Manunggaling Karsa
DUA peristiwa terurai di bawah ini, sekadar contoh. Intisarinya, dapat dijadikan nutrisi dan bahan introspeksi, serta sarana menambah wawasan, tentang kehidupan sejati.
Pertama, banyak orang mendaftar untuk ibadah haji. Antre bertahun-tahun. Telah masuk waiting list. Manasik sudah dilakukan berkali-kali. Bekal ketaqwaan, bekal spiritual, bahkan bekal materiil, sudah disiapkan. Seakan tak ada kekurangan persyaratannya. Tinggal tunggu panggilan keberangkatan.
Ternyata, karena pendemi Covid-19, segalanya menjadi berantakan. Serba tak pasti. Ketika pintu ibadah haji dibuka kembali, dan asa serta semangat bangkit lagi, astaga, ternyata usia telah lebih dari batas maksimal. Gagal diberangkatkan. Apa mau dikata? Haruskah, pasrah, menyerah?
Kedua, dari pancaran mata, sumringahnya wajah, serta tekad, dan semangatnya, seorang peserta didik S3 (calon doktor) optimis, menatap masa depan. Selama proses studi, sikap optimis selalu didayagunakan sebagai penghalau ranjau-kendala. Proses studi pun menjadi lancar. Dalam rentang waktu ditentukan, tinggal selangkah, keberhasilan meraih ilmu dan gelar akan menjadi keniscayaan.
Apalah mau dikata, menjelang ujian promosi, keluar persyaratan tambahan. Dua buah jurnal internasional bereputasi, terindeks scopus, wajib dipenuhi lebih dulu. Padahal, sungguh, setengah mati sulitnya untuk memenuhi persyaratan ini. Biaya mahal. Ketergantungan pada pemilik jurnal sangat tinggi. Kapan naskah mau diterbitkan, gak jelas. Serba tak pasti. Rintangan lain, sering datang dari reviewer. Terkesan semakin subjektif. Haruskah, pasrah, menyerah?.
Sah dan wajar, bila seseorang mendambakan dirinya bergelar haji dan berpredikat doktor. Analog dengan orang tidur, karsa demikian, identik dengan mimpi-mimpi indah. Betapa bahagia bila mimpi indah itu menjadi kenyataan. Demi itu semua, maka karsa sebagai daya rohaniah, dipadukan dengan daya jasmaniah. Doa senantiasa diiringi usaha. Himpunan daya itu menjadi modal berharga untuk meraih ambisi dan prestasi.
Perlu diinsyafi bahwa karsa manusia, bersifat nisbi. Tiada jaminan pasti terpenuhi. Boleh jadi, setara dengan cinta. Tanpa balasan tepuk tangan Sang Pencipta, maka karsa manusia hanya berakhir pada ilusi. Gagal bercinta. Dalam hal demikian, kesedihan menjadi selimut sepanjang hari, melekat hingga tenggelamnya matahari. Haruskah nasib begini diratapi?
Dihadapkan pada peristiwa-peristiwa di atas, atau peristiwa lain serupa, kiranya ajaran Manunggaling Karsa, amat penting dipahami, dan dijabarkan dalam keseharian, untuk segala urusan. Mengapa demikian? Apa maknanya?
Manunggaling Karsa merupakan konsep Jawa, berisi ajaran tentang kebersatuan antara makhluk (ciptaan) dengan al-Khalik (Sang Pencipta). Kebersatuannya, bukan dalam wujud fisik, melainkan dalam ranah metafisis, spiritual, religius. Sebagai abdillah (hamba Allah), dan sebagai kalifatullah (wakil Tuhan) senantiasa bertemu dan bersatu dalam karsa Allah. Amalan-amalan saleh berdimensi vertikal maupun horizontal, dilakukan demi keridhaan-Nya.
Allah telah memberi petunjuk bahwa bagi setiap orang, terbuka peluang untuk menjadi sebaik-baik makhluk. Manusia bisa lebih mulia, dan lebih tinggi derajatnya, daripada malaikat. Syaratnya, dia beriman dan beramal saleh (QS-al- Bayyinah 7).
Bergelar haji, atau bergelar doktor, tentu suatu kebanggaan. Walau demikian, gelar-gelar itu bukanlah garansi untuk menjadi sebaik-baik makhluk. Hanya haji mabrur, dan kemabrurannya terjabarkan sebagai sikap, perilaku, amalan saleh, maka pantaslah dia dinobatkan sebagai orang baik.
Bila seseorang, karena terkendala berbagai hal, di luar kuasanya, gagal menunaikan ibadah haji, gagal memperoleh gelar doktor, baginya masih berpeluang menjadi orang baik, asalkan menerima kenyataan “pahit” dengan sabar, disertai prasangka positif kepada Allah. Di situlah, Allah ridha terhadap orang-orang baik, dan mereka pun ridha kepada-Nya (QS-al-Bayyinah 8).
Karsa merupakan bagian penting dari keridhaan. Di sana ada niat ikhlas, perilaku santun, semangat juang tinggi. Ridha manusia kepada-Nya, terwujud dalam bentuk kokohnya keimanan, ketauhidan, khusnuzoon terhadap segala ketetapan-Nya. Bersyukur, ketika mampu menuaikan ibadah haji, meraih gelar doktor, atau hal-hal lainnya. Bersabar, ketika karsa tak kesampaian. Sementara itu ridha Allah, senantiasa tercurah dalam bentuk keberkahan hidup, kasih-sayang, ampunan, dan rahmat-Nya.
Dalam hubungan horizontal, sosial-kebangsaan, kepemimpinan, perihal manunggaling karsa, penting dijadikan titik tolak perwujudan keharmonisan hidup. Menurut Gubernur DIY, Sultan Hamengkubuwono X, seorang raja (pemimpin) mesti manunggal dengan rakyatnya. Hubungan pemimpin dengan rakyatnya adalah hubungan simetris. Raja atau pemimpin membutuhkan rakyatnya, demikian pula rakyat membutuhkan raja sebagai pengayom. Dalam hubungan simetris itu, musyawarah publik menjadi pusat legitimasi hukum yang sah (detikNews, 06/9/2016).
Karsa Tuhan di atas segala-galanya. Terlepas dari kesuksesan ataupun kegagalan manusia dalam mendayagunakan karsanya, baik untuk diri sendiri maupun kepentingan bersama, telah dijanjikan-Nya bahwa kelak kepada orang-orang baik akan dihadiahkan surga ‘Adn yang mengalir di bawahnya sungai-sungai, mereka kekal di dalamnya selama-lamanya. Itulah kehidupan sejati. Ke sanalah seluruh karsa mesti diorientasikan. Wallahu’alam. **
Prof. Dr. Sudjito Atmoredjo, SH, M.Si.
Guru Besar Ilmu Hukum UGM.