Tatanan Hidup Baru Pasca Pandemi Covid-19

Tatanan Hidup Baru Pasca Pandemi Covid-19

‘SELAMA beberapa bulan, dunia seolah mati suri,’ ungkap Ken Dychtwald, gerontolog cum psikolog dan CEO Age Wave. Menurutnya, manusia dipaksa untuk berhenti berpikir, dan mencapai puncak kesadaran bahwa: ‘aku atau orang-orang yang kusayangi dapat meninggal dunia kapan saja.’ Meski vaksin definitif untuk membunuh virus korona masih dalam proses uji coba, kita menyaksikan kehidupan sudah kembali menggeliat. Pertanyaannya, apakah kehidupan akan kembali seperti sedia kala, manakala vaksin utama sudah bisa dimanfaatkan secara efektif dan siap digunakan kapan saja?

Gerbang Antara

Joel Saldanha, director of the European Network in Debt and Development, dalam bukunya The Pandemic is a Portal (2020) menulis, bahwa secara historis pandemi memaksa manusia untuk berpisah dari masa lampau dan membayangkan suatu dunia baru. Sebuah keterpaksaan. Dengan kata lain, pandemi adalah sebuah gerbang (gateway) yang menandai dunia yang satu dengan dunia berikutnya.

Covid-19 seolah memberi peringatan tentang betapa ringkihnya manusia dengan segala pencapaiannya. Penularan virus korona membuat dunia seketika jatuh dalam krisis kesehatan yang berimbas pada resesi ekonomi di lebih dari 200 negara dan sudah menewaskan 1,2 juta orang. Tak adanya jaring pengamanan ekonomi global, mendorong setiap negara mengutamakan keselamatannya sendiri (my nation first). Ketidaksiapan memaksa perusahaan-perusahaan kelas dunia untuk melokalisasi operasinya dalam rangka mengamankan rantai suplai untuk kepentingan nasional.

Selama masa pandemi, tak ada kepemimpinan dunia yang bisa diandalkan. Badan Kesehatan Dunia (WHO) tergagap pada awal merebaknya virus korona. Lembaga dunia ini pun dikecam, karena cenderung membela kepentingan China. Maklum, WHO didukung oleh tiga lembaga swasta dunia, yang tentu memiliki agenda sendiri. AS yang pada masa pandemi SARS dan Ebola berhasil menggalang solidaritas dunia untuk menghentikan penularan virus itu, ternyata tidak berdaya menghadapi Covid-19. Bahkan  AS menjadi negara dengan korban tewas terbanyak yakni 207.538 (Worldometers, 25/9/2020)

Pelajaran Berarti

Aristoteles, sorang filsuf Yunani klasik berkata, ‘Justru di tengah gelap gulita, manusia mampu melihat cahaya walau sekecil apa pun’. Artinya pada titik nadir selalu ada harapan. Meminjam istilah Ronggo Warsita, cakra manggilingan, ketika roda berada pada titik terendah, pada saat itulah ia mulai bergerak naik.

Manusia adalah makhluk sosial yang kekuatan utamanya bertumpu pada kerja sama, solidaritas dan kedekatan ketika hendak membangun atau memecahkan berbagai persoalan. Virus korona yang tak kasat mata menyerang inti kekuatan manusia itu. Dalam rangka mekanisme pertahanan diri social distancing diberlakukan pada tingkat individu, keluarga, kelompok masyarakat hingga negara.

Pengambilan jarak dan isolasi diri itu diambil akibat keterpaksaan. Manusia tak mungkin terus mengisolasi diri. Lockdown hanya bersifat sementara. Dalam kehidupan praktis sehari-hari, kita selalu membutuhkan orang lain, mulai dari hal-hal rutin  seperti suplai makanan, obat-obatan hingga bantuan darurat lainnya. Pada tataran kehidupan berbangsa, nasionalisme kita justru diukur dari seberapa baik kita membangun kerja sama dengan negara lain. Meski China dipersalahkan dalam hal merebaknya  Covid-19, suka atau tidak dunia harus belajar dari negara itu tentang cara menanggulangi virus mematikan.

