Megah di Panggung, Kacau di Pintu Masuk: Wartawan Terlantar 6 Jam di Prambanan Jazz Festival 2025
Sejumlah wartawan dan pegiat media sosial mengaku terlantar selama enam jam di depan pintu masuk Taman Wisata Candi (TWC) Prambanan
KORANBERNAS.ID, SLEMAN—Prambanan Jazz Festival (PJF) 2025 kembali digelar megah di kompleks Candi Prambanan dengan menghadirkan deretan artis besar lintas generasi. Pada hari pertama, salah satu penampilan paling ditunggu, Tulus, memukau ribuan penonton lewat lagu-lagu andalannya.
Tak kalah istimewa, Ebiet G. Ade menyentuh hati penonton dengan lagu bertema kemanusiaan dan alam, lalu Harvey Malaiholo disusul Yuni Shara dan Java Jive yang membangkitkan suasana nostalgia. Dari panggung internasional, musisi Korea-Amerika EAJ (Jae Park) menjadi penutup malam disambut sorak penggemar muda.
Dengan latar Candi Prambanan yang megah dan panggung bertabur bintang, PJF 2025 kembali membuktikan diri sebagai salah satu festival musik paling bergengsi di Indonesia. Namun di balik kemilau panggung utama, kekacauan justru terjadi pada sektor krusial: manajemen media.
Sejumlah wartawan dan pegiat media sosial mengaku terlantar selama enam jam di depan pintu masuk Taman Wisata Candi (TWC) Prambanan akibat kegagalan panitia dalam mendistribusikan kartu akses peliputan (ID media).
Masalah ini muncul, karena ID tidak dicetak sebagaimana mestinya, meskipun wartawan sudah lebih dulu mengisi google form yang disediakan panitia. Ironisnya, sebagian media partner menyatakan tidak pernah menerima tautan tersebut, meski kerja sama sudah disepakati sejak awal.
“Saya sudah isi form, tapi begitu datang malah disuruh isi ulang. Jaringan juga susah karena pengunjung padat,” ujar Olivia, salah satu jurnalis media daring kepada koranbernas.id, Jumat (4/7/2025).
Sementara Ambar, pegiat media sosial, bahkan menerima dua kartu dengan barcode identik—yang artinya hanya satu bisa digunakan.
“Saya sudah di lokasi sejak jam satu siang. Sempat masuk, tapi malah diusir karena dianggap belum punya ID. Petugas ID-nya malah nggak ada,” ungkapnya kesal.
Meja registrasi yang disediakan juga jauh dari kata layak: penerangan minim, petugas hanya berjongkok di tanah. Mereka tampak kewalahan menghadapi antrean panjang pewarta. Beberapa perwakilan panitia terdengar terbata-bata menjawab pertanyaan dan keluhan yang datang bertubi-tubi.
Saat dikonfirmasi, Guntur, Project Manager PJF 2025, mengakui terjadi kendala teknis. “Kami menyiapkan dua printer, tapi dua-duanya rusak karena overload saat mencetak 1800 ID,” ujarnya.
Namun, penjelasan normatif ini dianggap tidak memadai mengingat pengalaman panjang penyelenggara. PJF telah memasuki tahun ke-11, dan insiden seperti ini dinilai tidak mencerminkan kesiapan acara yang mengklaim predikat festival musik internasional.
“Kalau memang tahu printer bermasalah, kenapa tidak dari awal pakai gelang saja? Itu solusi simpel yang baru diambil setelah kami nunggu 6 jam,” kritik salah seorang yang kehilangan momen emas di panggung utama.
Akses akhirnya diberikan sekitar pukul 19.00 WIB, hanya beberapa menit sebelum Harvey Malaiholo naik panggung. Namun, banyak wartawan sudah kehilangan kesempatan meliput aksi Juicy Luicy secara penuh, bahkan beberapa artis lain di siang hingga sore hari.
Kekecewaan juga muncul di media center. Bukannya menjadi ruang kerja profesional, tempat itu justru dipenuhi relawan yang tampak bersantai di sekitar satu-satunya colokan listrik. Pewarta yang ingin mengetik, mengedit, atau mengirim materi berita harus berebut akses dasar tersebut apalagi dukungan teknis yang memadai.
“Dulu panitia sangat paham kebutuhan kami. Sekarang colokan listrik pun sulit,” ujar jurnalis media lokal yang rutin meliput PJF sejak edisi awal.
Kondisi ini mencerminkan kemunduran serius dalam aspek manajemen relasi media, yang selama ini menjadi kekuatan PJF. (*)