Kasus Dana Bergulir PNPM Mandiri Bersifat Administratif

Kasus Dana Bergulir PNPM Mandiri Bersifat Administratif

IMPLEMENTASI Bantuan Langsung Tunai (BLT) dianggap kurang efektif menurunkan kemiskinan, membawa pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudoyono membuat program baru dengan membasiskan pada konsep pemberdayaan dengan nama Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat (PNPM) yang dikukuhkan pada tahun 2007 dan khusus untuk wilayah pedesaan disebut PNPM Mandiri Pedesaan. Selama perjalanan program ini sampai diakhiri pada tahun 2014, tidak ada satupun dasar hukum (regulasi). Dampaknya, banyak terjadi kriminalisasi terhadap pengelola dana hibah eks PNPM Mandiri Pedesaan karena dianggap mereka memanfaatkan celah hukum.

Dana hibah atau Dana Amanah Pemberdayaan Masyarakat (DAPM), seringkali dipahami tidak secara tuntas oleh masyarakat. Istilah “hibah” dianggap sebagai pemberian dari pemerintah yang tidak perlu untuk dikembalikan. Padahal ini adalah program dana bergulir untuk membangun pemberdayaan masyarakat. DAPM ini khusus untuk masyarakat desa dalam program PNPM Mandiri Pedesaan, dikelola oleh Unit Pengeloa Kegiatan (UPK) di bawah Badan Kerjasama Antar-Desa (BKAD) yang diberi mandat oleh desa-desa dalam satu wilayah kecamatan. Tidak hanya masyarakat, para pengelola PNPM Mandiri Pedesaan pun sering melihat dana hibah bukan lagi dilihat sebagai uang negara, melainkan uang masyarakat an sich, sehingga tidak bisa kemudian proses pertanggungjawaban diminta oleh negara. Namun, problem ini pada dasarnya adalah efek domino dari minimnya sosialiasi dan ketidakjelasan regulasi dan status.

Ketiadaan Dasar Hukum (Regulasi)

Sejak pertama kali dikukuhkan, dalam perjalanannya PNPN Mandiri Pedesaan tidak memiliki status kelembagaan yang jelas. Logika pemerintah sepertinya ingin mendorong keberlangsungan program ini secara organis, bukan secara birokratis. Artinya masyarakat sebagai subyek didorong memiliki sistem kontrol dan pertanggungjawaban sendiri, oleh karenanya pelibatan desa sangat penting di sini. Dibentuknya BKAD merupakan representasi dari masyarakat desa untuk mengontrol dan mengawasi pengelolaan DAPM ini.

Di sisi lain, pengembangan yang dilakukan secara organis ini membawa konsekuensi tidak adanya dasar hukum (regulasi) terhadap program ini. Menurut salah satu ahli Pemerintahan Desa, Sutoro Eko, prinsip dalam penyelenggaraan PNPM Mandiri Pedesaan bukanlah kepastian hukum (supremation of law), melainkan kemanfaatan (doelmatigheid). Oleh karenanya, dalam proses pengakhirannya pun bisa dilihat tidak ada satu pun regulasi, melainkan hanya “surat” yang dikeluarkan oleh kementrian terkait, yakni Surat Menteri Dalam Negeri Nomor 414.23101/PMD tanggal 24 April 2014, bukan peraturan maupun keputusan.

Politik hukum kebijakan untuk pengakhiran tidak lain efek dari munculnya UU No. 6/2014 tentang Desa yang mendorong otonomi desa yang lebih luas. Oleh karenanya, program yang melibatkan desa secara administratif berhubungan dengan pusat ini kemudian diakhiri, namun dana yang bergulir di masyarakat masih dipertahankan dan dijalankan dengan mendasarkannya bukan lagi pada kewenangan pusat melainkan kepada desa-desa.

Salah satu turunan dari program PNPM Mandiri Pedesaan adalah adanya Petunjuk Teknis Operasional (PTO), dan pasca diakhirinya PNPM Mandiri Pedesaan maka secara mutatis mutandis maka PTO juga berakhir. Pola pengaturan terkait pengelolaan DAPM setelah menjadi Eks PNPM Mandiri Pedesaan bukan lagi mengacu pada PTO, melainkan mengacu pada kebijakan lokal melalui Musyawarah Antar Desa (MAD) serta dikuatkan dengan Peraturan Bersama Kepala Desa (Permakades) sebagai dasar terbaru. Bagi yang belum melakukan MAD maupun Permakades sebagai pengaturan baru, maka PTO masih bisa menjadi rujukan, namun tidak memiliki dampak hukum secara regulatif.

