Melindungi Anak-anak yang Menjadi Korban Kekerasan Seksual

Melindungi Anak-anak yang Menjadi Korban Kekerasan Seksual

DI bangku-bangku panjang sekolah acap kita saksikan anak-anak yang murung, karena menjadi korban kekerasan seksual, bahkan melahirkan anak, kala usia mereka pun masih dianggap bau kencur maupun dinilai di bawah umur. Kita tengok sebentar deretan kenestapaan itu.

Baru-baru ini, seorang bocah perempuan yang masih duduk di Kelas I SMP di Kabupaten Sragen, Jawa Tengah diduga mengalami kekerasan seksual hingga hamil dan melahirkan bayi laki-laki (Solopos, 14/6/2022).

Sebelumnya, kejadian serupa menimpa siswi Kelas 1 SMA di Wonogiri melahirkan bayi saat sekolah online (Tribunsolo, 10/9/2021). Kasus Siswi SMP Favorit Melahirkan, Pukulan Telak Dunia Pendidikan Karanganyar (KRjogja, 28/8/2021).

Kasus yang sama juga menimpa seorang siswi di Rembang. Ia melahirkan bayi di toilet sekolah (Liputan6, 20/8/2018). Ingatan kita pun masih merekam hangat atas tragedi siswi SMA di Banyumas membunuh bayinya yang baru lahir di toilet RS (INewsjateng, 23/1/2018).

Jelas, catatan muram di atas membuat kita ngelus dhadha dan prihatin. Kepedihan tersebut jelas menjadi pukulan berat bahkan telak bagi orang tua, sekolah dan pemuka lainnya. Institusi pendidikan kerap dicap gagal menjalankan core bisnisnya.

Pendidikan Seks dan Reproduksi

Menyikapi potret kusam di atas, dari kacamata awam penulis mencoba ikut urun rembug atas rerupa penyokong dan barangkali sepenggal jalan keluar untuk mengurai pilu yang bertubi.

Salah satunya adalah soal minimnya pendidikan seks dan reproduksi. Masyarakat kita masih merasa ragu dan tabu, ketika harus bicara dan mengedukasi seks dan reproduksi kepada anak-anak. Pendidikan satu ini penting, namun mesti disampaikan secara hati-hati, sesuai dengan perkembangan anak, dan bahasanya pun harus tepat dengan usia ataupun level pendidikannya. Isi pendidikan seks dan reproduksi anak SD akan beda dengan materi pendidikan seks anak SMA atau kuliah.

Hal ini bisa saja diperburuk oleh orang tua yang masa bodoh. Sikap kebangetan ini juga berkontribusi menggeliatnya peristiwa yang tak pernah kita harapkan sama sekali. Tak ada orang tua atau keluarga yang ingin anaknya hamil nihil perkawinan atau bahkan melahirkan anak tanpa didahului ikatan pernikahan.

Pada ujung lain, rendahnya internalisasi nilai agama juga bisa ikut andil atas masifnya kasus yang memalukan itu. Lahirnya anak-anak tanpa ayah dan sebutan lainnya. Merasa tak ada yang mengontrol dan mengawasi selain manusia atau keluarga. Mereka ini barangkali sedang mengalami kebangkrutan dalam mencecap dan memaknai nilai agama yang dianut. Sehingga anak-anak yang terperosok ini, otak, hati dan emosinya lebih didominasi kebebasan seks.

Persoalan lain yang menganga adalah problema gaya hidup hippies. Mereka ini lebih mengagungkan kesenangan, hura-hura, tanpa memikirkan dampak dan risiko atas perbuatannya. Anak-anak yang mengandung hingga melahirkan bayi tak resmi ini bukan tak mungkin akan gampang tergoda atas hal-hal yang mengenakkan dan instan. Rerata mereka akhirnya kecewa juga atas kelakuannya, dan sesal selalu datang terlambat. Karena prinsipnya, pokoknya hidup itu mesti happy. Lain tidak.

 

Menimbang beragam penyebab menyeruaknya kasus-kasus kusut di atas, maka kemudian tindakan pertama dan utama adalah menyelamatkan ibu dan anak yang bersangkutan. Tak arif rasanya pada situasi buruk demikian, tiba-tiba harus ribut mencari kambing hitam. Kala nasi sudah menjadi bubur, alangkah baiknya anak ini tetap mendampatkan pendampingan saat di rumah, kontrol dokter atau periksa regular kehamilannya, pemenuhan gizi, dll. Pendeknya, mereka terus kita rangkul tanpa diskriminasi. Barulah kemudian dicarikan jalan keluar saat keadaan sudah kondusif. Tak baik rasanya saat-saat anak menghadapi problem berat seperti itu, anak hanya disalah-salahkan.

