Reformasi Struktural Indonesia dan Pertumbuhan Ekonomi Berkelanjutan

Oleh: Boy Anugerah

Di tengah perlambatan dan kelesuan perekonomian global, pemerintah tetap berupaya mematok target-target ekonomi secara optimistis. Ketika pertumbuhan ekonomi dunia diprediksi berjalan di level 3,2 persen untuk dua tahun ke depan, pemerintah tetap optimis Indonesia masih bisa melaju di angka 5 hingga 5,5 persen. Untuk mencapai target ini, secara garis besar, pemerintah perlu mempertimbangkan dua faktor utama yang mempengaruhi, yakni lingkungan geoekonomi global, serta kapasitas nasional dalam memenuhi target-target tersebut.

Reformasi Struktural Indonesia dan Pertumbuhan Ekonomi Berkelanjutan
Boy Anugerah (Istimewa).

DALAM beberapa tahun ke depan, Indonesia memiliki target-target ambisius yang hendak dicapai. Pertama, visi Indonesia Emas 2045 untuk mewujudkan Indonesia yang berdaulat secara politik, mandiri di bidang ekonomi, serta berkepribadian di budaya. Visi ini dicanangkan dalam rangka menyongsong satu abad usia Indonesia. Kedua, Indonesia memiliki beberapa proyek strategis nasional, khususnya IKN di Kalimantan Timur yang dicanangkan sebagai ibu kota negara dan menjadi pusat gravitasi nasional; sebagai pusat pemerintahan, pusat perekonomian dan perdagangan, serta pusat pertahanan dan keamanan. Ketiga, pemerintahan terpilih Prabowo Subianto dan Gibran Rakabuming Raka memancang target pertumbuhan ekonomi ambisius, yakni sebesar 8 persen. Hal ini berpijak pada rasionalitas bahwa Indonesia memiliki potensi sumber daya alam yang besar untuk dimanfaatkan, dukungan bonus demografi, serta pandangan bahwa pertumbuhan ekonomi yang stabil dan progresif dapat berkorelasi lurus bagi terciptanya lapangan pekerjaan bagi rakyat.

Beberapa kebijakan ekonomi progresif sudah dijalankan sepanjang 2024 oleh rezim Joko Widodo. Pemerintah Indonesia berupaya untuk terus memacu investasi asing guna membiayai proyek-proyek strategis di dalam negeri, mulai dari pembangunan IKN, hilirisasi tambang nikel di Indonesia bagian timur, proyek kereta cepat Jakarta-Bandung, pembangunan jalan tol Trans Kalimantan dan Papua, revitalisasi sumber-sumber minyak bumi dan gas alam, serta program-program pengembangan ketahanan pangan nasional seperti food estate, dan diversifikasi sumber pangan. Pemerintah juga berkomitmen untuk melakukan transformasi ekonomi digital guna memacu pertumbuhan ekonomi nasional, serta membuat proses ekonomi dari produksi, distribusi, hingga konsumsi menjadi lebih efektif dan efisien. Sebagai respons atas tuntutan global untuk menerapkan kebijakan ekonomi yang ramah lingkungan, pemerintah juga menerapkan kebijakan ekonomi hijau dan ekonomi biru, yakni pemanfaatan sumber daya nasional di darat dan di laut dengan memperhatikan aspek ekologis atau lingkungan hidup.

Tantangan perekonomian

Pertumbuhan ekonomi Indonesia sepanjang pemerintahan Presiden Joko Widodo harus diakui belum mampu memenuhi target yang dicanangkan pada masa kampanye, yakni pertumbuhan ekonomi sebesar 7 persen. Pertumbuhan ekonomi Indonesia melaju di kisaran 5 persen plus minus, bahkan sempat terjerembab pada resesi ekonomi, yakni pertumbuhan ekonomi negatif selama dua kuartal berturut-turut pada 2020 sebagai imbas pandemi Covid-19. Belum tecapainya pertumbuhan ekonomi sebesar 7 persen ini, sejatinya perlu dievaluasi secara komprehensif dengan menimbang semua aspek seperti kapasitas sumber daya nasional, pertumbuhan ekonomi regional dan global, dan kinerja birokrasi di Indonesia. Pertumbuhan ekonomi menjadi hal yang sangat penting bagi makro ekonomi nasional, karena pertumbuhan ekonomi yang progresif akan berdampak positif bagi terbukanya lapangan pekerjaan, pengurangan tingkat pengangguran, meningkatnya kapasitas produksi dari pelaku usaha nasional, serta meningkatnya daya beli masyarakat. Pada masa pandemi yang lalu, resesi ekonomi begitu tergambar jelas melalui fenomena banyaknya pelaku UMKM yang gulung tikar, PHK dan pengurangan jumlah karyawan oleh perusahaan, serta bertambahnya tingkat pengangguran terbuka.

Di tengah perlambatan dan kelesuan perekonomian global, pemerintah tetap berupaya mematok target-target ekonomi secara optimistis. Ketika pertumbuhan ekonomi dunia diprediksi berjalan di level 3,2 persen untuk dua tahun ke depan, pemerintah tetap optimis Indonesia masih bisa melaju di angka 5 hingga 5,5 persen. Untuk mencapai target ini, secara garis besar, pemerintah perlu mempertimbangkan dua faktor utama yang mempengaruhi, yakni lingkungan geoekonomi global, serta kapasitas nasional dalam memenuhi target-target tersebut.

