Kota Narkoba dan Intoleran?

Kota Narkoba dan Intoleran?

KUCURAN dana keistimewaan dari APBN ke APBD Provinsi DIY dan kemudian juga ke APBD Kabupaten dan Kota, ibarat darah segar yang mengalir ke dalam tubuh. Itulah buah dari UU No. 13 Tahun 2012 tentang Keistimewaan DIY. Dalam beberapa tahun terakhir, pembangunan fisik kota Yogyakarta mengalami percepatan signifikan. Kawasan Malioboro yang sejak dulu dikenal sulit dibenahi, kini sudah menjadi kawasan yang relatif nyaman bagi para wisatawan. Sekalipun, penataan itu membawa korban hilangnya pekerjaan bagi para tukang parkir, yang sudah puluhan tahun mengais rezeki di sepanjang Jalan Malioboro sampai Jl. Jenderal Akhmad Yani. Sektor pembangunan nonfisik, mengalami perubahan 180 derajat. Berbagai acara kesenian, yang dimaknai sebagai kebudayan, nyaris setiap hari berlangsung. Seniman pun laris manis.

Memasuki ulang tahun ke 263, yang persisnya bertepatan dengan 7 Oktober 2019, Kota Yogyakarta boleh disebut semakin cantik. Sang pendiri, RM Sujana, yang kemudian menjadi Pangeran Mangkubumi dan akhirnya menjadi raja di Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat dengan nama Sri Sultan Hamengkubuwana I, memiliki cita-cita tinggi ketika membangun negeri.

Menilik sejarahnya, lahirnya Kesultanan Yogyakarta diawali dengan perlawanan seorang Mangkubumi terhadap Pemerintah Belanda yang menguasai Kerajaan Mataram di bawah pimpinan Sunan Pakubuwana II. Hutang budi bantuan militer Belanda terhadap Pakubuwana II, berakibat hilangnya sebagian kemerdekaan Kerajaan Mataram.

Perlawanan sengit Pangeran Mangkubumi, yang masih mencintai negeri Mataram, sekalipun di sisi yang lain menguntungkan Belanda karena memperlancar upaya memecah belah Mataram, melahirkan Kesultanan Yogyakarta lewat Perjanjian Giyanti pada 13 Februari 1755. Sebulan kemudian, 13 Maret 1755, Pangeran Mangkubumi yang sudah menggunakan nama Sri Sultan Hamengkubuwana I, mendeklarasikan berdirinya Kesultanan Yogyakarta. Dan sementara mengendalikan jalannya pemerintahan dari pesanggrahan Ambarketawang, yang sekarang menjadi nama desa di Kecamatan Gamping, Kab. Sleman.

Pada Kamis Pahing 7 Oktober 1756, Sultan HB I berpindah dari Ambarketawang ke Keraton Yogya sekarang. Tanggal inilah, yang kemudian digunakan sebagai hari terbentuknya Kota Yogyakarta.

Kalau pada awalnya memberontak karena menentang penjajahan Belanda, berdirinya Kesultanan Yogyakarta, secara logika, adalah upaya mewujudkan negeri yang bebas dari penjajahan.

Dua PR besar

Setidaknya, ada dua pekerjaan rumah besar yang harus dihadapi oleh seluruh pemangku kepentingan, termasuk rakyat. Dua hal yang bila tidak ditangani secara arif dan cerdas, bisa saja menenggelamkan cita-cita luhur pendiri Yogyakarta.

Pertama, kejahatan yang berhubungan dengan narkotika. Merujuk data BNNP Yogyakarta, jumlah penyalahgunaan narkotika dan obat terlarang (narkoba), sejak 2010 meningkat secara signifikan. Bahkan, Yogyakarta termasuk peringkat pertama dalam hal penyalahgunaan narkoba yang melibatkan pelajar dan atau mahasiswa. Yogyakarta dengan tingkat pendatang yang tinggi yang terdiri dari Pelajar dan mahasiswa menempati peringkat pertama pengguna narkotika dan psikotropika (narkoba) jenis sabu dan ganja dengan jumlahnya mencapai 2,6 persen dari total penduduk sekitar 3,6 juta jiwa. (Rezki Satris, 2017).

Kondisi ini sangat bertentangan dengan citra Kota Pelajar atau Kota Pendidikan yang disandang Yogyakarta.

Kedua, dua atau tiga dekade yang lalu, Yogyakarta adalah kota yang ramah. Kota yang masyarakatnya sangat toleran, terutama antarkelompok masyarakat yang berbeda suku dan agama. Predikat City of Tolerance sempat disandang kota ini. Sayangnya, predikat ini berubah total.

Data ilmiah yang dihimpun The Wahid Institut tahun 2014 menyebutkan, Yogyakarta menduduki peringkat kedua sebagai kota tidak toleran setelah Jawa Barat. Dari 54 kasus intoleransi yang tercatat, setidaknya ada 21 peristiwa terjadi di Yogyakarta.

Contoh paling aktual adalah kasus gereja di Pringgolayan yang dilarang menggelar acara bakti sosial. Atau kisah Slamet yang harus terusir dari rumah kontrakan karena berbeda agama dengan masyarakat setempat. Kasus baliho UKDW yang memuat mahasiswi berjilbab juga menjadi persoalan serius sampai akhirnya baliho harus diturunkan.

Barangkali, berbagai kasus penyalahgunaan narkoba dan intoleransi yang juga dapat dimaknai sebagai radikalisme, tidak semuanya terjadi di wilayah administratif Kota Yogyakarta yang terdiri dari 14 kecamatan.

Menyebut Yogyakarta, memang harus dimaknai sebagai Provinsi DIY. Faktanya, sebagai Kota Pendidikan, banyak lembaga sekolah yang berada di luar kota Yogya. Predikat Kota Pariwisata juga ditunjang oleh berbagai obyek wisata di luar kota Yogya.

Dua pekerjaan rumah besar dan serius ini, mendesak untuk diselesaikan. Bagaimanapun, Sultan yang bertakhta menempati posisi kunci untuk memimpin upaya penyelesaian. ***

 

Putut Wiryawan

Kawula Mataram

 

Artikel ini juga dimuat Koran Bernas versi cetak edisi 6 - 20 Oktober 2019