Totalitas melawan Nekolim

Oleh: Sudjito Atmoredjo

Situasi dan kondisi negeri ini, sejak era reformasi, membenarkan hadirnya Nekolim itu. Negara-negara asing, beserta oligarki sebagai kaki-tangannya, telah berhasil menguasai sebagian besar sumberdaya alam negeri ini. Partai-partai pun telah dikendalikan melalui campur-tangan urusan keuangan, penentuan pimpinan, dan pragmatisasi visi-misinya. Presiden sebagai petugas partai, beserta kabinetnya, bahkan seluruh pejabat publik, birokrasi, aparat negara, telah dibelinya, sehingga mereka pasti tunduk dan taat pada perintah oligarki sebagai majikannya.

Totalitas melawan Nekolim
Sudjito Atmoredjo. (istimewa).

BERBAGAI predikat negatif melekat pada negeri tercinta, Indonesia. Disebutnya negeri gagal, negeri tidak baik-baik saja, negeri gelap, dan sebagainya. Penyematan predikat demikian, cukup beralasan. Utamanya terkait dengan munculnya bentuk penjajahan baru yang bersifat laten dan dominan di bidang politik, ekonomi, hukum, pemikiran, dan semua aspek kehidupan.

Dulu, pada era Presiden Soekarno, dikenal istilah Nekolim. Kependekan dari Neokolonialisme dan imperialisme. Dimintakan perhatian serius oleh Presiden waktu itu, perihal munculnya Nekolim sebagai penjajahan baru di negeri ini. Negara-negara besar, kuat dan serakah, bersekongkol dengan komunitas/aparat/pejabat negeri, melakukan eksploitasi atas sumberdaya alam (tanah, tambang, air, dan segala isi bumi Indonesia) untuk kepentingannya. Seiring dengan itu, politik, hukum, dan perekonomian, didesaian sedemikian rupa agar menguntungkan/memihak pada penjajah baru itu.

Situasi dan kondisi negeri ini, sejak era reformasi, membenarkan hadirnya Nekolim itu. Negara-negara asing, beserta oligarki sebagai kaki-tangannya, telah berhasil menguasai sebagian besar sumberdaya alam negeri ini. Partai-partai pun telah dikendalikan melalui campur-tangan urusan keuangan, penentuan pimpinan, dan pragmatisasi visi-misinya. Presiden sebagai petugas partai, beserta kabinetnya, bahkan seluruh pejabat publik, birokrasi, aparat negara, telah dibelinya, sehingga mereka pasti tunduk dan taat pada perintah oligarki sebagai majikannya.

Dalam situasi serba tragis, ironis, sarat penderitaan, menjadi suatu kewajiban bagi siapa pun berjiwa sosial-kebangsaan (nasionalis), untuk berjuang mengubah/mengembalikan kehidupan bernegara, agar menjadi damai, tenang, tenteram, adil-makmur, dalam naungan Allah Swt (baldatun toyyibatun warobbun ghofur). Perjuangan ini sungguh berat, bila semata dirasionalkan pada tantangannya.

Mengapa demikian?

Karena, melalui kejahatan terstruktur, sistematis dan masif, penjajah baru (melalui aparatnya) telah mempersiapkan segala tameng/perisai dan senjata untuk melakukan serangan balik terhadap para nasionalis. Perisai dimaksud antara lain berupa ideologi penjajahan, utamanya: komunisme, liberalisme, dan kapitalisme. Segala macam cara dianggap sah/halal, bila rasional dan benar dalam koridor ideologi-ideologi tersebut.

Adapun senjata-senjatanya, berupa preman bersenjata, oknum polisi, dan oknum militer. Bahkan, polisi asing pun diam-diam dipersiapkan untuk membantu bertempur menyelamatkan kepentingan oligarki dan antek-anteknya.

Realitas empiris menunjukkan, perlawanan nasionalis terhadap Nekolim - koruptor, oligarki, dan antek-anteknya - sering gagal. Simpel saja sebabnya. Preman-preman dikerahkan agar bersikap brutal, bengis, dan kejam. Kalau mereka dihadapi dengan sikap sama, maka perang saudara tak terhindarkan. Pasti ada korban.

Ketika perjuangan dilakukan melalui jalur hukum, di sana oknum-oknum aparat hukum telah dibeli oleh oligarki. Akibatnya, proses hukum/peradilan maupun keadilan yang dihasilkannya, amat memihak (berat-sebelah) pada kepentingan penjahat/tergugat.

Demi keberhasilan perjuangan melawan Nekolim, maka izinkan masalahnya dibahas secara mendasar, menukik, dan holistik sesuai ajaran agama, dan tidak hanya ingar-bingar di permukaan (fisik-lahiriah).

