Keputusan Arab Saudi Mengancam Hegemoni Ekonomi AS

Keputusan Arab Saudi Mengancam Hegemoni Ekonomi AS

EKONOMI global digemparkan dengan keputusan Arab Saudi yang mengajukan diri untuk dapat bergabung kepada BRICS. Hal ini dikonfirmasi langsung oleh Presiden Afrika Selatan pada Oktober tahun lalu, Cyril Ramaphosa menyatakan bahwa, “Mohammed bin Salman (Arab Saudi) memang benar-benar ingin bergabung dengan BRICS.” Selain Arab Saudi, terdapat beberapa negara lain yang menunjukkan keinginan untuk bergabung yaitu Iran, Turki, Mesir, bahkan Indonesia. Pada tahun 2023 ini, negara-negara BRICS akan mengadakan pertemuan yang akan mempertimbangkan permasalahan terkait perluasan negara keanggotaan.

BRICS merupakan sebuah forum internasional yang terdiri dari negara Brazil, Rusia, India, China, dan South Africa (BRICS). Forum ini memiliki tujuan untuk memperbaiki tata kelola global dan reformasi keuangan yang dapat mengubah kuota dan kekuatan suara di Bank Dunia maupun IMF yang diberikan kepada negara-negara berkembang. Keinginan Arab Saudi untuk dapat bergabung dengan BRICS, mengakibatkan hubungan antara AS dan Arab Saudi memanas. Apalagi di tengah ketegangan konflik antara Rusia dan Ukraina, yang mengakibatkan steorotip bahwasanya Arab Saudi lebih cenderung untuk memihak Rusia. Tentu saja, keputusan Arab Saudi tersebut memancing kemarahan AS. Padahal AS sejak tahun 1940 telah menjalin hubungan diplomatik penuh dengan Arab Saudi. Lantas, “Mengapa AS marah terhadap keputusan Arab Saudi untuk bergabung dengan BRICS?”

Arab Saudi merupakan negara dengan penghasil minyak tersebesar kedua di dunia dengan 12,2% produksi minyak dunia yang berjumlah 10,95 juta barel per hari. Selain itu, lokasi Arab Saudi yang strategis memainkan peran dalam hubungan bilateral jangka panjang dengan AS.

AS dan Arab Saudi memiliki kepentingan bersama dalam menjaga stabilitas, keamanan dan kemakmuran kawasan Teluk, serta berkonsultasi mengenai berbagai masalah regional dan global. AS dan Arab Saudi memiliki hubungan keamanan yang sudah berlangsung lama. Arab Saudi merupakan pelanggan penjualan senjata atau Foreign Military Sales (FMS) terbesar AS dengan nilai lebih dari US$ 100 miliar. AS telah memberikan dukungan kepada tiga lembaga Arab Saudi yakni Kementerian Pertahanan, Kementerian Dalam Negeri, dan Garda Nasional. AS dan Arab Saudi melakukan hubungan ekonomi yang kuat. AS adalah mitra dagang terbesar kedua Arab, dan Arab adalah salah satu mitra dagang terbesar AS di Timur Tengah. Arab Saudi adalah sumber utama ketiga minyak impor untuk AS, menyediakan sekitar setengah juta barel per hari minyak ke AS. Hal ini mengakibatkan AS bergantung pada Arab Saudi terkait dengan fluktuasi minyak di dunia.

Hubungan bilateral AS dan Arab Saudi mulai memanas ketika keputusan OPEC+ kelompok produsen minyak yang dipimpin Arab Saudi dan Rusia memangkas  produksi minyak sebanyak 2 juta barel per hari. Pemangkasan produksi ini dapat memicu harga minyak dunia melambung lebih tinggi sekitar US$ 90 per barel. Kenaikan ini membuat para pemimpin AS marah karena keputusan tersebut berdampak pada harga minyak di negaranya. Hal ini juga menimbulkan kekhawatiran adanya pemangkasan produksi minyak yang akan membantu mendanai Rusia dalam menginvasi Ukraina.

