Politik Luar Negeri Indonesia dan Terorisme Internasional

Politik Luar Negeri Indonesia dan Terorisme Internasional

TERORISME bukan isu baru, namun menjadi salah satu isu yang semakin penting dalam kebijakan luar negeri Indonesia. Perang global melawan terorisme memperoleh legitimasi dan dukungan yang semakin meluas dari masyarakat internasional, terutama setelah terjadi tragedi 11 September 2001 di New York. Keterlibatan Indonesia dalam perang melawan terorisme ini, tidak hanya untuk memenuhi kewajibannya sebagai bagian masyarakat internasional untuk secara bersama-sama memerangi terorisme, melainkan juga demi memenuhi kepentingan nasionalnya.

Kebijakan luar negeri Indonesia dalam penanganan isu ini sangat mengedepankan kerja sama dengan negara-negara lain baik bilateral, regional dan multilateral. Namun demikian, kerja sama internasional yang terkait dengan penanganan isu terorisme internasional harus dicermati, karena sangat diwarnai oleh perspektif pihak-pihak yang berkepentingan.

Tulisan ini menganalisis kebijakan luar negeri Indonesia dalam forum bilateral, regional dan multilateral mengenai isu terorisme internasional. Terorisme bukanlah isu baru namun menjadi aktual, terutama sejak terjadinya peristiwa serangan terhadap gedung World Trade Centre (WTC) di New York, Amerika Serikat (AS) pada 11 September 2001. Tragedi ini mendorong munculnya pemahaman baru tentang terorisme. Terorisme tidak lagi hanya dipahami sebagai aksi kejahatan luar biasa yang bersifat nasionalistik dan teritorial, melainkan aksi tersebut juga memiliki karakter ideologis yang berkorelasi dengan agama dan bersifat lintas negara. Peristiwa 9/11 di atas juga telah memiliki dampak terhadap perubahan konstelasi politik internasional, dengan kecenderungan semakin eksisnya hegemoni AS. Tragedi ini berkembang sebagai isu global akibat dari kebijakan yang dilancarkan untuk memerangi terorisme yang dikenal dengan Global War against Terrorism. Dalam implementasinya, AS menuntut dukungan dari komunitas internasional untuk bekerja sama memerangi terorisme. Deklarasi “either you are with us or against us” yang dinyatakan oleh Presiden AS George W. Bush tidak memberikan pilihan lain bagi negara-negara di dunia, selain hanya untuk bersikap mendukung atau tidak ikut dalam aliansi AS dalam perang melawan teroris.

Menanggapi tragedi tersebut, Indonesia bersikap responsif. Tidak lama setelah peristiwa tersebut, Presiden RI Megawati Soekarnoputri mengirimkan surat kepada Presiden Bush, berisi ekspresi duka cita dan kecaman Indonesia yang mengutuk serangan tersebut sebagai tindakan yang tidak berperikemanusiaan. Hal yang sama diulangi kembali oleh Megawati ketika berkunjung ke Washington pada 19 September 2001. Pernyataan tersebut dilandasi sikap Indonesia yang menentang segala bentuk kekerasan sebagai cara untuk mencapai suatu tujuan politik, sebagaimana dinyatakan oleh Presiden Megawati bahwa, “Indonesia has always been against violence. Anything that relates to violence, including acts of terrorism, we will definitely be against it.”

Dilihat dari pernyataan tersebut, dapat dikatakan Indonesia sesungguhnya belum menentukan sikap tegasnya dalam kaitannya dengan kebijakan global AS untuk memerangi terorisme. Namun, hal ini tidak berarti Indonesia bersikap pasif dalam merespons persoalan terorisme. Lima belas hari setelah tragedi 9/11, Indonesia menandatangani Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) tentang Pencegahan Sumber Finansial Terorisme (International Convention for the Suppression of the Financing of Terrorism 1999). Selain untuk memperkuat payung hukum isu terorisme di level internasional, penandatanganan tersebut dimaksudkan untuk menunjukkan sikap Indonesia yang menghormati dan mengedepankan mekanisme multilateral, dalam memerangi terorisme daripada aksi unilateral AS.