Butuh Garansi

Pada saat anak-anak secara fisik dan psikologis atau mental sebetulnya belum siap mengandung atau melahirkan anak, maka saat seperti itulah ada hal penting yang mesti diperhatikan dan harus dijamin, yaitu bagaimana anak beroleh cuti melahirkan dari sekolah, sehingga saat cuti usai, anak tersebut bisa melanjutkan pendidikan atau sekolahnya secara tuntas, tak ada ancaman, tekanan, tanpa bullying dan kekerasan lainnya, termasuk kekerasan verbal sekalipun. Pihak sekolah harus memastikan itu semua, bahkan jika perlu anak beroleh perlindungan tempat atau ruang khusus yang mendukung bagi anak dan bayinya berkembang optimal, meski anak tetap merampungkan kewajiban belajarnya. Semua harus memastikan garansi itu berjalan.

Upaya lain, bisa saja sekolah menggelar tes kehamilan bagi semua siswa perempuan. Langkah prevensi ini diambil sebagai bentuk antisipasi dini, sehingga dunia pendidikan tak kecolongan. Hal ini mungkin dianggap lebay, tapi itulah bagian cara kita menyelamatkan nasib dan masa depan anak-anak kita. Memberikan anak kegiatan ekstra positif dan produktif menjadi tawaran lain yang bisa ditempuh, seperti Pramuka, klub sepakbola, sanggar melukis atau menari, terlibat teater, ekskul robotik, kursus menulis, dan sebagainya. Jangan sampai ada celah waktu kosong yang terbuang tanpa nilai, namun harus pula dipikirkan waktu istirahat yang berkualitas bagi anak.

Hal lain yang dapat ditempuh, yakni mengintensifkan home visit. Di samping bimbingan dan konseling di ranah sekolah, tidak ada salahnya guru BK dan civitas sekolah melakukan kunjungan ke rumah. Apalagi saat ada yang aneh pada anak-anak tertentu. Dengan tetap menaruh hormat terhadap keluarga dan anak, para guru bisa mengkomunikasikan segala sesuatu tentang perkembangan anak kepada orangtua/wali, sehingga ada rapor sikap dan perilaku anak di luar nilai akademik yang disarikan di dalam buku rapor siswa.

Anak-anak yang terseret kasus memerlukan motivasi untuk tetap bersemangat, berpengharapan, bersenyum tanpa berairmata. Menanamkan kepada anak soal integritas dan martabat juga mengembalikann nilai-nilai agama yang barangkali lunglai atau luntur.

Bukan untuk meniru kelakuan anak-anak yang hamil sebelum nikah atau mereka yang tragis melahirkan bayinya, tetapi mendorong dan menggerakkan anak-anak yang terlanjur basah ini menjadi sosok mandiri dan punya daya tawar tinggi dengan bekal kemampuan yang dimiliki. Misalnya, dilatih kembali bersosial dengan keluarga, kawan, masyarakat dan sekolah. Hal urgen dan baku adalah dilatih bagaimana merawat anak, termasuk memberikan ASI ekslusif kepada bayinya ataupun penyiapan makanan bergizi bagi bayinya sehingga tak terpapar tengkes (stunting). Atau sekurangnya, anak sekolah yang melahirkan bayi ini mesti mampu memainkan diri sebagai mini ICU berjalan meski dalam skala super sederhana.

Selain itu, untuk lebih memberikan daya hidup baginya, energi anak penting disalurkan pada kesibukan/aktivitas positif, misalnya teater, olahraga, Pramuka, bisnis online, bimbel, roboti, dll. Mereka bisa juga dilatih untuk punya kemampuan IT, menaikkan kapasitas berbahasa asing, atau naik kelas menjadi entrepreneur sejati dengan latihan rintisan usaha atau bisnis kalau tak boleh disebut start-up. Hingga kemudian, mereka ini bisa mengambil hikmah atas kenakalannya, kemudian menyadari ketika jatuh dan kemudian berjuang bangkit untuk bangun sehingga menemukan kepercayaan dirinya kembali secara utuh, sambil tegak lurus menata masa depannya. *

Marjono

Kasubag Materi Naskah Pimpinan Pemprov Jateng