Lingkungan geoekonomi global bisa dikatakan kurang kondusif. Perang dagang antara Amerika Serikat dan Tiongkok terus berlanjut, sehingga mempengaruhi besaran neraca perdagangan Indonesia terhadap kedua negara. Jika terus berlanjut, Indonesia berpotensi mengalami defisit neraca perdagangan karena ekspor Indonesia ke Amerika Serikat dan Tiongkok melemah sebagai konsekuensi logis melambatnya pertumbuhan ekonomi kedua negara. Bagi negara-negara lain, perang dagang kedua negara mempengaruhi arus perdagangan dunia, serta pergerakan pasar keuangan. Geoekonomi dunia lainnya yang mempengaruhi ketahanan ekonomi nasional adalah perang Rusia dan Ukraina yang menyebabkan sumbatan pada rantai pasok komoditas dan energi. Perang di antara kedua negara menyebabkan impor gandum dan kenaikan harga pupuk di level nasional karena keterbatasan pasokan gas alam dari Rusia.

Respons pemerintah

Dalam merespons geoekonomi global tersebut, Indonesia perlu menempuh langkah-langkah strategis. Pertama, Indonesia perlu memperbesar neraca perdagangan dengan negara-negara lain untuk menutup defisit neraca perdagangan dari Amerika Serikat dan Tiongkok. Kedua, Indonesia perlu melakukan diversifikasi kerja sama dengan negara-negara lain untuk beberapa komoditas guna mengurangi dependensi atau ketergantungan dengan negara-negara tujuan impor. Ketiga, Indonesia perlu secara konsisten meningkatkan volume ekspor untuk produk-produk unggulan seperti kelapa sawit, karet, nikel, serta produk-produk pangan unggulan nasional. Keempat, ekspor Indonesia ke negara lain dioptimalkan dalam bentuk produk olahan untuk memberikan nilai tambah pada produk Indonesia dan tentunya memperbesar jumlah devisa yang diperoleh. Kelima, kerja sama ekonomi yang dijalankan oleh Indonesia dengan negara lain, baik dalam kerangka bilateral, trilateral, maupun multilateral dilakukan dalam kerangka menarik investasi yang sifatnya padat karya (human intensive) ke dalam negeri untuk membuka lapangan pekerjaan, serta ditambah dengan perjanjian untuk melakukan alih teknologi.

Kebijakan strategis

Reformasi struktural Indonesia guna menjaga pertumbuhan ekonomi secara berkelanjutan erat kaitannya dengan optimalisasi kapasitas nasional dalam memenuhi target-target ekonomi makro dan kebijakan fiskal nasional. Berikut upaya-upaya strategis yang dapat dilakukan oleh pemerintah.

Pertama, meningkatkan pendapatan nasional yang bersumber dari pajak dengan memperbesar rasio pajak (tax ratio) dan memperluas jumlah wajib pajak nasional, terutama dari badan-badan usaha dan korporasi. Pada 2022, rasio pajak Indonesia berada di angka 10,38 persen. Angka ini jauh berada di bawah Thailand sebesar 17,18 persen, Vietnam 16,1 persen, dan Singapura 12,96 persen. Pada 2024, target rasio pajak yang dicanangkan oleh pemerintah hanya sebesar 10,12 persen.

Kedua, memperkuat dan memperluas kebijakan hilirisasi tambang nasional untuk memperbesar pendapatan negara dalam bentuk devisa. Saat ini kebijakan hilirisasi baru diterapkan pada nikel. Kebijakan ini dapat diperluas pada barang tambang unggulan lainnya seperti timah dan bauksit. Selain itu, kebijakan hilirisasi yang artinya meningkatkan nilai tambah produk dapat juga diterapkan di sektor pertanian, perkebunan, dan perikanan dengan memperkuat industri olahan dan memperbaiki rantai logistik dan rantai nilai di antara para pelaku industri.

Ketiga, mempercepat perbesaran komposisi energi baru dan terbarukan atau energi alternatif pada bauran energi nasional. Indonesia memiliki potensi sumber daya alternatif yang besar dalam bentuk panas bumi, gelombang angin, gelombang laut, panas matahari, bahkan nuklir karena melimpahnya jumlah uranium. Percepatan ini sangat penting untuk mengurangi ketergantungan Indonesia terhadap negara lain, serta potensial meningkatkan daya tawar Indonesia dalam menjalin kerja sama dengan negara lain.

Keempat, memperkuat ketahanan pangan nasional dengan melakukan kebijakan diversifikasi produk pertanian, pengembangan bibit unggul pertanian, perbaikan tata kelola logistik dan distribusi pangan nasional, menjaga tata ruang pertanian dari konversi lahan pertanian ke peruntukan lainnya, serta meningkatkan daya tahan petani dari ancaman perubahan iklim.’

Kelima, melakukan akselerasi transformasi ekonomi digital nasional, khususnya dengan menyasar pelaku UMKM dan ekonomi kreatif. Transformasi ekonomi digital nasional artinya berupaya menghubungkan para pelaku ekonomi dengan akses teknologi informasi dan komunikasi agar proses perdagangan yang dilakukan efektif dan efisien. Hal-hal konkret yang perlu dilakukan oleh pemerintah adalah menyediakan infrastruktur teknologi, dukungan pada ekosistem e-commerce, aksesibilitas perbankan, dan teknologi pembayaran (QRIS, transfer, dsb).

Ketahanan ekonomi menjadi kunci bagi Indonesia dalam merespons perlambatan ekonomi global yang disebabkan oleh dinamika geoekonomi dunia. Guna mewujudkan ketahanan ekonomi tersebut, Indonesia perlu merumuskan kebijakan taktis dalam merespons dinamika global, serta memperbesar kapasitas nasional dalam mengoptimalkan sumber daya nasional bagi pemenuhan target-target ekonomi makro dan kebijakan fiskal yang dicanangkan. (*)

Boy Anugerah, SIP., MSI., MPP.

Tenaga Ahli di MPR RI