, tapi penting memikirkan dan memberi porsi bagi ekplorasi pengetahuan, ketrampilan dan sikap entreuprenuer baru. Sebatas rintisan usaha maupun rintisan invensi teknologi tepat guna juga tak perlu menyurutkan langkah warga dan kaum muda desa.

Ragam ikhtiar ini nampaknya bakal mematahkan aus lalulintas pergerakan pemuda ke kota. Andai pergerakan itu para petani milenial yang berniaga produk pertaniannya ke kota, its okay, tidak masalah.

Yang menjadi masalah, ketika para mudanya hanya menggerutu, menyalahkan negara dan tidak pernah berbuat sesuatu. Mereka ini tak lebih sebagai reco gladag, tapi tuntutannya parlente. Gaya hidup glamour turut menjebaknya, terpapar dari kawan terdekat yang rela dan hanya puas menjadi babu di kota.

Di sinilah pentingnya penyadaran dan partisipasi semua pemangku kepentingan, untuk menahan pemuda tak menginggalkan desanya. Edukasi penuh kehangatan dan upaya pemanusiaan patut dikucurkan pula pada mereka.

Model industri kreatif, kegiatan kreatif dan inovatif terus didorong dan gerakan meski bermula dari permodalan dan keuangan yang mepet dan hanya jago ambil kredit di BPR, BKK, bank daerah atau di koperasi desa.

Untuk menggemukkan gerakan mencintai dan merasa memiliki desa butuh role model, sehingga membuat kaum muda lebih percaya diri dan optimis mengelola desa. Selain itu, perlu memanfaatkan kemajuan IT untuk kemajuan dan kemakmuran desa, sekurangnya sebagai bagian bisnis online, utamanya dalam hal pemasaran.

Pada era pandemi Covid-19 ini, pemuda tak sekadar berperan pada koridor prokes, gerakan eling dan ngelingke, tapi mesti inovatif jemput bola dengan rerupa edukasi gaya populer, sehingga konten dan pesannya kena dan masuk di otak, hati dan tekad warga desa.

Gelontoran atau pasokan literasi keilmuan maupun digitalisasi mesti tegak lurus disorongkan untuk meraup transfer kognitif, afektif, dan psikomotorik. Pada musim pandemi ini, desa pun tak boleh abai dengan pendidikan bagi warganya.

Perspektif Kesejahteraan

Dana desa pun sangat memungkinkan diserap untuk alokasi dana pulsa atau paket data internet, pemasangan hot spot public maupun penyediaan gadget atau handphone bagi anak-anak, remaja dan pemuda di desa yang masih berjuang menempuh ilmu di tembok sekolah dan kampus.

Pamuda sudah saatnya membalik desa, bikin desa yang hidup penuh dengan semangat dan nilai mandiri. Ruas keroyokan dan gotong royong harus menjelma dalam aktivitas yang membumikan perdamaian, kerukunan, toleransi dan persatuan.

Sebatang lidi tak berdaya untuk membersihkan halaman yang ditimpuk dedaunan berguguran. Akan lain kala seikat lidi mampu membersihkan kotoran dan dapat mengubahnya menjadi bersih dan nyaman bagi warga. Desa itu sederhana, desa itu bahagia dan desa itu masa depan. Sudahkah kita ingat desa, akankah kita merawat desa, kapan desa kita mendunia beralas norma dan laku desa.

Di luar yang disebut terdahulu, maka makna sumpah pemuda lainnya bagi desa adalah bagimana desa itu mampu mengelola limbah menjadi komoditas bernilai tambah secara ekonomi, sosial budaya dan lingkungan hidup. Dari sampah, misalnya ada sumber-sumber peraihan ekonomi baru, seperti komoditas maggot, komoditas batubata, keramik dan aneka handycraft yang tak kusut harganya. Ini menjadi peluang dan tantangan yang berperspektif kesejahteraan masyarakat. Membangun dari pinggiran atau desa, sumpah pemuda sumpah setia membangun desa. Dari desa tak pernah murka, meski jeritan acap menghela. Desa mawa cara, negara mawa tata. *

Marjono

Kasubag Materi Naskah Pimpinan pemprov Jateng