Jangkar Moral, Milenial dan Kopi Pahit

Jangkar Moral, Milenial dan Kopi Pahit

BANGSA kita punya serat atau naskah-naskah lama dan besar yang bisa menjadi pustaka hidup. Salah satunya, Serat Wédhatama karya besar Mangkunegara IV masih relevan membekali kita menghadapi berbagai tantangan zaman. Serat ini mengajarkan kepada siapapun (birokrat, politisi, pejabat, para calon pemimpin bahkan rakyat).

Dalam konstelasi ini, bagaimana aktor-aktor tersebut bersikap yang tepat dalam mengarungi perubahan zaman, di mana kita diharapkan untuk selalu waspadèng semu (mampu menangkap gelagat), sesadon ingadu manis (menanggapi segalanya dengan manis).

Naskah adiluhung ini juga memasok perilaku dan sikap tidak sombong, tak menjerumuskan. Bahkan apabila orang telah mengetahui ilmu sejati akan bunga ingaran cubluk, sukèng tyas yèn dènina (suka dianggap bodoh, gembira jika dihina) namun sinambi ing saben mangsa, lelana teka-teki (setiap ada kesempatan mengembara bertapa atau belajar dengan giat).

Menghadapi setiap tantangan para calon pemimpin, diajak untuk selalu sumanggem anyanggemi, nora kétang teken janggut suku jaja (selalu siap sedia, bergeming meski dengan susah payah). Wédhatama menekankan tiga hal dalam kehidupan, yakni wirya arta tri winasis (keluhuran, materi dan kepandaian).

Dalam konteks mengawal visi misi para calon pemimpin untuk menyejahterakan rakyat, sudah waktunya mereka berikhtiar memberdayakan masyarakat dengan menjunjung tinggi harkat martabat, nguwongaké rakyat dan tak tertinggal di bidang kemajuan informasi dan teknologi.

Serat ini lagi-lagi menawarkan kepada para calon pemimpin pada level nasional maupun lokal untuk bersikap inklusif; artinya mau menerima setiap ajaran kebaikan, tidak bersikap yèn antuk tuduh kang nyata, nora pisan dèn lakoni (jika mendapat petunjuk ilmu yang nyata tidak pernah dijalankan).

Para calon pemimpin jangan hanya mengandalkan japa mantra, tapi harus dilaksanakan. Sikap reaktif, emosional dan mencaci zaman dan keadaan, maupun melakukan kesia-sian seperti Don Kisot, Sisipus harus dihindari.

Wédhatama membentangkan perspektif yang layak dimaknai sebagai upaya penguatan spirit explory, dreams dan discovery. Di aras lain juga menjadi simbol keberanian setiap calon pemimpin untuk melihat diri (otokritik) atas kekurangan dirinya.

Tantangan kaum milenial ini sesungguhnya hanya soal kekuasaan. Kekuasaan di sini lebih menyangkut bagaimana mampu menguasai dirinya sendiri. Sejauhmana bisa mengendalikan lingkungannya.

Karena acap kaum muda kita yang terjebak pada model ekonomi underground, seperti narkoba, kriminal, seks bebas, perdagangan manusia, dll. Kala anak-anak muda ini terlibat dan tertangkap dalam pusaran tersebut, mereka acap secara naris bilang diajak kawan, dipaksa teman, dipengaruhi rekan atau diimingi-imingi bala-bala, dll.

Ketika sudah demikian, rupanya kaum muda ini terlampau asik dan negasi atas cita-cita yang pernah dipahat dalam bangku sekolah, tembok kuliah maupun forum-forum diskusi lainnya bahkan bersama orangtuanya. Parahnya lagi, kaukus ini tak segan berteriak minta pekerjaan pada pemerintah, mengemis kerja pada negara, padahal sebagai kaum milenial sudah seharusnya mampu menciptakan lapangan kerja dan atau usaha.

Pertanyaan menariknya adalah, sekira kaum milenial kita itu masuk ke dalam tipikal mana: Kuda balap tipe A (Terus aktif, bergerak, ada tidak ada proyek, sehingga dibutuhkan di mana-mana. Lalu, ada Kuda balap tipe B (aktif jika ada proyek).