 

Negara-negara kaya tak mungkin mengisolasi diri selamanya, karena katakanlah jika negara-negara miskin di Afrika ditelantarkan dan bangkrut, akan terjadi migrasi besar-besaran ke negara lain, termasuk ke negara-negara kaya itu.  Skenario ini menunjukkan, bahwa di planet bumi solidaritas antara negara akan selalu dibutuhkan, karena bagaimanapun kita senasib dan sepenanggungan (we are in the same boat).

Manusia yang berakal budi, selalu mampu melihat hal lain di balik sebuah fakta. Saat ini dunia mengalami krisis, tetapi di balik sebuah krisis selalu ada peluang. Covid-19 mendorong manusia untuk meninjau kembali skala prioritasnya. Tersiksa dengan isolasi diri, membuat kesempatan keluar rumah untuk sekedar berjalan-jalan ke pantai atau lereng gunung, kini perlu menjadi prioritas.

Berbagai pusat perbelanjaan yang terpaksa tutup setidaknya mampu  menjinakkan nafsu belanja sementara orang yang kadang di luar akal sehat. Orang mulai belajar hidup hanya dengan apa yang sungguh-sungguh dibutuhkan saja. Polusi berkurang akibat bahan bakar fosil yang menurun penggunaannya karena alat-alat transportasi tidak berfungsi.  Langit bersih, hewan-hewan liar bermunculan seolah ingin menuntut kembali habitatnya.

Dengan kata lain, selama krisis pandemi, telah muncul kesadaran baru mengenai pentingnya memelihara lingkungan hidup dan menjaga bumi sebagai satu-satunya planet yang layak kita huni. Orang berkesempatan mengevaluasi kehidupan spiritualnya, menata kembali relasi dengan anggota keluarga dan sesama serta mempertimbangkan berbagai rencana yang akan direalisasi setelah krisis.

Masa lockdown menyediakan kesempatan untuk belajar berbagai pengetahuan dan keterampilan baru. Kebagian mengerjakan tugas-tugas rumah seperti mencuci, memasak, menjahit masker, membantu anggota keluarga yang lemah, bahkan ikut menyemangati tenaga medis, dll, tanpa sengaja telah menguatkan ikatan keluarga.

Krisis ini membuat kita semakin sadar, bahwa solidaritas dan kerja sama sangat diperlukan dalam megatasi berbagai persoalan yang berdampak terhadap seluruh umat manusia. Karena itu,  kita dituntut untuk bersikap inklusif, memiliki daya tahan, dan pantang menyerah. Dalam situasi krisis terbukti, kita lebih kuat ketika bersekutu dan lemah bila terpecah belah.

Normal Baru

Para dokter, aging expert (pakar manula), futurist, industry expert (ahli industri), semuanya sepakat, bahwa dunia pasca Covid-19, tidak akan kembali seperti sedia kala. Krisis ini misalnya telah mengakselerasi transformasi digital. E-commerse berkembang pesat. Dalam bidang bisnis dan pendidikan terjadi pengadopsian terhadap aplikasi WhatsAp Group, video conferencing, online teaching dan fintech. Paling tidak, ada yang akan mengalami perubahan mencolok.

Pertama, bidang kesehatan. Kesigapan dalam membangun infrastruktur kesehatan untuk mengantisipasi lonjakan jumlah pasien, sangat berdampak terhadap konstruksi sistem kesehatan. Teknologi digital seperti contactless thermometer (pengukur suhu) semakin luas digunakan. Bahkan menurut Futurist dan Sejarawan Youval Noah Harari, dalam buku Homo Deus: A Brief Story of Tomorrow (2016), kekurangan kronis terhadap tenaga dokter akan segera digantikan oleh robot berkemampuan artificial intelligence (AI). Dokter robot ini siap sepanjang waktu untuk menolong dan memiliki data lengkap mengenai riwayat penyakit dan berbagai temuan mutakhir untuk menyembuhkan penyakit si pasien yang sedang ia tangani. Human error dalam bentuk malpraktik, salah diagnosis, kelalaian bisa dicegah. Penularan virus korona yang terjadi sedemikian cepat, semakin meningkatkan kewaspadaan masyarakat untuk tetap menerapkan perilaku hidup bersih dan sehat (PHBS) pada era normal baru.

