Menyelamatkan Anak-anak Zaman dari Klitih

Menyelamatkan Anak-anak Zaman dari Klitih

BARANGKALI klitih telah menjadi duri bagi warga Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY). Sudah berapa banyak korban akibat ulah kelompok Klitih. Jogja.tribunnews.com (22/1/2021) melansir, polisi kembali membekuk satu geng klitih di Yogyakarta. Geng tersebut sempat ramai dibicarakan di Twitter karena aksi mereka yang membacok tiga pemotor di sekitar Jalan Gambiran, Umbulharjo, Yogyakarta, Rabu (20/1/2021).

Klitih merupakan kelompok anak remaja yang bergaya bar-bar. Sebagai kata sifat, “barbar” identik dengan kekerasan, sadisme, kekejaman, kebodohan, pelanggaran terhadap norma. Mereka tak segan melakukan kejahatan jalanan dan sangat meresahkan warga. Menurut Ahmad Fuadi dkk dalam Faktor-faktor Determinasi Perilaku Klitih (2019), klitih mulanya hanya diartikan sebagai sebuah kegiatan jalan-jalan biasa yang dilakukan tanpa tujuan yang jelas.

Berawal halnya kenakalan remaja (juvenile delinquency) dengan muter-muter kota, berlanjut hingga merampas barang-barang sepele, seperti rokok, minta uang receh, dll. Namun seiring proses waktu berjalan, mereka tak merasa berdosa rela menghabisi nyawa orang lain. Entah dia musuh atau bukan, pokoknya membabi-buta (acak), suka-suka kelompoknya.

Serupa klitih juga muncul Geng Motor Bandung dan Jakarta, Geng Klewang Pekanbaru, Geng Cokor, Geng 69 Semarang, Geng Nero Pati dengan kelakuan yang tak jauh beda. Anggota geng rerata adalah anak-anak yang masih berstatus pelajar maupun dropout.

Anak asuh rembulan seperti klitih menjadi bukti kegagalan dunia pendidikan. Sekurangnya, seolah orang tua menjadi bodoh. Seakan guru menjadi manusia tak berguna. Lembaga sekolah dan pesantren seperti kehilangan ruhnya. Namun, apapun brutal dan bengalnya anak-anak geng tersebut, klitih juga manusia, anak-anak kita.

Acap anak-anak selalu dituding sebagai biang kerok kesalahan. Hampir tak pernah ada orang tua maupun guru yang mengakui salah dan gagal mendidik anak-anaknya, meskipun anak-anak ini sudah kepalang basah, nasi sudah menjadi bubur. Tidaklah tepat kita umpat, caci-maki dan habisi dengan ragam kekerasan verbal lainnya; tapi dekati, usap dan ciumlah anak-anak itu satu-satu. Ciuman yang menyelamatkan dari kepedihan.

Kemaki-nya, nakal-nya maupun perilaku geng-geng di atas, sesungguhnya tak lebih hanya show of force atas kekuatan dan kehebatan yang selalu diklaim miliknya dan perkawanan sebaya yang hebat dan merasa "klik." Akibat mereka yang asosial itu, geng-geng belia ini malah acap melampuai keliaran dan kejahatan lain. Mereka lekat dan memuja praktik ekonomi underground, seperti penyelundupan, perjudian, minuman keras, peredaran narkoba, tindak kriminal, prostitusi, perdagangan perempuan dan anak, dll. Karena dengan cara itu mereka merasa hidup dan bertahan.

Berkembangnya anggota geng-geng reseh ini bukan karena suburnya kaderisasi anggota geng, tapi karena banyaknya orang baik yang hanya diam. Keterpurukan ini sekurangnya juga disokong oleh mudah dan masifnya anak-anak mengakses konten-konten media online dan offline juga media masa lain yang lebih menjulurkan konten-konten kekerasan. Selain itu kadang anak-anak secara tak langsung tereduksi dari lingkungan yang mengedepankan cara-cara kekerasan dalam mengatasi problema hidupnya. Sehingga jalan yang serupa pun dilancarkan oleh anak-anak sebagai bagian aktualisasi diri.