Celah dan Kriminalisasi

Keberadaan PTO sendiri yang masih menjadi problematika apakah masih berlaku atau tidak, kemudian ditegaskan dalam Lampiran Bagian C angka 1 huruf b Surat No. 134/DPPMD/VII/2015 yang tegas menyatakan bahwa dengan berakhirnya pelaksanaan PNPM Mandiri Pedesaan sebagaimana dimaksud surat Menteri Dalam Negeri Nomor 414.2/3101/PMD, maka PTO dinyatakan tidak berlaku. Ketentuan ini secara jelas ingin menyatakan bahwa PTO mengikuti program PNPM Mandiri Pedesaan, sehingga berakhirnya progam adalah berakhirnya PTO. Namun, hal ini menjadi celah baru.

Ketidakhadiran PTO dalam mengelola DAPM membawa ketidakjelasan bagaimana model pengaturan yang harus dilaksanakan, sistem kemandirian desa melalui kewenangan skala lokal yang diharapkan dapat ternaungi oleh UU No. 6/2014 masih terlalu dini bagi pemerintah desa, setelah sebelumnya hanya sebatas kepanjangan birokrasi pemerintahan. Ada dua pendapat yang kemudian menguat, satu ya pendapat yang menganggap masih membutuhkan PTO dan lainnya sudah melihat tidak membutuhkan PTO.

Celah tidak adanya dasar hukum juga berarti mendorong keinginan untuk menyalahgunakan, kapasitas pemerintah desa yang tidak siap membawa akibat munculnnya bentuk penyimpangan maupun penyalahgunaan. Hasilnya, banyak terjadi kriminalisasi terhadap pengelola DAPM eks PNPM Mandiri Pedesaan.

Pendekatan Administratif

Munculnya berbagai bentuk penyimpangan terhadap pengelolaan DAPM eks PNPM Mandiri Pedesaan pada dasarnya tidak bisa dilepaskan dari peran pemerintah, karena tidak ada dasar regulasi yang tegas. Sebagaimana dikatakan oleh Ramirez Torez, ada yang disebut kejahatan kalkulasi (crime of calculation) di mana jika seseorang merasa kemungkinan tertangkapnya kecil maka mendorong mereka untuk bertindak korup.

Melihat banyaknya celah karena tidak adanya PTO, muncullah surat  No. S.079/M-DPDTT/02/2017 yang pada ketentuan poin 3 huruf b menyebutkan, penggunaan PTO sebagai dasar mekanisme pengelolaan DAPM. Anehnya adalah, tidak ada satupun surat yang menyebutkan secara tegas bahwa PTO berlaku kembali setelah tidak diberlakukan melalui surat No. 134/DPPMD/VII/2015. Hal ini membawa problem yuridis baru, di mana kedua surat ini bertentangan satu sama lain. Di satu sisi, konsekuensi yuridis lainnya, ketentuan pada No. S.079/M-DPDTT/02/2017 dapat mendorong dijadikan dasar kriminalisasi terhadap pengelolaan DAPM yang tidak didasarkan pada PTO.

Berdasarkan hal tersebut di atas, maka kebijakan hukum yang paling “adil” adalah melihat persoalan ini secara substansial, bukan secara prosedural. Adanya penyimpangan, penyalahgunaan, atau melampaui wewenang muncul karena ada peluang ‘ketidakaadaan’ dasar hukum (regulasi) yang jelas mengaturnya. Melihat secara substansial berarti menggunakan pendekatakan ‘prinsip kemanfaatan’, bukan pendekatakan ‘prinsip kepastian’ dikarenakan tidak ada dasar kepastian hukum dalam persoalaan ini.

Mengacu pada prinsip kemanfaatan ini, maka negara melalui Aparat Penegak Hukum (APH) dan Aparat Pengawas Internal Pemerintahan (APIP), seharusnya menggunakan pendekatan hukum administratif yakni UU No. 30/2014 tentang Administrasi Pemerintahan, di mana menurut ketentuan Pasal 80 ayat (3) berbagai bentuk penyalahgunakaan wewenang seperti :  a) melampaui wewenang; b) mencampuradukkan wewenang; dan c) bertindak sewenang-wenang maka dikenai sanksi administratif bukan pemidanaan. Tujuannya bukanlah ‘meligitimasi’ berbagai bentuk kejahatannya, namun hasil ini harus dilihat secara komprehensif, di mana persoalan ini muncul akibat sejak awal negara tidak hadir secara tegas dalam proses regulatif. Namun kenapa tiba-tiba muncul proses kriminalisasi? Salam. **

Ilham Yuli Isdiyanto, SH, MH

Dosen Fakultas Hukum Universitas Ahmad Dahlan