Tata Ruang Sangihe dan Sumber Daya Budaya Lokal

Tata Ruang Sangihe dan Sumber Daya Budaya Lokal

PUSAT Studi Teknologi Kelautan UGM berhasil menyelesaikan kegiatan Skematik Rencana Detail Tata Ruang (RDTR) di Wilayah Petta Raya, Kecamatan Tabukan Utara. Wilayah Sangihe adalah kepulauan yang lokasinya ada di paling utara Indonesia. Kabupaten ini merupakan bagian dari Provinsi Sulawesi Utara, dan berbatasan dengan Negara Filipina.

Tidak heran kalau wilayah kepulauan Sangihe (dan Talaud) memiliki keterkaitan sejarah dengan Filipina, khususnya Filipina Selatan.  Sejarahnya, keluarga kerajaan yang ada di Filipina melebarkan wilayahnya ke arah kepulauan Sangihe, dan memilih Enemawira, Desa Bengketang sebagai pusat pemerintahannya.

Berdasarkan analisis lokasional, ternyata pusat pemerintahan kerajaan kuna Sangihe ini sangatlah aman dan strategis dari berbagai bencana alam maupun peperangan. Sungguh mencengangkan – pada masa abad 15, nenek moyang Filipina mengembangkan dirinya di wilayah Nusantara dan telah mampu memilih lokasi yang sangat aman hingga saat ini.

Wilayah pusat pemerintahan kerajaan Sangihe kuna ini, terletak di desa Bengketang. Berada di wilayah ketinggian dan terletak di sebelah tenggara Gunung Api Awu.  Berdasarkan hasil analisis, Gunung Awu adalah gunung berapi yang berkali-kali meletus/erupsi.  Menariknya, berdasarkan cerita dari masyarakat, tidak pernah wilayah pusat pemerintahan kerajaan Sangihe terkena erupsi, termasuk asapnya karena selalu mengarah ke utara dan barat. Entah bagaimana menentukan wilayah aman dari gunung merapi pada abad 15 lalu itu, sehingga para leluhur Sangihe yang berasal dari Filipina ini mampu memilih pusat pemerintahannya di wilayah yang aman.

Kearifan tradisional tentang pengetahuan kegunungan dan kegempaan perlu digali di wilayah ini. Hal ini karena selain gunung berapi, wilayah Sangihe memiliki resiko kegempaan yang sangat amat tinggi, dibandingkan dengan wilayah Indonesia lainnya, karena Sangihe terletak pada lempengan Eurasia yang berbatasan dan bertumbukan dengan lempeng Filipina dan lempeng laut Maluku.  Selain itu, wilayah Sangihe yang terletak antara bujur 125020 sd 125050 dan lintang 000 sd 3055memang merupakan wilayah perbatasan lintasan siklus angin dunia, yang karena fenomena peningkatan suhu bumi dapat menyebabkan perubahan iklim, maka kejadian bencana meteorologi ekstrim berupa angin topan dan gelombang tinggi lebih sering terjadi di wilayah kepulauan Sangihe ini.

Dapat dibayangkan bahwa masyarakat Sangihe pada abad 15 hingga masuknya kolonial ke Sangihe, melakukan berbagai adaptasi dengan berbagai ancaman alam yang sangat tinggi.  Ketahanan struktur rumah kayu, arah hadap rumah serta tata ruang, sangat berpengaruh dengan kebencanaan yang ada di sekitarnya.  Adaptasi dengan pola tangkap bahan pangan dari laut dan darat diduga juga dilakukan.  Peralatan darat tentunya disesuaikan dengan kebutuhan yang sesuai dengan kondisi alamnya. Sedangkan teknologi kapal dan alat tangkap hasil laut dirasa juga sangat baik dan kuat, karena menyesuaikan kondisi ombak utara laut Sulawesi dan laut Maluku Utara. Sungguh kearifan tradisional telah berkembang di Sangihe.

Kearifan pada abad awal perkembangan kerajaan di Sangihe itu berubah ketika Belanda hadir di Sangihe. Bangunan rumah berubah menjadi bangunan batu. Hingga sekarang bangunan rumah, perkantoran  dan rumah ibadah di sana sudah menjadi rumah berbahan batu/bata/batako.

Kabupaten Sangihe, memang harus maju dan berkembang menjadi wilayah yang mensejahterakan masyarakatnya. Perencana penataan wilayah sangat perlu dilakukan. Pengembangan harus memanfaatkan wilayah semaksimal mungkin, namun harus memperhatikan resiko bencana yang sejak sebelum ada kerajaan Sangihe, wilayah ini sudah menjadi wilayah bencana. Untuk hal itu, Pusat Studi Teknologi Kelautan UGM yang diketuai Dr. Leni Sophia Heliani merencanakan penataan ruang di Sangihe, khususnya di wilayah Kecamatan Tabukan Utara.

Para peneliti dari berbagai latar belakang keilmuan seperti perencanaan wilayah, geofisika, budaya, perikanan, geodesi dan geografi yaitu  Dr. Ahmad Sarwadi, Dr Widya Nayati, Dr Latif Sahubawa, Dr. Wiwiet Suyanto, Dr Atrida Hadianti, Dr. Cecep Pratama, Dr. Bachtiar, dan Juswono M.Si serta Hilmiyati Ulinnuha, M.Eng -- menata pemanfaatan ruang Petta Raya Sangihe dengan memerhatikan risiko kebencanaan, analisis kependudukan, analisis struktur dan pola ruang serta penetapan Bagian Wilayah Perencanaan, termasuk merencanakan struktur ruang, pola ruang, dan sarana prasarana di dalamnya. Yang menarik, tim tetap mempertahankan tata ruang lama yang berkembang sejak abad 15 tersebut.  Kearifan tradisional wilayah Sangihe masih terbuka untuk menjadi studi mengungkap kehebatan Sangihe.  Pengembangan wilayah memang tidak hanya memikirkan hal-hal modern, tetapi Pustek Kelautan UGM memulai dengan selalu memperhatikan tapak masa lalu untuk tetap sejalan dan sejajar dengan perkembangan Pembangunan Sangihe saat ini. **

Widya Nayati, M.A., PhD.

Dosen Fakultas Ilmu Budaya, UGM.