Hukum dan Estetika Berkurban

Oleh: Sudjito Atmoredjo

Khusus kepada pejabat publik, estetika akan muncul ketika pejabat tersebut konsisten pada sumpah jabatannya, taat pada konstitusi, dan seluruh hukum yang berlaku. Konsistensi ditandai dengan sikap jujur, beretika, cerdas, profesional, dan berwawasan kebangsaan, dalam menjalankan tugas-tugasnya. Semoga.

Hukum dan Estetika Berkurban
Sudjito Atmoredjo. (istimewa).

HUKUM dan estetika, sebenarnya terjalin sebagai satu kesatuan. Sayang, hal demikian, kurang dipahami. Jarang mengejawantah (manifest) dalam kehidupan. Padahal estiteka merupakan daya pembangkit dan penggairah agar suatu bangsa bersemangat membangun negerinya.

Untuk diingat, salah satu fungsi hukum adalah sebagai alat komunikasi dan alat berinteraksi. Pesan-pesan moral, akan tersampaikan dan diterima dengan baik, bila hukum difungsikan dengan benar. Pesan-pesan moral itu banyak macam-ragamnya. Selain keadilan (justice), ada keindahan (aisthetikos). Keduanya merupakan kebutuhan rohaniah (batiniah) primer.

Estetika (bahasa Yunani aisthetikos), artinya: "keindahan, sensitivitas, kesadaran, berkaitan dengan persepsi sensorik". Per definisi, estetika adalah salah satu cabang filsafat yang membahas keindahan (Merriam - Webster, 1806). Objek garapan (ontologi) estetika, terfokus pada nilai-nilai sensoris, yakni sentimen dan rasa (Zangwill, Nick, 2003). Estetika kadang disebut filsafat seni.

Sejak awal kehidupan, hukum dan estetika, hadir terpadu pada kemajemukan dan perbedaan. Kisah berkurban pada dua zaman yang berbeda, dapat dijadikan kaca benggala (pembelajaran) tentang hal ini.

Pertama, kisah berkurban Habil dan Qabil. Dari pernikahan Nabi Adam as., dan Hawa, lahirlah 2 pasang anak. Qabil lahir bersama dengan saudari satu kandung, bernama Iqlima, yang terkenal kecantikannya. Habil lahir dengan saudari kandung, bernama Labuda, yang paras-wajahnya tidak/kurang cantik.

Menurut syariat (hukum perkawinan saat itu), Tuhan melarang perkawinan antar saudara sekandung. Disampaikanlah oleh Adam as. kepada anak-anaknya. Qabil harus menikahi Labuda, sedangkan Habil menikahi Iqlima. Ternyata, Qabil menolaknya. Ia ingin menikahi Iqlima yang cantik. Alasan Qabil, hukum perkawinan tersebut hanya berasal dari ayahnya (Adam as.) dan bukan dari Allah SWT. Untuk pembuktian, pendapat mana yang benar, maka diperintahkanlah keduanya berkurban.

Kisah berkurban ini diabadikan di dalam Al-Qur’an: “Ceritakanlah kepada mereka kisah kedua putera Adam (Habil dan Qabil) menurut yang sebenarnya, ketika keduanya mempersembahkan kurban, maka diterima dari salah seorang dari mereka berdua (Habil) dan tidak diterima dari yang lain (Qabil). Ia berkata (Qabil): “Aku pasti membunuhmu!”. Berkata Habil: “Sesungguhnya Allah hanya menerima (korban) dari orang-orang yang bertakwa” (QS.al-Ma’idah [5]: 27). Didorong oleh emosi dan kecemburuan, Qabil mengambil sebuah batu besar dan memukulkannya ke kepala Habil hingga menyebabkan kematiannya.