Tindakan tersebut membuat Arab Saudi mendapat kecaman dari AS. Anggota parlemen AS, bahkan mengusulkan agar memutuskan beberapa kerja sama dengan Arab Saudi, terkait penjualan senjata dan penarikan dukungan militer. Menanggapi hal tersebut, Arab Saudi menyatakan bahwa pengurangan produksi minyak merupakan keputusan bulat anggota OPEC+ yang dibuat murni untuk alasan ekonomi. Pemangkasan produksi minyak sebenarnya bertujuan untuk menjaga kestabilan harga minyak di dunia. Pemerintahan Arab Saudi juga mengecam kembali AS atas tuduhan palsu tersebut, dengan memperingatkan para pemimpin Barat untuk tidak mengancam kerajaan.

Namun, AS terus menuduh bahwa Arab Saudi telah memihak kepada Rusia. Hal ini dibuktikan dengan keinginan Arab Saudi untuk bergabung ke dalam BRICS dan semakin menegangkan hubungan dua negara tersebut. Bergabungnya Arab Saudi ke dalam BRICS menandakan potensi ekspansi dramatis dari blok tersebut di tengah meningkatnya ketegangan dengan AS atas konflik Rusia-Ukraina. AS melaporkan Rusia, China, dan anggota BRICS lainnya karena dinilai  sedang mengembangkan mata uang cadangan global baru, yang berpotensi merusak dominasi dolar AS. Penambahan Arab Saudi ke blok tersebut berpotensi memiliki implikasi yang luas, meningat kekuatan  dollar sebagian berasal dari statusnya sebagai mata uang dominan di pasar minyak internasional. Arab Saudi sebagai salah satu produsen minyak terbesar di dunia dan China sebagai salah satu konsumen minyak terbesar di dunia, bertemu dalam satu forum perdagangan internasional tanpa perlu melakukan transaksi menggunakan dollar AS. Apalagi sebanyak 17% minyak yang masuk ke China berasal dari Arab Saudi, kedua negara tersebut dapat melakukan transaksi menggunakan renmibi (yuan) yang dapat mengancam hegemoni dollar AS.

Kekuatan nilai dollar US sangat berpengaruh kepada harga minyak global, karena statusnya sebagai mata uang dominan yang digunakan sebagai transaksi. Harga indeks dollar AS berbanding dengan harga minyak, ketika dollar US indeksnya kuat, maka membutuhkan semakin sedikit dollar AS untuk membeli satu barel minyak. Sebaliknya jika dollar US indeksnya lemah, harga minyak lebih tinggi dan membutuhkan lebih banyak dollar US untuk membelinya. Sehingga keputusan OPEC+ yang memangkas produksi minyak mengakibatkan peningkatan harga minyak global. Hal tersebut memberikan dampak kepada dollar US yang mengalami penurunan indeks. Penurunan indeks dollar US semakin terpuruk, ketika negara-negara melakukan transaksi minyak global menggunakan mata uang lain. Oleh karena itu, AS mengecam keras keputusan Arab Saudi mulai dari pembatasan produksi minyak yang dilakukan bersama Rusia dan anggota OPEC lainnya, serta keinginan Arab Saudi untuk dapat bergabung dengan BRICS. Bagi AS keputusan yang diambil Arab Saudi tersebut telah mengancam hegemoni ekonomi negaranya. AS telah merasa dikhianati hubungan bilateralnya dengan Arab Saudi. Namun, bagi Arab Saudi ini adalah upaya untuk dapat bebas dari genggaman hegemoni Barat. Keputusan yang telah dilakukan Arab Saudi tersebut membuat nilai eskpor minyak mentah meningkat, sehingga mendorong pertumbuhan ekonomi sebanyak 7,6%. IMF menilai, pertumbuhan ekonomi Arab Saudi ditopang oleh harga minyak yang tinggi. Semua itu merupakan upaya Arab Saudi untuk dapat lebih menstabilkan integrasi ekonomi negaranya. **

Raden Ambara Arya Wibisana

Mahasiswa Prodi Hubungan Internasional Fisipol UMY.