Sikap kritis Indonesia tersebut digarisbawahi oleh pernyataan Megawati yang mengecam tindakan unilateral tersebut sebagai “an act of aggression, which is in contravention of international law”. Kebijakan Indonesia di atas dilandasi oleh persepsi pemerintah, yang saat itu masih menganggap terorisme bukan menjadi ancaman utama bagi keamanan nasional. Maraknya gejolak politik domestik, di antaranya tuntutan merdeka dari sejumlah wilayah seperti Papua dan Aceh, menjadikan persoalan separatisme lebih krusial bagi Indonesia. Hal ini sebagaimana diakui oleh pejabat tinggi pemerintah Indonesia yang menyatakan bahwa separatisme merupakan “the most pressing security threat, not terrorism”. Keengganan Indonesia untuk turut serta dalam perang gobal melawan terorisme juga diperkuat oleh pernyataan Wakil Presiden Hamzah Haz, yang pada awalnya menyangkal adanya jaringan terorisme di Indonesia. Dengan kata lain, pada saat itu terorisme belum dilihat sebagai ancaman, sehingga belum terjadi proses sekuritisasi dalam kebijakan luar negeri Indonesia.

Perkembangan isu terorisme di tingkat internasional dan domestik tersebut, pada akhirnya menjadi titik tolak perubahan orientasi kebijakan anti-terorisme Indonesia. Komitmen baru untuk penanggulangan terorisme tersebut, dapat dilihat pada lingkup domestik dan internasional. Di samping DKPT, pemerintah juga membangun kelembagaan baru yang dirancang sebagai unit antiteroris. Salah satunya adalah Detasemen Khusus 88 atau yang dikenal dengan Densus 88 pada tahun 2004 dan Badan Nasional Penanggulangan Terorisme yang terbentuk pada pada 2010. Selain melalui upaya legal dan kelembagaan, Indonesia juga melakukan upaya penegakan hukum melalui aksi-aksi penangkapan para tersangka teroris, mengadili dan memenjarakan mereka bila terbukti bersalah di dalam proses peradilan.

Menurut Ansyad Mbay, Kepala BNPT, sampai dengan saat ini BNPT telah berhasil menangkap sekitar 810 orang teroris dan membawa 500 orang teroris ke pengadilan. Dalam lingkup kerja sama multilateral, Indonesia mendukung langkah-langkah Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) dan berperan aktif dalam berbagai bentuk kerja sama dengan lembaga-lembaga internasional, khususnya dalam rangka penegakan hukum, dan berbagai langkah pencegahan, penumpasan, pemberantasan terorisme serta keamanan internasional.

Gerakan dan penyebaran terorisme di Indonesia tidak dapat dilepaskan dari konteks regional dan internasional. Oleh karena itu, upaya untuk mengatasinya juga harus melibatkan banyak pihak termasuk negara-negara lain. Hanya saja kerja sama penanggulangan terorisme melalui bilateral, regional dan multilateral tidak terlepas dari perbedaan kepentingan antarnegara yang terlibat. Karakter transnasional yang terdapat pada aksi terorisme dewasa ini, telah menjadi salah satu justifikasi bagi tindakan pelanggaran norma dasar hubungan internasional, yaitu kedaulatan nasional.

Kondisi ini menjadi tantangan tersendiri bagi pelaksanaan kebijakan luar negeri Indonesia yang bebas aktif, yaitu penentuan kebijakan luar negeri yang seimbang di antara tekanan internasional dan sensitivitas domestik tanpa mengorbankan kepentingan nasional. Terkait dengan permasalahan tersebut ada dua pertanyaan utama perlu diajukan, yaitu: pertama, bagaimana signifikansi isu terorisme dalam kebijakan luar negeri Indonesia; dan kedua, bagaimana kebijakan luar negeri Indonesia di tingkat bilateral, regional dan multilateral dalam isu terorisme internasional?

Terorisme dapat dipahami dari berbagai disiplin ilmu seperti kriminologi, politik, hubungan internasional, keamanan (war and peace studies), komunikasi dan agama. Kondisi ini menyebabkan tidak ada definisi terorisme yang baku dan berlaku universal, sehingga menjadi salah satu masalah yang mengganjal bagi kajian terorisme.