Kedua bidang pendidikan. Modernisasi teknik belajar-mengajar secara online dengan menggunakan smart technology  akan bertahan. Kegiatan belajar dari rumah dengan melibatkan orang tua berkemungkinan besar mengambil alih metode belajar-mengajar konvensional. Penggunaan robot dan AI secara masif di pasar kerja pada abad 21, akan menimbulkan pertanyaan penting dan mendasar: apa yang seharusnya dipelajari oleh generasi muda sehingga mereka akan tetap relevan bagi dunia kerja pada usia 40-an, ketika 60-70%  tenaga kerja manusia  telah digantikan oleh robot? Pengetahuan dan keterampilan apakah yang perlu dimiliki agar manusia mampu mengupgrade dirinya sehingga tidak jatuh ke dalam kategori masyarakat tanpa kerja (jobless socity). Bukankah masyarakat tanpa kerja akan berdampak pada rasa tidak aman (insecurity), stres, bunuh diri dan menurunnya tingkat kesehatan mental? Bidang pendidikan, akan terus bergulat dengan pertanyaan-pertanyaan strategik dan fundamental ini. Maka berbagai rencana strategis dan inovasi selalu dibutuhkan oleh dunia pendidikan.

Ketiga, kehidupan keluarga. Ke depan, masyarakat akan semakin berorientasi kepada kehidupan keluarga. Selama masa isolasi, keluarga menjadi tempat perlindungan paling aman. Setiap anggota keluarga berusaha saling menjaga. Tugas-tugas rumah seperti memasak, mencuci pakaian, mendampingi anak belajar, yang kuat membantu yang lemah melibatkan anggota keluarga. Rumah tak hanya berfungsi sebagai tempat tinggal, tetapi juga sebagai tempat belajar dan bekerja. Bekerja dari rumah (work from home) memberikan lebih banyak waktu kepada pencari nafkah untuk berada bersama keluarga di rumah. Beban kerja  berlebihan sebelum pandemi yang memaksa pekerja untuk kerja lembur atau bahkan membawanya ke rumah serta lamanya waktu perjalanan pergi dan pulang kerja, untuk sementara waktu terlupakan. Dengan menggunakan teknologi untuk bekerja jarak jauh, maka lokasi kerja dan tempat tinggal tak akan lagi jadi pertimbangan berarti saat rekrutmen.

Kesimpulan

Di satu pihak Covid-19 berhasil memaksa manusia, individual maupun kolektif untuk menjaga jarak, namun di lain pihak ia justru semakin menguatkan kerja sama dan solidaritas antara umat manusia.  Jika kedua hal ini dipertahankan, kita bisa berharap, suatu dunia yang lebih baik sedang muncul. Pengalaman buruk ini akan segera berlalu, tapi dengan meninggalkan kebijakan (wisdom)  tentang kepedulian terhadap sesama dan lingkungan hidup yakni dua nilai inti paling murni yang akan selalu relevan bagi kehidupan seluruh umat manusia.

Kini kewaspadaan kita dipertajam untuk menghadapi setiap kemungkinan buruk lain pada masa depan. Bagaimanapun Covid-19 sudah menguji batas-batas kerja sama global. Diperlukan tindakan kolektif untuk membangun ekonomi yang menjamin pertumbuhan kesejahteraan dan keamanan bagi semua.

Visi pembangunann harus menempatkan hak asasi manusia, kesetaraan gender, dan iklim sebagai pusat keprihatinan. Ketidakseimbangan kekuasaan di dalam berbagai lembaga dunia perlu dikoreksi untuk memberikan pengakuan yang adil terhadap hak dan kebutuhan dari dua pertiga penduduk dunia yang mendiami belahan bumi selatan. ***

John de Santo

Dosen ASMI Santa Maria Yogyakarta; pengasuh Rumah Belajar Bhinneka.