Lho... Pendusta sebagai Profesi?!
ARTIKEL ini hanya layak dibaca oleh orang-orang beriman. Mengapa? Karena kalau sejak awal sudah tidak yakin terhadap Allah SWT (beserta kekuasaan dan kebesaran-Nya), maka boleh jadi apa yang difirmankan-Nya akan dianggap sebagai bualan. Mungkin juga, penulis artikel inipun dianggap sebagai orang gila. Akan tetapi, lepas dari persoalan sasaran pembacanya, sesuatu yang diyakini sebagai kebenaran, wajib disampaikan, betapapun hanya satu ayat saja. Pastilah, Allah SWT merahmati dan melindungi hamba-hamba-Nya yang taat pada perintah-perintah-Nya.
Melalui optik yuridis-sosiologis, terlihat jelas bahwa negeri dan masyarakat kita, hari-hari ini dalam krisis kejujuran, dan tergantikan oleh masifnya kedustaan. Ada orang berdusta untuk memperoleh harta. Inilah kedustaan para oknum pebisnis, pedagang, investor (orang-orang berduit yang ingin menamamkan uangnya sebagai sarana investasi). Ada pula pendusta di kalangan oknum politisi. Mereka berdusta demi mendapatkan jabatan/kekuasaan. Janji-janji politik dilontarkan menjelang pilkada, tetapi sepi dalam pemenuhannya, alias diingkari. Ada pula orang berdusta karena ingin mencelakakan orang lain. Itulah kedustaan karena kebencian atau dedam kesumat. Kiranya, masih banyak bentuk dan motif-motif lain di balik kedustaan.
Serupa dengan kedustaan, Jean Baudrillard (1981) mengintrodusir istilah simulation. Yakni, penciptaan model-model kenyataan, tanpa menjelaskan asal-usul dan realitas sebenarnya. Itulah: a hyperreal. Model realitas tersebut, sepintas tampak “nyata”, akan tetapi sesungguhnya tidak menggambarkan kenyataan yang sebenarnya. Ia, sebaliknya, menyembunyikan kenyataan yang hakiki. Real justru ditutupi oleh sign of the real. Akibatnya (utamanya: bagi awam), sungguh sulit membedakan antara kepalsuan ataukah realitas sebenarnya.
Logika simulasi adalah logika “pemelitiran makna” (twisting of meaning) oleh pendusta. Media digunakan sebagai alat strategis pendustaan, di samping action dan/atau casing. Ketika media masa telah terkooptasi oleh pendusta, maka yang disuguhkan kepada publik hanyalah deretan informasi palsu, provokatif, manipulatif. Segalanya dilakukan demi kepentingannya, tak peduli pihak lain terkorbankan.
Viral di media sosial, Dahlan Iskan (30/4/2021) membeberkan kekecawaan rekannya (Effendi Gazali) perihal kualitas jurnalistik Indonesia saat ini. Kekecewaan itu sampai angka: 9.5, dari skala 1-10. Artinya, kekecewaannya nyaris sempurna. Kekecewaannya antara lain terkait mudahnya wartawan diajak berkomplot untuk merusak reputasi seseorang. Oleh media, dirinya diseret-seret, terkait dengan kasus korupsi bansos dan kasus ekspor benur lobster. Saking jengkelnya, Effendi Gazali rela menanggalkan gelar profesornya. Seakan ingin dinyatakan, itulah konsekuensi kegagalan mengajarkan jurnalisme yang benar kepada peserta didik.
Bagi orang yang masih memiliki akal sehat dan sensitifitas sosial tinggi, tentu amat prihatin dengan realitas empiris buruk tersebut. Terlebih lagi, bila dikaitkan dengan komitmen terhadap Pancasila. Terlihat, betapa pengingkaran terhadap Pancasila semakin terang-terangan. Cobalah cermati, kandungan sila ke-1 Ketuhanan Yang Maha Esa.
Dusta itu sangat dibenci oleh Allah SWT. Dalam Alquran perihal dusta disebut sebanyak 280 kali. Allah SWT memberikan ancaman keras kepada orang yang biasa berdusta ataupun menjadikan pendusta sebagai profesi. Di antaranya: “Celaka bagi orang yang pembohong dan pendosa.” (QS al-Jatsiyah: 7). Di hadapan mereka neraka jahanam, dan tidak akan berguna bagi mereka sedikit pun apa yang telah mereka kerjakan, dan tidak pula bermanfaat apa yang mereka jadikan sebagai pelindung-pelindung mereka selain Allah. Dan mereka akan mendapat azab yang besar (siksaaan) yang amat pedih”. (QS al_Jatsiyah: 10).