Menyusul tipe kuda Nil (ia berendam terus, mulutnya terbuka terus membicarakan proyek orang lain, dan jika dilemparkan 1 biji pisang ke mulutnya, tetap terbuka kemudian dilempar 1 sisir pisang masih terbuka. Setelah dilempar satu tandan pisang baru mulutnya tertutup kemudian diam berendam lagi).

Dan, terparah adalah tipe kuda jinor (Mereka yang hanya nongol pada tanggal siji (satu) untuk mengambil gaji, honor bahkan dana pinjaman). Setelah itu menghilang.

Dalam banyak hal kita menyayangi anak muda kita, tapi dalam beberapa hal kita menyayangkan perilaku kaum muda kita. Sudah saatnya bekerja tak cuma berburu uang, ataupun hidden income, tetapi sejauhmana bermawas diri, apakah selama ini kita sudah sesuai atau bahkan melampaui harapan.

Sering kita dengar, dan saksikan beberapa kaum  muda yang kerjanya cuma menggerutu, menyalahkan pemerintah, tanpa pernah mereka mencoba dan belajar berkreasi atau melakukan inovasi sehingga komoditas itu bernilai tambah.

Hal lain yang nyata dan layak kita gempur sekarang adalah masih saja ada kaum muda yang terpapar paham radikalisme, terorisme dan intoleransi. Untuk memukul mundur arus ini, nampaknya jalur spiritual dan kultural masih relevan kita tempuh. Pemahaman atas nilai agama penting disorongkan di sini. Masak membunuh orang tidak berdosa dan tidak tahu apa-apa itu mau dibenarkan.

Agama apapun pasti tidak pernah membenarkannya. Di luar itu, penting kita tanamkan kembali nilai-nilai luhur bangsa ini kepada anak-anak muda. Apa to kuwi unggah-ungguh, tepa selira, guyub rukun, yang selama ini makin jauh dari sikap dan tindakan milenial kita.

Itulah kemudian, kita harus selalu bergerak pada upaya untuk memberdayakan generasi milenial yang bukan hanya hebat dalam penguasaan teknologi, tetapi juga berdaulat dalam politik, berdikari secara ekonomi dan punya kepribadian dalam kebudayaan.

Kopi Pahit

Kini, kaum milenial itu antikorupsi banget. Maka, untuk mengkampanyekan semangat antikorupsi dan perang melawan korupsi tak cukup sosialisasi, membagi buku/brosur/modul tapi para calon pemimpin bisa melakukan inovasi dan cara-cara ngepop.

Misalnya lewat festival musik, film, bikin kaus unik bertema tertentu dan atraktif sebagai salah satu media dalam menyampaikan pencegahan korupsi kepada generasi muda. Barangkali ini sesuatu yang menarik bagi kaum milenial. Terpenting tidak jarkoni dan bukan gedhang uwoh pakèl.

Ganjar Pranowo pernah mengingatkan, generasi milenial harus melèk teknologi. Jadilah seperti filosofi Jawa ‘ngèli ning ojo kèli’ mengikuti arus tapi jangan sampai hanyut. Jadi mahasiswa harus mempunyai benteng yang kuat, seperti keimanan, ideologi dan rasa kemanusiaan.

Kemudian, atas dinamika politik di negeri ini, kita jaga terus gotong royong, ramah, damai dan toleran. Kaum muda jangan gampang musuhan hanya karena sedikit perbedaan. Hari ini kita ingin generasi muda mempraktikkan nilai-nilai Pancasila menjadi perilaku harian. Dengan demikian, mimpi kita tak ada lagi kekerasan, absen bulying, dan tumbuh tunas baru dengan warna-warni tepaselira, saling menjaga dan menghormati ke-ragam-an dan keber-agama-an.

Spanduk doa Douglas McArthur, di tengah perang pasifik pun terekam kuat hingga sekarang, ”…Tuhanku, jadikanlah anakku seorang yang cukup kuat mengetahui kelemahan dirinya. Berani menghadapi kala ia takut. Yang bangga dan tidak runduk dalam kekalahan yang tulus. Serta rendah hati dan penyantun dalam kemenangan...” Inilah kopi pahit dan permenungan kaum muda kita. Wédhatama bukan panasea, tapi bagain jangkar moral kita, termasuk milenial bangsa. **

Marjono

Kasubag Materi Naskah Pimpinan Pemprov Jateng