Berdasarkan sudut pandang multidisipliner tersebut di atas, tindakan terorisme sendiri dapat didefinisikan dari berbagai segi, yaitu antara lain sebagai kriminalitas, sebagai kekerasan politik (political violence), sebagai bentuk strategi perang, sebagai bentuk komunikasi, dan sebagai perang suci berlandaskan agama. Sedangkan berdasarkan peristilahannya (etimologi), teror sendiri berasal dari bahasa Latin “terrere” yang berarti “menakut-nakuti” yang diserap ke dalam bahasa Perancis dan selanjutnya digunakan pertama kali dalam bahasa Inggris pada tahun 1528. Terorisme sendiri memiliki konotasi politis saat digunakan oleh salah satu faksi dalam Revolusi Perancis.

Pada saat itu, untuk menanggulangi ancaman kubu monarkis, Maximilien Robespierre memerintahkan eksekusi massal 17.000 tahanan untuk memberikan efek jera kepada lawan politiknya. Dalam pandangan Robespierre (1794) , teror dipahami sebagai, “nothing else than immediate justice, severe, inflexible; it is therefore an outflow of virtue, it is not so much a specific principle than a consequence of the general principle of democracy applied to the most pressing needs of the motherland. Penggunaan istilah teror kemudian berkembang dengan dilekatkan pada kelompok nonnegara pada saat kelompok anarkis Perancis dan Rusia melakukan hal serupa dalam melawan pemerintah yang berkuasa. Serapan ini menjadi acuan banyak kajian terorisme dari sudut pandang ilmu politik yang melihat terorisme sebagai bagian dari kekerasan guna mencapai tujuan politik (political violence).

Perkembangan yang lebih kekinian menunjukkan penggunaan teror sebagai alat perlawanan dalam perang kolonial oleh kelompok gerilya kemerdekaan pada era antikolonialisme yang merebak pascaPerang Dunia II. Sampai dengan tahun 1980-an, peristiwa penyanderaan dan pembajakan pesawat terbang banyak dikaitkan dengan terorisme yang terkait dengan isu nasionalisme tersebut. Namun, perkembangan pasca Perang Dingin pada tahun 1990-an hingga kini menunjukan perubahan dari permulaan sejarah istilah terorisme ini sendiri. Pada terorisme yang berkembang tahun 1990-an, keterkaitan dengan ideologi dan nasionalisme tidak lagi menjadi faktor utama.

Saat ini, isu terorisme seringkali dikaitkan dengan keyakinan agama sebagai motif politik di belakangnya. Karakteristik lainnya dari terorisme saat ini terkait erat dengan globalisasi. Sebagai fenomena internasional yang tidak bisa dihindari, globalisasi diyakini tidak hanya menjadi motivasi bagi tindakan terorisme, tapi juga memfasilitasi metode untuk melakukannya. Selain kemudahan akses dalam informasi dan teknologi, fenomena globalisasi identik dengan penyebaran nilai-nilai Barat yang liberal. Masuknya nilai-nilai Barat dan institusi ke dunia Islam melalui proses globalisasi dan pasar bebas menjadi penjelasan lain dari latar belakang tumbuhnya terorisme.

Proses globalisasi yang melintasi batas-batas negara dan membawa konsekuensi politik dan ekonomi telah mendorong munculnya budaya pasar yang berorientasi pada kepentingan dan keuntungan pribadi yang koruptif, sehingga meminggirkan komunitas-komunitas tradisional. Sementara itu, dalam hal akar penyebab aksi terorisme saat ini relatif beragam. Hal ini tercermin antara lain dalam persidangan Majelis Umum PBB pada bulan Oktober 2001. Perwakilan negara-negara anggota PBB memberikan berbagai penyebab timbulnya serangan terorisme nonnegara yang menghancurkan menara WTC. Armenia, misalnya, menyatakan penyebab terorisme adalah kemiskinan. Sementara negara lain Benin, Kosta Rika, Republik Dominika, Finlandia, Malaysia, Palestina dan Namibia menyatakan bahwa terorisme muncul karena adanya ketimpangan sosial, marjinalisasi, penindasan, pelanggaran hak dasar, ketidakadilan, kesengsaraan, kelaparan, narkoba, prasangka sosial, alienasi kaum muda di tengah situasi keterpurukan ekonomi dan instabilitas politik, penolakan terhadap Barat dengan segala aspek budayanya, ketakutan, dan keputusasaan.

