Paralimpiade, Titik Balik Peduli Disabilitas

Paralimpiade, Titik Balik Peduli Disabilitas

GELARAN Paralimpiade Tokyo 2020 sudah berakhir (5/9/2021) menempatkan Indonesia pada urutan 43 dengan perolehan medali 2 emas, 2 perak dan 4 perunggu. Capaian luar biasa bahkan melampaui persembahan Olimpiade Tokyo 2020 yang lalu.

Sekurangnya kompetisi paralimpiade kali ini dapat membangun kemampuan individu dan kelompok kawan-kawan disabilitas melampaui beragam kendala, tantangan dan peluang, hingga meraup kesempatan dan kepercayaan diri yang kokoh dalam bangunan mental juara atau mental pemenang. Mental seperti ini bukan tidak pernah mengalamai gagal, tetapi mereka tidak pernah menyerah.

Pesta olah raga spesial ini nampaknya tak cukup dimaknai secara simbolik menggerakkan politik anggaran di bidang olah raga, melainkan menyatu dan menjelma ke dalam nilai-nilai mulia, seperti kejujuran, pengorbanan dan tanggung jawab juga kebutuhan berprestasi sebagaimana digelorakan Mc Clelland dengan teori N-Ach-nya.

Kita tak sekadar tahu, tapi mengerti bagaimana saudara-saudara kita yang terbalut dalam frame disabilitas selama ini belum sepenuhnya memperoleh tempat yang terhormat atas berbagai program kegiatan. Namun, aktor disabilitas terus bergerak. Mereka abai stigma negatif untuk menuju predikat yang setara dan produktif.

Disabilitas yang genial harus menjadi spirit dan darah baru bagi seluruh pemangku kepentingan untuk membuka mata dan segala cawe-cawe demi keberdayaan disabilitas yang tidak lagi bermula dari kelemahan, melainkan bertumpu pada potensi dan kompetensi disabilitas.

Penyandang disabilitas adalah kita. Karena mereka juga bagian dari warga negara Indonesia yang tentu punya hak dan kewajiban yang sama. Namun demikian, selama ini keberadaan disabilitas acap disembunyikan dalam pelbagai domain. Salah satunya dari aspek linguistik. Dulu pernah terbit diksi anak cacat, kemudian bergeser label anak luar biasa berlanjut ke sebutan berkebutuhan khusus dan muncul pula istilah anak inklusi maupun beredar bahasa difabel dan kemudian digunakan penyandang disabilitas. Barangkali pertimbangan mendasar lebih pada penghormatan kepada disabilitas dan menghapus impresi subordinat.

Pemerintah telah menerbitkan UU 8/2016 tentang Penyandang Disabilitas yang secara umum aturan ini menyangkut dua hal besar, yaitu hak penyandang disabilitas dan kewajiban berbagai pihak untuk memenuhi hak tersebut. 

Hak-hak penyandang disabilitas acap tercampakkan, seperti anak-anak yang ditolak bersekolah di sekolah umum maupun sekolah inklusi. Pelakuan diskriminasi dalam mendapatkan pelayanan publik juga problem penghapusan hak konstitusional disabilitas. Persoalan yang mendera lainnya, seperti penyandang disabilitas yang miskin, sehingga sekolah masih sebatas mimpi atau kadang mereka memperoleh tindak kekerasan fisik, seksual dan verbal.

Merujuk data LPEM FEB Universitas Indonesia pada tataran orang berusia 15 tahun ke atas, dari 12,15% penyandang disabilitas di Indonesia, hanya 51,12% penyandang disabilitas yang masuk dalam pasar kerja Indonesia. Bahkan penyandang disabilitas kategori berat hanya 20,27%. Sementara  65,54% penyandang disabilitas kebanyakan bekerja di sektor informal, seperti sektor pertanian, bekerja sendiri, temporer, atau bahkan tidak dibayar.

Keputusan pemerintah dalam rekrutmen CPNS tahun ini yang mengamanatkan sejumlah 2% disabilitas untuk formasi pusat dan 1% untuk alokasi daerah layak kita apresiasi sebagai bentuk pemihakan dan peduli negara pada disabilitas. Namun tentu afirmasi ini dalam praktik butuh pengawasan semua pihak. Begitu pula kita angkat topi tinggi-tinggi atas komitmen pemerintah yang akan memberikan bonus pada atlet Paralimpade Tokyo 2020 peraih medali yang besarnya sama dengan atlet Olimpiade Tokyo 2020.

Proteksi Budaya

Memanusiakan penyandang disabilitas makin kuat karena menjadi mimpi semua pihak dari supra desa hingga level desa. Oleh karena itu, dalam proses peduli disabilitas penting konsisten mengedepankan pemberdayaan, yaitu upaya meningkatkan taraf hidup dan kesejahteraan disabilitas melalui penetapan kebijakan, program, dan kegiatan yang sesuai dengan esensi masalah dan prioritas kebutuhan disabilitas. Yang tak boleh terabaikan adalah sisi kontinyuitas, proses yang dilakukan secara terkoordinasi, terintegrasi, dan berkesinambungan, dalam merencanakan dan melaksanakan program bagi mereka, termasuk pembinaan bidang olah raga disabilitas.

 

Peduli dan memberdayakan disabilitas bukan saja mengakui dan menghormati keragaman disabilitas dengan berbagai latar belakang, asal usul, status, potensi, dll. Lebih dari itu, melalui regulasi pro disabilitas berarti memberi perhatian, hingga intervensi menuju sosok disabilitas yang mandiri. Praktik ini menjadi bagian resolusi untuk menjawab ketidakadilan sosial-ekonomi karena barangkali eksploitasi, dan marjinalisasi. Disabilitas perlu mendapatkan perlindungan yang bukan hanya aspek budaya, tetapi juga membangun barikade dari kekuatan yang melemahkan eksistensi disabilitas.

Di samping itu, penting digerakkan terus upaya-upaya memperlakukan disabilitas secara manusiawi dan setara dengan warga lain, sesuai dengan martabat dan hak disabilitas untuk mencapai integrasi sosial yang optimal. Termasuk tentunya kala panyandang disabiltas dan keluarganya yang terkena bencana alam maupun pandemi Covid-19.

Paralimpiade, menjadi momentum kita untuk menoleh dan peduli disabilitas. Seperti, merepair fasilitas ramah disabilitas, memperhatikan atlet disabilitas, dan mengcover pendidikan semurah-murahnya bagi disabilitas miskin, di samping pentingnya afirmasi disabilitas di sekolah/kampus umum. Juga mendayagunakan tenaga kerja disabilitas. *

Marjono

Kasubag Materi Naskah Pimpinan Pemprov Jawa Tengah