Membaca Ki Manteb, Semar dan Togog
LANGIT tenang, angin lembut berembus di Dukuh Suwono, Desa Ndomplang Kecamatan Karangpandan, Karanganyar di kaki Gunung Lawu. Hari itu tepat 2 Juli 2021, menandai pamungkasnya detak nafas bagi Ki Manteb Soedarsono, dalang yang kesohor dengan predikat dalang setan karena sabetannya.
Seluruh hidupnya diwakafkan untuk pemajuan budaya, utamanya dunia pekeliran wayang kulit. Ia lahir dan tumbuh dari trah dalang. Ayahnya dalang Ki Hardjo Brahim dan Ibu Sudarti seorang pesinden dan pengrawit. Generasi keluarga paska Ki Manteb mangkat pun berprofesi sebagai dalang, yaitu dalang Manto, Maryono dan Darmadi. Ki Manteb adalah juga cucu dari dua orang dalang kondang pada zamannya. Kakek dari ayah bernama Ki Djarot Hardjowiguno, dan kakek dari ibunya bernama Ki Gunawan Gunowihardjo asal Tepus, Majagedang, Karanganyar.
Laman tribunnews.com (2/72021) mengisahkan, Ki Manteb merupakan dalang inovatif. Ki Manteb mengaku hobi menonton film kung fu yang dibintangi Bruce Lee dan Jackie Chan, untuk kemudian diterapkan dalam pedalangan. Untuk mendukung keindahan sabet yang dimainkannya, Ki Manteb pun membawa peralatan musik modern ke atas pentas, misalnya tambur, biola, terompet, ataupun simbal.
Pada awalnya hal ini banyak mengundang kritik dari para dalang senior. Namun tidak sedikit pula yang mendukung inovasi Pak Manteb. Keahlian dalang Oye dalam olah sabet tidak hanya sekadar adegan bertarung saja, tetapi juga meliputi adegan menari, sedih, gembira, terkejut, mengantuk, dan sebagainya. Karena keterampilannya dalam memainkan wayang, ia pun dijuluki para penggemarnya sebagai Dalang Setan. Ia juga dianggap sebagai pelopor perpaduan seni pedalangan dengan peralatan musik modern.
Salah satu produk budaya, wayang mengandung nilai-nilai simbolik-filosofis yang dapat dimanfaatkan untuk menyampaikan pendidikan moral kepada masyarakat. (Timbul Haryono, 2007). Wayang merupakan satu di antara identitas manusia Jawa dalam kehidupan masyarakat Jawa itu sendiri. Sampai saat ini wayang tetap menjadi ciri penting dalam kebudayaan Jawa. Dalam hal ini adalah wayang kulit yang sering disebut pula dengan wayang purwa.
Dalam buku klasik Mitologi dan Toleransi Orang Jawa karya Ben Anderson dijelaskan, bahwa wayang merupakan kaca benggala siapa sejatinya manusia berikut perilakunya. Kendati warisan kebudayaan klasik, lakon wayang (kulit) yang dibawakan sang dalang masih aktual dan cukup membantu menafsirkan fenomena negeri dewasa ini.
beritasatu.my.id (2/7/2021) melansir, Ki Manteb pernah pamer mendalang pertunjukan wayang kulit di Amerika Serikat, Jerman, Swiss, Jepang, Inggris, Thailand, Prancis, Suriname sampai Spanyol. Sepanjang kariernya, ia dianugerahi banyak penghargaan, termasuk UNESCO Awards 2004, penghargaan NIKKEI Asia Prize pada 2010 dari kategori Culture and Community, penghargaan budaya dari Union Internationale de la Marionnette (Unima) pada 2017. Berbagai penghargaan itu bukan untuk dirinya, melainkan untuk seni wayang kulit. Itulah teladan kerendahan hati dari sosok Ki Manteb.
Bergumul dengan wayang, itulah jalan hidupnya dan telah menjadi core bussines Ki Manteb hingga akhir hayatnya. Karena konsistensi dan kontinyuitasnya merawat budaya luhur inilah, maka pada tahun 2004 Ia memecahkan rekor Muri mendalang selama 24 jam 28 menit tanpa istirahat.