Selain berbagai faktor di atas, pengamat lain menyatakan bahwa kemunculan aksi terorisme di satu negara dapat dikaitkan dengan kiprah politik luar negeri negara tersebut. Menurut Savun dan Phillips, negara yang memiliki perilaku politik luar negeri tertentu lebih mudah menarik terorisme lintas negara (transnational terrorism).

Negara-negara yang lebih aktif terlibat dalam politik internasional lebih mungkin menjadi target terorisme transnasional. Negara demokratis lebih mungkin menjadi target teroris internasional tidak hanya karena tipe rezimnya semata tapi juga karena tipe kebijakan luar negeri yang negara tersebut tunjukkan.

Untuk mencapai kesimpulan itu, variabel yang digunakan untuk mengukur kiprah politik luar negeri suatu negara meliputi keterlibatan dalam krisis politik luar negeri dengan negara lain, hubungan aliansi dengan AS dan frekuensi intervensi pada perang sipil.

Kiprah kebijakan luar negeri Indonesia dalam isu terorisme telah menorehkan sejumlah catatan keberhasilan. Sekalipun masih ada sejumlah kendala di dalam pelaksanaan kerja sama bilateral, regional dan multilateral, namun kesungguhan dan kerja keras pemerintah dalam upaya mengatasi ancaman dan bahaya terorisme telah membuahkan hasil yang positif. Hal ini ditandai dengan adanya apresiasi tinggi dari masyarakat internasional terhadap Indonesia, yang antara lain ditunjang oleh pihak keamanan Indonesia. Misalnya, yang dalam waktu relatif singkat, Indonesia berhasil menangkap tokoh-tokoh kunci di balik berbagai serangan bom tanah air dan mengungkap jaringan terorisme yang berkembang di Indonesia.

Keberhasilan Indonesia dalam kiprahnya menangani terorisme tersebut, mampu memperkuat postur politik luar negeri Republik Indonesia. Penguatan postur tersebut digunakan Indonesia untuk meningkatkan daya tawar dalam hubungannya dengan negara lain untuk memenuhi kepentingan nasionalnya. Sebagaimana diindikasikan dengan keberhasilan diplomasi Indonesia untuk menormalisasi hubungan militer dengan AS pada tahun 2004. Keberhasilan Indonesia dalam penanganan terorisme ini juga sering dipergunakan sebagai benchmark oleh negara-negara lain.

Selain itu, kiprah aktif Indonesia membuktikan bahwa mekanisme kerja sama bilateral, regional dan multilateral yang telah ditata sebelumnya melalui proses diplomasi, ternyata telah mendatangkan manfaat besar. Oleh karena itu, kerja sama antarnegara melalui mekanisme tersebut tetap terus perlu dilakukan. Hanya saja, kerja sama tersebut sebaiknya tidak hanya terfokus pada kegiatan-kegiatan yang sifatnya bantuan teknis dan fungsional, melainkan juga harus diarahkan pada tindakan penumpasan teroris dengan lebih memperhatikan akar permasalahan munculnya terorisme itu sendiri.

Sebagaimana dipahami, formulasi kebijakan dalam menangani terorisme tidak terlepas dari aspek ekonomi dan ideologi. Oleh karena itu, belakangan ini muncul pemikiran agar terorisme dapat dihadapi secara lebih humanis. Kebijakan luar negeri Indonesia dalam kontraterorisme pun lebih diarahkan pada soft power. Upaya penanggulangan terorisme secara efektif dapat dilakukan melalui penciptaan kesejahteraan, pemenuhan kebutuhan hidup yang lebih baik dan perwujudan dialog umat beragama yang lebih konstruktif. Hal-hal tersebut sudah seharusnya menjadi kebijakan di dalam politik luar negeri Indonesia, terutama ketika menjalin kerja sama penanggulangan terorisme baik secara bilateral, regional dan multilateral. **

Aulia Liyundzira

Mahasiswa Prodi Hubungan Internasional Fisipol UMY.