Menjaga Marwah TNI

Oleh: Boy Anugerah

Persoalan-persoalan yang kontraproduktif terhadap reformasi sektor keamanan pada era Presiden Joko Widodo ini kian mengental pada era Presiden Prabowo. Penunjukan perwira aktif militer sebagai Seskab dan Direktur Utama Bulog tentu melukai perasaan publik dan spirit reformasi. Begitu juga dengan wacana pembentukan Kodam-Kodam baru agar kompatibel dengan struktur kepolisian dan pemerintahan daerah yang dianggap meninggalkan aras maritim dan cenderung kontinentalis seperti orde baru. Pada era Presiden Prabowo Subianto, TNI juga dilibatkan pada wilayah sipil yang sangat kental seperti Satgas Kehutanan dan Satgas Kejahatan Khusus (Judol, Narkoba, dan lainnya), yang notabene tugas-tugas sedemikian dapat dipangku oleh kepolisian yang memiliki ranah pengamanan di level domestik. Publik sangat memahami dalam beberapa kasus seperti swasembada pangan yang menjadi target pemerintah bahwa banyak sekali kendala-kendala pada proses produksi, rantai distribusi, sehingga membutuhkan pejabat dengan disiplin dan ketegasan yang tinggi. Namun demikian, tekanan kebutuhan tersebut tidak bisa serta-merta menegasikan pejabat sipil untuk menduduki jabatan tertinggi sesuai dengan peruntukannya.

Menjaga Marwah TNI
Boy Anugerah (Istimewa).

KEPUTUSAN Presiden Prabowo Subianto menunjuk Mayjen TNI Novi Helmy Prasetya sebagai Dirut Bulog menuai reaksi keras dari publik. Presiden Prabowo dituding hendak menghidupkan kembali dwifungsi ABRI seperti pada masa orde baru. Sebelumnya, publik juga menyoroti keputusan Presiden Prabowo yang menunjuk Mayor TNI Inf Teddy Indra Wijaya sebagai Sekretaris Kabinet (Seskab), serta pelaksanaan retret berbau militer bagi anggota Kabinet Merah Putih (KMP) dan kepala daerah terpilih. Serentetan kebijakan Presiden tersebut dianggap melukai proses reformasi yang bergulir sejak 1998, serta komitmen untuk mendukung tegaknya supremasi sipil.

Dwifungsi ABRI merupakan kebijakan pada era Presiden Soeharto yang mendudukkan militer (pada waktu itu Angkatan Bersenjata Republik Indonesia/ABRI) tidak hanya memangku fungsi pertahanan dan keamanan negara, tapi juga terlibat dalam kegiatan sosial politik kenegaraan. Ide awal dwifungsi ABRI sejatinya dicetuskan oleh Jenderal TNI (Purn) Abdul Haris Nasution pada pidato di Akademi Militer Nasional (AMN) Magelang pada 1958 mengenai pentingnya keterlibatan angkatan darat secara terbatas di pemerintahan sipil. Ide ini lebih lanjut dikembangkan secara luas dan melampaui definsi “terbatas” yang disebutkan oleh Jenderal TNI (Purn) Abdul Haris Nasution oleh Presiden Soeharto, sehingga memungkinkan ABRI mempunyai fraksi di DPR/MPR RI, serta menduduki jabatan sipil di kabinet dan pemerintahan daerah.

Dampak buruk dwifungsi

Penerapan dwifungsi ABRI pada masa Presiden Soeharto tidak diragukan lagi merupakan bentuk pelanggaran terhadap supremasi sipil, serta mencederai praktik demokratisasi. Pada masa Presiden Soeharto, ABRI menjelma menjadi satu kekuatan politik tersendiri bersama Golongan Karya (Golkar) dan birokrasi pemerintahan dalam menopang kekuasaan Presiden Soeharto. Pada masa itu, dikenal istilah ABG sebagai mesin politik utama Presiden Soeharto. Keterlibatan ABRI pada praksis politik jelas melukai prinsip-prinsip demokrasi karena ABRI digunakan sebagai kekuatan untuk mengintimidasi lawan-lawan politik Presiden Soeharto, baik partai politik, kelompok oposisi, maupun gerakan mahasiswa kritis. Keterlibatan ABRI dalam praksis politik merusak kelembagaan militer tersebut secara organisasional karena selain tidak fokus pada fungsi utama, yakni pertahanan negara, juga menjerumuskan mereka pada praktik berbisnis yang sangat jauh menyimpang dari tupoksinya sebagai komponen utama pertahanan negara.