Kita bisa ngrumat mereka dengan menempuh beragam jalur. Pertama, mengedepankan pedagogi egalitarian yang lebih mengusung model pendidikan demokratis, dialog dan dibuat sedemikian rupa, sehingga anak-anak tak merasa hanya menjadi subordinat, tapi punya peran dan kedudukan yang sama. Lebih ke sharing. Penghormatan dan penghargaan atas pendapat anak-anak butuh kerelaan pendidik (keluarga dan sekolah). Di sinilah role model atau keteladanan sebagai panutan jalan kebaikan mesti ditegakkan. Integritas orangtua, anggota keluarga dan guru layak diketengahkan. Bukan jarkoni (pinter ujar ora iso nglakoni).

Kedua, menyalurkan mereka pada kegiatan positif sehingga semakin meluruskan otak dan pasion lewat kanal-kanal kelompok belajar, pramuka, group band, klub olahraga, pecinta alam, remaja masjid, bhakti sosial, sekolah minggu, tentu dengan mendiskusikannya lebih dahulu dengan anak-anak kita. Lewat manajemen waktu seperti ini, sekurangnya akan mengisi waktu bagi anak untuk tidak merampas, merampok, bahkan membunuh: no time to kill.

Klitih(isme)

Menyemai dan melatih anak demikian, sekurangnya membawa anak merasa masih dibutuhkan dan berguna bagi orang lain. Namun, mereka yang sudah terlibat kriminal atau melanggar hukum, harus diberi sanksi sesuai dengan regulasi yang ada, sehingga menerbitkan efek jera bagi anggota geng.

Ketiga, kita optimalkan kembali tripusat pendidikan, yakni keluarga, sekolah dan masyarakat dibantu aparatur pemerintah, bahkan para pemuka agama bersama-sama merangkul dan membantu anak-anak geng ini membalik kebengalannya, mengubah perilaku mall adjusted menjadi well adjusted. Sekurangnya, mengembalikan dan membentengi mereka pada nilai-nilai keutamaan spiritual agama, sosial dan kemanusiaan yang barangkali sudah mulai senyap bahkan hilang.

Menjadi orangtua memang tak gampang, dalam konteks klitih demikian, maka tantangannya adalah bagaimana mengubah mental mereka melalui ruas keteladanan yang akan menjadi panutan bagi anak-anak. Di sinilah konsistensi penting menjadi takaran. Geng seperti klitih itu bahaya, tapi jauh lebih berbahaya adalah klitih(isme) yang nampaknya cukup marak di kota-kota besar kita.

Ke-raja tega-an klitih selama ini harus menjadi momentum kopi pahit sekaligus penyadaran lembaga keluarga, sekolah, pesantren, institusi hukum dan peradilan, sekaligus aparat penindak yang tidak lemah untuk bangkit gotong royong  atas "anak polah bopo kepradah," menjadi tanggung jawab bersama dan tidak saling menyalahkan serta tetap merawat regulasi dan norma yang berlaku.

Tak ada salahnya kita menggerakkan kembali model konseling lewat home visit (kunjungan rumah) – kalau sekarang mungkin dilakukan secara virtual atau daring - karena akan membantu sekolah dalam menggali informasi atas rekam jejak anak di keluarga dan lingkungannya.

Guru BK akan memotret siapa anak itu, relasi atas problema anak hingga rencana tindak lanjutnya. Penting juga diterapkan model edukasi via peer group, karena mulut teman lebih ampuh ketimbang orangtua dan atau guru yang dianggap cerewet. Inilah sepenggal transformasi buat klitih, anak-anak zaman, dan anak-anak kita juga. **

Marjono

Kasubag Materi Naskah Pimpinan Pemprov Jateng