Bertema Kemanusiaan, ISI Yogyakarta Gelar Pameran Seni Visual "Sense and Sensibility"
Seni bukan semata-mata persoalan keindahan dan rasa tetapi juga etika.
KORANBERNAS.ID, BANTUL -- Pengguntingan pita pada pintu masuk Galeri Pandeng oleh Rektor Institut Seni Indonesia (ISI) Yogyakarta Dr Irwandi SSn MSn bersama Founder Project Eleven, Konfir Kabo, Minggu (22/6/2025) malam, menandai secara resmi dibukanya International Photography and Video Art Exhibition yang diikuti oleh peserta dari sembilan negara.
Pameran berskala internasional bertema kemanusiaan Sense and Sensibility: International Student Joint Exhibition itu relevan dengan kondisi dunia saat ini yang diwarnai krisis politik global.
Berbagai karya yang ditampilkan pada pameran yang berlangsung 22-29 Juni 2025 itu menarik minat pengunjung untuk menikmati, mengamati dan memahami realita-realita sosial di berbagai negara yang diangkat lewat karya seni visual.
Di hadapan peserta, tamu dan undangan dari sejumlah negara tergabung dalam Indonesia Australia Art Forum (IAIF), Dekan Fakultas Seni Media Rekam ISI Yogyakarta, Dr Edial Rusli SE M Sn, menyampaikan apresiasi kepada peserta yang telah berpartisipasi.
Rektor ISI Yogyakarta, Dr Irwandi (baju batik) saat pembukaan Pameran Seni Visual "Sense and Sensibility" di Galeri Pandeng ISI Yogyakarta. (sholihul hadi/koranbernas.id)
Apresiasi serupa juga disampaikan Rektor Irwandi yang malam itu terlihat penuh antusiasme berbaur dengan para peserta dari berbagai negara di antaranya Korea, Jepang, Australia, Malaysia dan Indonesia. Bagaimana pun, ini merupakan bagian dari upaya menjadikan ISI Yogyakarta sebagai perguruan tinggi seni berkelas dunia.
Sebelum pembukaan pameran, Wahyudin selaku Kurator Independen Indonesia menyampaikan karya-karya tersebut sangat relevan dan kontekstual dengan situasi politik global.
Dia berpendapat, inilah tantangan bagi para fotografer, vidoegrafer dan media visual lainnya mengingat seni bukan semata-mata persoalan keindahan dan rasa tetapi juga etika.
Lebih lanjut Edial Rusli menambahkan, pameran ini menampilkan karya-karya terpilih dari mahasiswa dan akademisi, termasuk dari Fakultas Seni Media Rekam ISI Yogyakarta, serta perguruan tinggi dan seniman ternama dari Australia dan Indonesia.
Salah satu karya yang mencuri perhatian pengunjung pameran "Sense and Sensibility" di Galeri Pandeng ISI Yogyakarta. (sholihul hadi/koranbernas.id)
Galeri Pandeng Fakultas Seni Media Rekam ISI Yogyakarta sebagai lokasi pameran dinilai sangat tepat mengingat galeri berstandar internasional itu telah diakui oleh Fédération Internationale de l'Art Photographique (FIAP).
"Galeri Pandeng merupakan ruang pamer berstandar internasional di bawah Fakultas Seni Media Rekam ISI Yogyakarta, yang telah mendapatkan pengakuan dari FIAP," ujarnya di sela-sela acara.
Galeri Pandeng ISI Yogyakarta kerap menjadi tuan rumah pameran seni kontemporer bertaraf global sekaligus ikut berkontribusi mendukung perkembangan seni visual di Indonesia dan dunia.
Dengan mengusung tema Sense and Sensibility, pameran kali ini mengeksplorasi isu-isu global seperti konflik kemanusiaan, ketimpangan sosial dan kekerasan terhadap perempuan dan anak melalui medium fotografi, seni cetak digital, animasi dan video art.
Seleksi ketat
Kurasi pameran dilakukan oleh Daniel Boetker-Smith (Director of Centre for Contemporary Photography, Melbourne) dan Wahyudin (Kurator Independen Indonesia) yang menyeleksi karya berdasarkan kedalaman konsep dan relevansinya dengan tema.
Proses seleksi karya telah dilakukan secara ketat, dengan batas pendaftaran yang ditutup pada 5 Juni 2025. Peserta dari berbagai perguruan tinggi dalam dan luar negeri terlibat dalam pameran ini, termasuk mereka yang mengajukan karya dalam kategori fotografi, seni cetak digital, animasi dan video art.
Dari hasil kurasi yang dilakukan oleh kurator, beberapa karya terpilih ditampilkan dalam pameran tersebut. Karya-karya itu antara lain berjudul The Earth is Angry and Protesting, Authority, Film Tari "Cunduk", Urip iku Urub, Anam Cara, The Silence That Prostrates, BERKACA PADA LUKISAN KACA KUSDONO RASTIKA, Engine of the Heart maupun Prosesi Agung Ganjuran.
Edial Rusli menjelaskan, pameran bertujuan menciptakan ruang refleksi bagi publik tentang peran seni dalam merespons tantangan kemanusiaan kontemporer.
Wadah kolaborasi
Melalui karya-karya yang ditampilkan, para seniman berupaya menggali makna rasionalitas dan sensitivitas dalam konteks sosial yang kompleks, mengikuti jejak pemikiran John Berger dan Italo Calvino.
Selain menjadi ajang ekspresi kreatif, pameran ini juga menjadi wadah kolaborasi antara seniman muda Indonesia dan Australia, memperkuat dialog budaya melalui bahasa visual.
Pembukaan pameran Sense and Sensibility juga dihadiri oleh berbagai tamu dan undangan yang berasal dari berbagai negara yang tergabung dalam Indonesia Australia Art Forum (IAIF) sebagai destinasi akhir mereka dalam rangkaian perjalanannya di Indonesia.
Pameran didukung oleh Project Eleven dan Centre for Contemporary Photography Melbourne, Project Eleven dan Fakultas Seni Media Rekam ISI Yogyakarta serta menjadi bagian dari upaya ISI Yogyakarta untuk mempromosikan seni dan budaya Indonesia di kancah internasional. (*)