Catatan Hukum: Hukum dan Cawe-Cawe

Oleh: Ilham Yuli Isdiyanto

Hukum dalam bentuknya yang tertulis tidak pernah menjamin akan dilaksanakan sebagaimana disebutkan dalam normanya, sehingga kepastian hukum bukan dilihat sebagai realitas hukum melainkan cita-cita hukum untuk mewujudkannya. Selama teks hukum masih terbuka pada ruang interprestasi maka hukum tidak akan pernah mampu mewujudkan kepastian teksnya. Hukum yang sudah terintervensi bukan lagi bisa disebut sebagai hukum, ia kemudian berubah menjadi “alat” untuk melegitimasi kepentingan, bukan mewujudkan ketertiban sesuai tujuan hukum itu sendiri. Artinya, saat hukum sudah keluar dari koridor tujuannya berubah haluan menjadi gerbong kepentingan, maka akan muncul ketidakpercayaan terhadap hukum oleh masyarakat. Hal ini tentu berbahaya, bagaimana mungkin bisa hukum yang tidak dipercayai dapat dipertahankan, apalagi lembaga penegak hukum yang seharusnya menjaga marwah kemudian tidak lagi mampu memertahankan kehormatan dan kewibawaannya.

Catatan Hukum: Hukum dan <em>Cawe-Cawe</em>

KADO akhir terhadap dinamika hukum nasional ditutup dengan prestasi Mahkamah Konstitusi yang tidak konsisten membangun logika hukumnya sehingga terplesetkan menjadi “Mahkamah Keluarga” karena peran “Sang Paman”.

Seharusnya hal ini tidak mengagetkan, karena pada awal tahun 2023 arogansi sudah muncul kala drama Undang Undang Cipta Kerja diputuskan inkonstitusional bersyarat melalui Putusan Mahkamah Konstitusi No. 91/PUU-XVII/2020 namun secara arogansi pemerintah bukannya memperbaiki proses meaningfull participation tetapi malah menerbitkan Perppu No. 2/2022 tentang Cipta Kerja dan ditetapkan melalui UU No. 6/2023 pada awal tahun 2023.

Hal ini memperlihatkan, jangankan berharap pada penegakan hukum (legal enforcement) yang baik, bahkan berharap pada pembentukan hukum yang baik pun kita pesimis karena tidak menunjukkan sisi demokratisasi. Belajar dari Prof. Mahfud, MD yang memberikan barometer karakter produk hukum sangat dipengaruhi konfigurasi politiknya, maka konfigurasi politik yang otoriter akan melahirkan produk hukum yang represif/konservatif ortodoks. Menariknya, saat UU Cipta Kerja dianggap nir-partisipasi, beliau menjabat sebagai Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menko Polhukam).

Hukum dan Pikiran Tentangnya

Satjipto Rahardjo sudah sejak lama menaruh kecurigaan pada hukum nasional, ia melihat peraturan perundang-undangan kadang memiliki sifat kriminogen, yakni membuka peluang untuk melegitimasi perbuatan yang seharusnya adalah kejahatan. Dalam konteks ini, problem hukum bukan hanya pada produk perundang-undangannya, melainkan dengan cara berfikir hukumnya (legal culture).

Problem hukum yang pertama adalah problem teoritik, di mana tidak ada satu pun metode berhukum yang disepakati di Indonesia. Artinya, setiap penegakan hukum memiliki cara sendiri untuk menginterprestasikan hukum sesuai dengan kapasitasnya bahkan "kepentingannnya”.

Kasus korupsi mungkin menjadi salah satu hal yang paling banyak menjadi sorotan, yang kini masih menyisakan “pekerjaan rumah” adalah belum selesainya kasus Johnny G Plate terkait pembangunan Base Transceiver Station (BTS) 4G yang dikerjakan oleh Kementerian Komunikasi dan Informatika karena disinyalir kerugian negara mencapai Rp. 8 triliun.

Selain itu, masyarakat dikagetkan saat Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menetapkan Menteri Pertanian Syahrul Yasinn Limpo sebagai tersangka pemerasan dan tindak pidana pencucian uang. Kelakuan para birokrat semakin membuat masyarakat geram, apalagi skandal Syahrul Yasin Limpo dengan Firli Bahuri yang notabene Ketua KPK diendus oleh publik.