Kesalahan pada masa orde baru ini akhirnya dibenahi oleh pemerintah pasca-reformasi dengan menggulirkan kebijakan reformasi sektor keamanan. Pada era pasca-reformasi (periode awal diinisiasi oleh Presiden Gus Dur), militer dikembalikan ke barak. Dwifungsi ABRI dihapuskan dan militer didudukkan pada fungsi asalnya sebagai kekuatan pertahanan negara. Demi mewujudkan profesionalisme, ABRI kemudian dipecah menjadi TNI dan Polri, yang mana TNI fokus pada fungsi pertahanan, sedangkan Polri fokus pada fungsi keamanan dalam negeri. Tak hanya pemisahan, fungsi kontrol terhadap TNI diperkuat melalui UU No. 3 Tahun 2002 tentang Pertahanan Negara dan UU No. 34 Tahun 2004 tentang TNI, yang mana posisi Panglima TNI dalam hal penggunaan kekuatan militer berada di bawah Presiden secara langsung, namun dari sisi kebijakan militer, anggaran, dan pengelolaan SDM berada di bawah Menteri Pertahanan RI (Menhan RI). Di sisi Polri, Polri berubah status menjadi lembaga sipil meskipun secara teknis dibekali hak untuk menggunakan senjata, dan posisi Kapolri dari segala sisi berada di bawah Presiden secara langsung.

Arus perubahan

Proses pembenahan militer secara struktural dan kultural terus berlanjut, tidak berhenti pada pemisahan TNI dan Polri saja. Tim reformasi sektor keamanan untuk TNI dipimpin oleh Letjen TNI (Purn) Agus Widjojo yang diminta untuk melakukan perbaikan-perbaikan pada institusi TNI sesuai amanat reformasi. Konsepsi komando teritorial kemudian dikaji urgensinya apakah relevan dengan konstelasi geografis Indonesia yang sejatinya bersifat maritim. Agus Widjojo berpandangan bahwa konsepsi komando teritorial sejatinya tidak diperlukan dan hanya perlu diberlakukan secara terbatas sesuai dengan derajat ancaman pada tiap-tiap wilayah. Komando teritorial sendiri pada masa Presiden Soeharto diberlakukan untuk menciptakan kompatibilitas dengan konsepsi struktural pemerintahan daerah dengan menempatkan militer berdasarkan satuan-satuan wilayah mulai dari provinsi (Kodam), kabupaten/kota (Kodim), hingga kecamatan (Koramil). Agus Widjojo juga memandang eksistensi Bintara Pembina Desa (Babinsa) tidak diperlukan. Lebih lanjut, ia berpendapat bahwa konsepsi teritorial yang tidak berbasis ancaman dan hanya berformat struktural banyak mengandung muatan politis pada masa orde baru sebagai kepanjangan tangan penguasa untuk mengontrol sistem politik dengan tangan-tangan militer.

Pada masa Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) menjabat sebagai presiden pada 2004 hingga 2009, cukup banyak pembenahan aspek militer yang ia lakukan. Cara pandang dunia militer Indonesia yang kental dengan perspektif kontinental digeser ke arah perspektif maritim. Dominasi angkatan darat pada pucuk pimpinan militer “digerus” dan dinormalisasi berdasarkan prinsip meritokrasi. Artinya, setiap matra di TNI, darat, laut, hingga udara, memiliki kesempatan yang sama untuk mengisi pos jabatan sebagai Panglima TNI. Sikap reformis Presiden SBY inilah yang berhasil mendudukkan nama-nama di luar angkatan darat seperti Djoko Suyanto (AU) dan Agus Suhartono (AL). Tak hanya itu, demi mendukung supremasi sipil, posisi menteri pertahanan yang pada masa orde baru selalu diisi oleh prajurit militer, diberikan kepada tokoh-tokoh sipil yang memiliki kepakaran di bidang tata kelola organisasi seperti Prof. Juwono Sudarsono dan Prof. Purnomo Yusgiantoro. Sikap Presiden SBY ini dapat dipahami karena sosok menteri pertahanan akan memainkan peran penting dalam tata kelola kebijakan, anggaran dan penguatan SDM di militer, sehingga membutuhkan sosok dengan pengalaman manajemen yang kuat. Sampai di sini kita bisa membaca bahwa komitmen dari Presiden SBY sangat kuat untuk mendukung proses reformasi sektor keamanan sebagai mandat reformasi 1998.