Kedua, kisah berkurban zaman Nabi Ibrahim Sebagai "khalilullah" (kekasih Allah), Ibrahim pernah dikaruniai harta-kekayaan, berupa: 1.000 domba, 300 lembu, dan 100 unta. Bagi Ibrahim, kekayaan itu bukan identik dengan estetika, popularitas, kemegahan. Katanya, "Kekayaan itu kepunyaan Allah. Tetapi kini masih milikku. Sewaktu-waktu bila Allah menghendaki, aku serahkan semuanya. Jangankan cuma ternak, bila Allah meminta anak kesayanganku (Ismail), niscaya akan aku serahkan juga". Itulah pernyataan (statement) atau sumpahnya.

Konsisten atas sumpahnya itu, Ibrahim taat pada perintah Allah untuk menyembelih anaknya (Ismail).  Bersumber pada mimpi, Ibrahim bertanya: ”Hai anakku sesungguhnya aku melihat dalam mimpi bahwa aku menyembelihmu. Maka fikirkanlah apa pendapatmu!" Ia (Ismail) menjawab: "Hai bapakku, kerjakanlah apa yang diperintahkan kepadamu; insya Allah kamu akan mendapatiku termasuk orang-orang yang sabar." (QS. As-Saffat [37] : 102).

Dalam pelaksanaannya, Ismail meminta ayahnya untuk melepaskan ikatan di kaki dan leher. Itu agar dirinya tak terlihat terpaksa. Ia ingin ayahnya segera menyembelihnya, supaya malaikat bisa melihat betapa patuhnya Nabi Ibrahim kepada perintah Allah SWT.

Menuruti perintah putranya, alih-alih penyembelihan mengenai leher Ismail, mata pisau justru berbalik ke atas, bahkan membelah sebuah batu yang keras. Allah SWT pun berseru kepada malaikat Jibril untuk mengambil seekor kibasy dari surga sebagai pengganti. Ibrahim diminta menyembelih seekor kambing untuk melanjutkan kurban. Itulah, berkurban yang kini dilakukan oleh umat Islam setiap Hari Raya Idul Adha.

Pada dua kisah berkurban di atas, tersirat adanya jalinan antara hukum dan estetika. Pertama, bila hukum ditaati sepenuh hati pasti muncul estetika. Sebaliknya, estetika akan berganti menjadi malapetaka ketika wawasan terhadap realitas dan hukum dipahami sempit dan dangkal. Qabil, fokus utama pernikahan itu urusan kecantikan, estetika, (keindahan wajah). Daya inderawi menjadi sandaran penilaian. Kepercayaan (trust) pada Tuhan dan ayahnya, pun terpangkas. Akibatnya fatal. Pembunuhan.

Kedua, hukum dan estetika mestinya dipahami sebagai keutuhan.  Tercakup di dalamnya, jalinan tiga dimensi, yakni: antara Tuhan dengan Adam as., antara Adam as., dengan anak-anaknya, dan antara anak-anak Adam as. dengan Tuhannya. Secara sosiologis-empiris, keterjalinan tiga dimensi itu menggaransi terwujudnya kehidupan harmonis, tenang, tenteram, sakinah mawaddah wa rohmah. Itulah estetika kehidupan.

Ketiga, dalam skala sosial-kebangsaan, estetika akan terwujud bila semua pihak rela berkurban, demi Tuhan, demi sesama, dan demi negerinya. Kecintaan itu bukan sekadar urusan duniawi semata, pamer, melainkan ikhlas kepada semua pihak, dalam rangka menggapai keindahan kehidupan bersama, dunia-akhirat.

Keempat, khusus kepada pejabat publik, estetika akan muncul ketika pejabat tersebut konsisten pada sumpah jabatannya, taat pada konstitusi, dan seluruh hukum yang berlaku. Konsistensi ditandai dengan sikap jujur, beretika, cerdas, profesional, dan berwawasan kebangsaan, dalam menjalankan tugas-tugasnya. Semoga.

Wallahu’alam. Salam Pancasila. ***

Prof. Dr. Sudjito Atmoredjo, S.H., M.Si.

Guru Besar Sekolah Pascasarjana UGM