Kekecewaan dan “surprise” terhadap kasus hukum pun ternyata masih berlanjut, di mana Wakil Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia, Eddy Hiariej menjadi tersangka gratifikasi senilai Rp. 8 miliar. Masyarakat menjadi geram karena Eddy Hiariej yang notabene adalah ahli hukum pidana termasuk akademisi seharusnya menjaga marwah kepercayaan publik, namun yang terjadi adalah diduga sebaliknya.

Maraknya kasus korupsi seakan mengarahkan bahwa penegakan hukum terkait tindak pidana korupsi tidak efektif karena tidak menimbulkan efek jera. Masyarakat merindukan sosok seperti almarhum Artidjo Alkostar saat menjadi Hakim Agung selalu menjadi sosok menakutkan bagi koruptor karena menghukum lebih berat.

“Cawe-Cawe” Penegakan Hukum

Fenomena “Mahkamah Keluarga”, kasus Firli Bahuri hingga Eddy Hiariej adalah bagaimana proses penegakan hukum masih tidak “steril” dari cawe-cawe. Intervensi terhadap proses penegakan hukum mengindikasikan bahwa hukum tidak pernah berada pada ruang yang netral, secara teks hukum akan imparsial namun secara prosesnya ia penuh dengan berbagai kepentingan.

Hukum dalam bentuknya yang tertulis tidak pernah menjamin akan dilaksanakan sebagaimana disebutkan dalam normanya, sehingga kepastian hukum bukan dilihat sebagai realitas hukum melainkan cita-cita hukum untuk mewujudkannya. Selama teks hukum masih terbuka pada ruang interprestasi maka hukum tidak akan pernah mampu mewujudkan kepastian teksnya.

Hukum yang sudah terintervensi bukan lagi bisa disebut sebagai hukum, ia kemudian berubah menjadi “alat” untuk melegitimasi kepentingan, bukan mewujudkan ketertiban sesuai tujuan hukum itu sendiri. Artinya, saat hukum sudah keluar dari koridor tujuannya berubah haluan menjadi gerbong kepentingan, maka akan muncul ketidakpercayaan terhadap hukum oleh masyarakat. Hal ini tentu berbahaya, bagaimana mungkin bisa hukum yang tidak dipercayai dapat dipertahankan, apalagi lembaga penegak hukum yang seharusnya menjaga marwah kemudian tidak lagi mampu memertahankan kehormatan dan kewibawaannya.

Setelah menurunnya kepercayaan masyarakat terhadap Mahkamah Konstitusi dan KPK, institusi penegak hukum mana lagi yang kemudian masih tersisa untuk menjadi tumpuan pengharapan. Kebutuhan masyarakat adalah hukum benar-benar menunjukkan kewibawaannya, menjadi pelindung. Sanksi yang tegas dan benar-benar mampu membuat setiap orang berfikir untuk melanggarnya.

Resolusi Tahun Baru 2024

Persoalan hukum adalah hal mendasar, karena dia menempatkan standar dan arah tingkah laku ke depannya. Masyarakat menginginkan kepastian, yakni hukum mampu diprediksi secara nalar, bukan “dicawe-cawe” yang menjadikannya mengingkari rasa keadilan yang ada pada masyarakat.

Resolusi hukum tahun 2024 harus dimulai dengan strategi transparasi kelembagaan dan evaluasi kapasitas. Melalui transparasi kelembagaan maka akan diketahui pola penegakan hukum selama ini seperti apa, termasuk orientasi dan metode kriminalisasi yang dilakukan.

Selanjutnya adalah evaluasi kapasitas baik kapasitas kelembagaan maupun kapasitas personal. Kapasitas kelembagaan penting untuk melihat jangkauan dan upaya efektifitasnya, sedangkan kapasitas personal adalah untuk melihat kualitas dan kemampuan dari penegak hukum yang sudah berorientasi pada keadilan bukan pada pragmatisme. Terutama Hakim memiliki peran penting, karena kapasitas personalnya juga didasarkan pada sisi spiritual-religius yang tertuang pada setiap irah-irah putusannya. Salam. **

Ilham Yuli Isdiyanto, SH, MH

Direktur Pusat Kajian Sejarah dan Pembangunan Hukum

Fakultas Hukum Universitas Ahmad Dahlan