Muncul permasalahan

Inkonsistensi dalam reformasi sektor keamanan terjadi pada pemerintahan Presiden Joko Widodo sepanjang 2014 hingga 2024. Sempat muncul ide Poros Maritim Dunia (World Maritime Axis) yang menabalkan komitmen Indonesia untuk memperkuat kapasitas maritim yang menjadi atribut nasional, namun ide ini tenggelam di periode kedua pemerintahannya. Penunjukan pejabat Panglima TNI cenderung didominasi oleh matra angkatan darat, serta penunjukan menteri pertahanan yang didominsasi sepenuhnya oleh pensiunan militer. Yang cukup mencolok pada era Presiden Joko Widodo adalah banyaknya prajurit militer aktif yang menduduki pos-pos jabatan di lembaga sipil seperti BNPT, BNPB, Basarnas, BNN, Lemhannas, Wantannas, Bakamla, dan lembaga-lembaga lainnya berdasarkan Permenhan No. 38 Tahun 2016 Bab III tentang Jabatan ASN pada instansi Pemerintah yang dapat dijabat oleh prajurit TNI. Keberadaan prajurit-prajurit TNI di lembaga-lembaga sipil tersebut sebenarnya masih perlu diperdebatkan. Benar bahwasanya ada anasir-anasir  fungsi pertahanan yang memerlukan kompetensi prajurit militer untuk mengisinya. Namun demikian, di beberapa lembaga, dominasi prajurit militer pada piramida jabatan tertinggi di lembaga-lembaga tersebut sangat dominan dan cenderung mendiskreditkan “warga sipil” yang notabene menempati bauran terbesar dalam SDM kelembagaan.

Persoalan-persoalan yang kontraproduktif terhadap reformasi sektor keamanan pada era Presiden Joko Widodo ini kian mengental pada era Presiden Prabowo. Penunjukan perwira aktif militer sebagai Seskab dan Direktur Utama Bulog tentu melukai perasaan publik dan spirit reformasi. Begitu juga dengan wacana pembentukan Kodam-Kodam baru agar kompatibel dengan struktur kepolisian dan pemerintahan daerah yang dianggap meninggalkan aras maritim dan cenderung kontinentalis seperti orde baru. Pada era Presiden Prabowo Subianto, TNI juga dilibatkan pada wilayah sipil yang sangat kental seperti Satgas Kehutanan dan Satgas Kejahatan Khusus (Judol, Narkoba, dan lainnya), yang notabene tugas-tugas sedemikian dapat dipangku oleh kepolisian yang memiliki ranah pengamanan di level domestik. Publik sangat memahami dalam beberapa kasus seperti swasembada pangan yang menjadi target pemerintah bahwa banyak sekali kendala-kendala pada proses produksi, rantai distribusi, sehingga membutuhkan pejabat dengan disiplin dan ketegasan yang tinggi. Namun demikian, tekanan kebutuhan tersebut tidak bisa serta-merta menegasikan pejabat sipil untuk menduduki jabatan tertinggi sesuai dengan peruntukannya.

Unjuk saran

Suka tidak suka, penting bagi rezim pemerintahan Presiden Prabowo Subianto untuk melanjutkan amanah reformasi sektor keamanan dengan melakukan pembenahan secara struktural dan kultural terhadap kelembagaan TNI. Marwah TNI sebagai komponen utama pertahanan negara perlu dijaga dengan menjaga netralitas dan profesionalisme para prajuritnya. Hal yang paling sederhana yang dapat dilakukan oleh pemerintahan Presiden Prabowo adalah dengan mengevaluasi kembali penempatan prajurit-prajurit militer aktif di lembaga sipil. Perlu ada evaluasi menyeluruh tehadap penempatan di lembaga sipil yang selama ini sudah berlaku, apakah penempatan tersebut memang benar berdasarkan kebutuhan lembaga, diikuti oleh profesionalisme prajurit, membawa manfaat bagi lembaga sipil tempat TNI tersebut bertugas, dan lain sebagainya. Jangan sampai penempatan tersebut dilakukan hanya karena pos jabatan di institusi induk sudah penuh, sehingga personel militer harus spill-over ke lembaga sipil, yang akhirnya merusak profesionalisme lembaga sipil tersebut dan membuat “warga sipil pribumi” tidak kerasan dengan lembaga tempat mereka mengabdi karena dominasi unsur militer. Yang perlu menjadi pedoman utama Presiden Prabowo adalah fungsi utama TNI sebagai alat pertahanan negara, tidak lebih tidak kurang. Jangan digiring pada fungsi-fungsi yang lain. **

Boy Anugerah

Alumnus Magister Ketahanan Nasional UI/Alumnus Magister Ilmu Pemerintahan SGPP Indonesia/Direktur Eksekutif Literasi Unggul School of Research