Dusta yang disengaja, sangat diharamkan, dan akan menyeret pelakunya ke dalam api neraka. Rasulullah SAW bersabda: “Sesungguhnya kejujuran itu membawa kepada kebaikan, dan kebaikan itu membawa ke surga. Seseorang selalu bertindak jujur, sehingga ia ditulis di sisi Allah sebagai orang yang sangat jujur. Dan sesungguhnya dusta itu membawa kepada kejahatan, dan kejahatan itu membawa ke neraka. Seseorang selalu berdusta, sehingga ia ditulis di sisi Allah sebagai pendusta.” (HR. Bukhori dan Muslim). Disabdakan pula oleh Baginda: “Mendekati kiamat akan muncul para pendusta. Maka, berhati-hatilah terhadap mereka.” (HR Muslim).
Maraknya kedustaan menjadi rona kehidupan berbangsa berubah total. Hal-hal yang aslinya putih (sebagai simbol kejujuran dan benaran), sontak berubah menjadi hitam (sebagai simbol kedustaan). Dampak dari kedustaan tiada lain kecuali perilaku anarki, sesat, kasar, serba nekat, kelewat batas.
Dalam perspektif keimanan, semua ujian terhadap manusia yang berupa: gempa bumi, gunung meletus, tsunami, dan lain-lainnya, entah langsung atau tidak langsung, terkait dengan kedustaan dan perilaku buruk lainnya. Dusta merupakan perbuatan terlarang dan haram. Bagi pendusta, akan hilang/turun kualitas martabatnya. Bagi bangsa, maraknya kedustaan merupakan lampu merah kehancuran peradaban dan masa depannya. Sebagai pendusta, ia tergolong sebagai orang munafik. Rasulullah SAW bersabda: “Tanda-tanda orang munafik ada tiga: apabila berbicara, ia dusta; apabila berjanji, ia mengingkari; dan apabila diberi amanat, ia berkhianat." (HR. Bukhari dan Muslim)
Dalam kerangka saling mengingatkan sesama komponen bangsa, mengapakah kegemaran dan profesi pendusta tidak diakhiri?! Marilah mindset kehidupan berbangsa diubah, dibalik 180 derajat. Negara dikelola atas dasar kejujuran. Sekali lagi: kejujuran. Ajakan demikian, sungguh bukan sekedar iseng dan kelakar belaka. Ini serius. Bukankah telah dipahami, bahwa kedustaan merupakan lawan dari kejujuran?!.
Ancaman siksaan bagi para pendusta sungguh dahsyat. Sabda Rasulullah SAW: “Aku melihat dua malaikat, keduanya berkata: orang yang engkau lihat disobek mulutnya hingga telinga, adalah seorang pendusta. Ia berdusta dengan kedustaan, dibawanya kedustaan itu berkeliling atas nama dirinya hingga memenuhi cakrawala, maka dibuatlah ia sebagai pendusta sampai hari kiamat.” (HR. Bukhari).
Oleh Paul Virlio (dalam War and Cinema: The Logistic of Perception, 1982) dijelaskan bahwa dunia politik modern (liberal, pen.) tidak dapat dilepaskan dari strategi pencitraan dan kedustaan. Berbagai atraksi dan manuver politik, dilakukan sebagai upaya pencitraan, agar publik percaya kepada kelompok tertentu, sekaligus benci kepada kelompok lain. Keberadaan buzzer sebagai profesi, sebenarnya merupakan bagian dari praktik politik modern yang sarat dengan kedustaan.
Pernyataan Dahlan Iskan berikut, layak direnungkan: “… di zaman buzzer seperti ini, jurnalisme memang berada di lautan polutan. Jurnalisme profesional benar-benar di ambang kehancuran. … wartawan sungguhan, … merasa malu menjadi wartawan. Terutama saat melihat wartawan berebut amplop – sampai kantong baju panitia robek.”
Duh…bangsaku, saudaraku para jurnalis. Hentikan kebiasaan berdusta. Yakinlah masih banyak rezeki terhampar dan mudah diperoleh tanpa menjadikan pendusta sebagai profesi. Wallahu’alam. ***
Prof. Dr. Sudjito Atmoredjo, S.H., M.Si.
Guru besar Ilmu Hukum UGM