Telah diketahui bersama bahwa pada ranah agama, ada perintah kepada umat Islam untuk amar ma’ruf - nahi munkar, yakni berbuat baik, mengajak orang lain berbuat baik, sekaligus bersungguh-sungguh mencegah dan melawan terhadap segala bentuk kemunkaran/kejahatan. Bila dua amalan tersebut dilakukan, maka dijamin oleh Allah Swt, keberuntungan berpihak pada pelakunya. Bahkan mereka layak disebut sebagai umat terbaik (QS.al-Imran ayat: 110).

Untuk diingat bahwa amar ma’ruf - nahi munkar itu hukumnya wajib. Oleh karenanya, tidak boleh sekali-kali diremehkan, apalagi ditinggalkan. Keengganan mengamalkan dua perintah tersebut, berkonsekuensi pada ditimpakannya hukuman/siksa/azab Allah Swt, di dunia dan di akhirat. Lebih dari itu, bagi orang-orang yang enggan/lalai mengerjakannya, maka permohonan/doanya, tiadalah akan dikabulkan-Nya (HR Tirmidzi dari Hudzaifah ibn al-Yaman).

Sungguh, amar ma’ruf - nahi munkar bukan untuk memberatkan manusia dalam mengemban amanah kekhalifahan, melainkan dibebankan secara proporsional. Barang siapa melihat/menjumpai suatu kemunkaran, maka ada kewajiban baginya untuk menindaknya dengan tegas. Terkait dengan posisi dan kemampuan masing-masing, maka 3 (tiga) pilihan terbuka dilakukannya.

Pertama, bagi orang yang memiliki kekuasaan, kekuatan, otoritas formal, maka dengan tangannya, dia wajib berbuat langsung dan tegas. Seorang Presiden misalnya, wajib memimpin, berdiri di baris terdepan melawan Nekolim. Semua aparat di bawahnya, wajib digerakkan pula, sehingga terwujud gerakan nasional anti Nekolim.

Kedua, bagi orang-orang tanpa otoritas, sementara padanya hanya melekat peluang dan kemampuan menyuarakan kebenaran melalui lisan, maka wajib baginya bertindak sesuai posisinya itu. Para akademisi, ulama, rohaniwan, budayawan, wartawan, dan golongan lain sejenisnya, wajib mengekspresikan perlawanan terhadap Nekolim, melalui orasi, tulisan, lagu, atau karya budaya.

Ketiga, bagi siapa pun berkemampuan serba terbatas, selagi masih dalam keimanan (walau imannya lemah), wajib baginya berdoa, sebagai bentuk perlawanan secara batiniah. Doa sebagai kelengkapan usaha lahiriah, merupakan kewajiban spiritual-religius. Ud’uunii astajib lakum - berdoalah kepada-Ku, niscaya akan Aku perkenankan doa kalian (QS. al-Ghafir, ayat: 60).

Sehubungan dengan pluralitas/kemajemukan posisi dan kemampuannya serta berlapis-lapisnya kondisi kehidupan masyakat, maka amar ma’ruf - nahi munkar, akan efektif bila dilakukan berkelompok/terorganisir (QS. al-Imran, ayat: 104). Pejuang terorganisir dapat dipandang sebagai skuadran pasukan tempur. Ada komandan, ada prajurit, dan ada aturan/tata-tertib, kedisiplinan, dan lain-lain. Baik sipil maupun militer, bersatu-padu, bergerak dalam komando pimpinan. Daripadanya terhimpun kekuatan dahsyat.

Realitas empiris menunjukkan, Nekolim terus merangsek. Penderitaan rakyat semakin akut. Sadar akan ancaman keterjajahan itu, telah banyak komunitas berkumpul, berdiskusi, membahas, dan mencari solusi. Sayang, di antara komunitas-komunitas itu, tidak/kurang terjalin komunikasi, kohesi, dan jejaring yang kuat. Bahkan terkesan, masing-masing bergerak sendiri-sendiri, tercerai-berai.

Kehadiran figur/tokoh berkarakter organisator sangat dinantikan. Mereka tidak boleh berdiam diri, oportunis, lamban bergerak. Rakyat menunggu, kapan muncul organisator yang mampu menggelorakan semangat juang, sekaligus memimpin perjuangan pada skala nasional dan lokal.

Di pundak mereka semua amanah perjuangan melawan Nekolim perlu ditunaikan secara terpadu, serentak, dan total. Totalitas perlawanan merupakan prasyarat perubahan, agar gelapnya negeri ini kembali menjadi terang-benderang. Maju tak gentar, membela kebenaran, demi kejayaan Indonesia. Wallahu’alam.

Prof. Dr. Sudjito Atmoredjo, S.H., M.Si.

Guru Besar pada Sekolah Pascasarjana UGM