Peran Konselor Adiksi dan Fenomena Patient Shopping
KONSELOR adiksi merupakan sebuah profesi yang memiliki tugas menjalankan rehabilitasi terhadap orang yang mengalami kecanduan pada narkotika, psikotropika, dan zat adiktif lainnya. Orang-orang yang dahulu merupakan pecandu dan korban penyalahgunaan narkoba kemudian dia menjalani rehabilitasi dan dinyatakan pulih bisa menjadi konselor adiksi. Mereka lazim disebut sebagai recovery addict. Secara peraturan perundang-undangan sudah diatur bahwa pecandu narkotika dan korban penyalahgunaan narkotika wajib menjalani rehabilitasi medis dan/atau rehabilitasi sosial.
Proses rehabilitasi dapat dilaksanakan melalui layanan rehabilitasi rawat inap maupun rawat jalan sesuai kondisi pasien/klien berdasarkan pada hasil pemeriksaan awal dan rencana terapi. Tentunya dalam menunjang adanya layanan rehabilitasi yang berkualitas membutuhkan kolaborasi antara professional yang mendalami hal tersebut. Selain dokter, psikolog dan perawat, dibutuhkan juga professional konselor adiksi yang dapat memberikan konseling yang tepat terkait permasalahan pecandu dan korban penyalahgunaan narkoba.
Konselor menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) adalah orang yang melayani konseling; penasihat; penyuluh. Sedangkan adiksi menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) berarti kecanduan atau ketergantungan secara fisik dan mental terhadap suatu zat. Seseorang bisa memiliki perilaku adiksi jikalau terjadi perubahan yang terjadi pada otak. Ketika mencoba suatu zat atau aktivitas tertentu, beberapa orang mungkin akan menghindarinya dan beberapa orang lain bisa menjadi ketagihan.
Menurut perspektif psikologi, Sarafino (1990) kecanduan adalah keadaan individu yang merasa terdorong untuk menggunakan atau melakukan sesuatu agar mendapatkan atau memperoleh efek menyenangkan dari yang dihasilkannya oleh sesuatu yang dilakukan. Salah satu yang menyebabkan kecanduan adalah zat adiktif. Zat ini didalam masyarakat dikenal dengan istilah napza atau narkoba. Penyakit adiksi ini adalah penyakit yang sifatnya chronic brain relapsing disease, jadi bersifat kronis, berulang, dan hanya bisa pulih dan tidak bisa sembuh.
Hal itu berarti orang yang mengalami adiksi harus dijaga dari masalah-masalah yang ada baik yang berasal dari internal maupun eksternal yang dapat memicu kekambuhannya. Adiksi terhadap zat/obat adalah sebuah kondisi di mana seseorang mengalami ketergantungan terhadap zat/narkoba yang membuatnya hanya focus pada penggunaan zat. Meliputi ketergantungan fisik, yaitu kondisi di mana tubuh sudah mulai terbiasa dengan zat tersebut dan menganggapnya sebagai bagian dari fungsi normal tubuh serta ketergantungan lainnya.
Konselor adiksi dalam menjalankan tugasnya mempunyai standar kompetensi yang mencakup pemahaman dan ketrampilan baik dalam teori maupun praktik dalam hal penilaian atau assesmen klien dan penanganan klien. Assesmen yang dilakukan harus secara obyektif sesuai kondisi klien untuk menyusun rencana rawatan yang tepat. Rawatan yang diberikan harus disesuaikan dengan kondisi masing-masing klien yang bersifat individual.
Selain hal tersebut seorang konselor adiksi dituntut mampu melakukan manajemen kasus dengan baik, paham intervensi krisis serta memiliki kemampuan edukasi yang baik kepada klien maupun keluarga klien.
Menyadari bahwa layanan yang diberikan harus sesuai dengan kebutuhan masing-masing individu klien maka perlu untuk mengurai permasalahan yang dihadapi masing-masing klien yang pasti berbeda-beda dan tentunya kompleks. Konselor harus mampu mengurai hal-hal tersebut sehingga klien dapat menemukan sendiri jalan kepulihan.
Seorang konselor juga dituntut memiliki empati yang tinggi namun dapat menarik batas yang jelas antar konselor dan klien. Dalam menjalankan tugasnya konselor juga dibatasi oleh etik yang tidak boleh dilanggar oleh masing-masing pihak.
Jual beli obat, tukar menukar obat, pengepul obat, datang ke dokter hanya untuk mengumpulkan obat atau istilah kerennya patient shopping. Istilah ini baru dikenal penulis selama penulis bekerja di lingkup rehabilitasi meskipun penulis seorang apoteker. Fenomena ini sangat marak terjadi dan terkesan memiliki pangsa pasar tersendiri. Sekira tiga tahun lalu saat penulis bertemu dengan seorang dokter spesialis jiwa yang mengeluhkan fenomena ini.
Lazimnya orang datang ke dokter untuk berobat, kemudian diresepkan dan ditebus obatnya kemudian dipakai oleh pasien tersebut. Namun pada kenyataannya obat-obatan yang didapatkan tersebut bukan dipakai sendiri namun kemudian disalahgunakan dengan cara dipinjamkan ke pasien lain atau bahkan dijual dan dibeberapa kasus terjadi ada pengepul yang mengumpulkan obat tersebut.
Artinya hubungan yang awalnya terapeutik (pengobatan) antara dokter dengan pasien menjadi berubah menjadi hubungan jual beli antara pasien satu dengan pasien lainnya. Tentunya hal ini merupakan sebuah pelanggaran hukum dan memang sudah ada tindakan hukum dari aparat penegak hukum terkait.
Namun fenomena ini sampai sekarang terus saja berulang. Bahkan jenis obat-obatannya pun juga berkembang dari awalnya obat-obat golongan psikotropika sekarang sudah berkembang menuju obat-obat keras. Penulis pernah beraudiensi dengan IAI (Ikatan Apoteker Indonesia) Kota Yogyakarta membicarakan fenomena ini. Untuk meminimalisir adanya hal-hal tersebut kemudian diambil langkah untuk membuat kode khusus yang tujuannya agar pasien bisa dikontrol dalam pengambilan dan penyerahan obatnya.
Namun ternyata hal itu belum cukup. Terbukti ketika penulis diberikan tugas untuk melakukan konseling di sebuah institusi didapatkan fakta bahwa para klien yang dikonseling ini juga merupakan bagian dari fenomena yang marak tadi. Tentunya yang dibutuhkan adalah kerja sama dari masing-masing pihak terkait termasuk konselor adiksi didalamnya.
Peran konselor adiksi dalam proses pemulihan klien adalah sebuah prasyarat dalam keberhasilan rehabilitasi. Orang-orang yang terdampak secara fisik maupun psikis terkait adiksi terhadap obat tadi harus dilakukan proses rehabilitasi. Pemulihan itu adalah sebuah proses bukan sebuah tujuan. (*)
Ari Sutyasmanto Apt S Farm
Konselor Adiksi Ahli Muda BNNP DIY