Berkat profesi mendalangnya, Ia dianugerahi gelar kehormatan sebagai abdi dalem anon-anon dari Sri Susuhunan Pakubuwono XII dengan nama KRT Lebdadipuro. Penghargaan lainnya, salah satunya adalah Anugerah Satya Lencana Kebudayaan dari Presiden Suharto pada tahun 1995.
Apa yang telah ditorehkan Ki Manteb Soedarsono bagi bangsa ini telah secara nyata cukup memberikan edukasi dan hiburan menarik bagi segenap elemen masyarakat, tak terkecuali para kaum muda, generasi milenial. Ki Manteb selalu mendaraskan gugusan kebajikan melawan angkara murka. Acap dia tebarkan pesan moral bagi anak muda untuk selalu eling lan ngelingake (ingat dan mengingatkan), khususnya protokol kesehatan terkait dengan upaya besar bangsa ini memerangi pandemi Covid-19. Bahkan juga kerap menyisipkan ajaran untuk mencintai negerinya sendiri, nilai kebangsaan yang ber-Pancasila tanpa harus berteriak dan memaki. Petuah melestarikan lingkungan, merawat spirit kebhinnekaan pun tak lupa disematkan.
Penjaga Budaya
Jalan musyawarah dan kedamaian secara cakap diusung dalam setiap pakeliran, sehingga menjadi generasi muda itu tidak gampang, karena banyak godaan dan tantangan. Pintar saja tidak cukup bagi kaum muda. Maka, sopan, santun, tata karma dan atau unggah-ungguh tetap penting dikedepankan. Menghormati orang tua dan guru menjadi relevan di tengah kurusnya nilai-nilai selama ini. Kritik yang santun, kritik yang konstruktif menjadi nalar publik yang selalu kita tunggu. Karena kalau cerdas menggerutu dan mencaci apalagi iri hanya menunjukkan tanda tak mampu.
Jika peran wayang sosok Semar banyak disampaikan dengan wejangan tentang kesalehan, tugas Togog lebih berat karena wejangan tentang nilai kebajikan sulit untuk diterima para ksatria asuhannya, apalagi untuk dilaksanakan. Namun sosok Togog tak berkecil hati, putus asa atau berhenti dan merasa lelah untuk selalu menasehati, membimbing dan memotivasi asuhannya ke jalan yang lurus, jalan kabecikan. Sampai-sampai Togog mulutnya bertambah ndower. Togog menjadi relevan dalam konteks ini sebagai pejuang dan penasihat kebenaran yang penuh cinta, setia, tekun dan tak pernah mundur untuk menyampaikan pesan kesalehan. Begitu juga dengan laku Sang Manteb selama ini yang selalu mengibarkan bendera kebaikan, gotong royong dan tepaslira.
Satu hal lagi, dari maestro Ki Manteb kita mendapatkan banyak pelajaran untuk tidak pernah meninggalkan apalagi menghujat budaya sendiri, termasuk budaya wayang kulit. Berkepribadian dalam kebudayaan, seperti ajaran Presiden Soekarno kala itu dalam Trisaktinya. Sebagai kaum milenial bukan pada tempatnya jika hanya bisa mengolok-olok tanpa pernah memberikan jalan keluar (solusi) atas problematik bangsa. Lewat dunia seni wayang inilah, kita bisa belajar dan mengajar merawat republik ini.
Itulah kemudian, profesi dalang dengan segala kecintaannya kepada wayang bukanlah profesi kampungan. Dalang milenial, kenapa tidak? Ki Manteb telah membuktikan, profesi itu sekarang bukan lagi dipandang sebelah mata. Jangan sampai anak muda hanya kenal dan ingat pada foto dan pose artis-artis, dan tidak tahu dan lupa pada nama-nama para dalang yang telah mendahuluinya, apalagi kepada para pahlawannya.
Apresiasi kita pada kampus seni, sanggar, komunitas dan kelompok budaya, lembaga penyiaran hingga media masa offline dan online yang bersetia unjuk budaya dalam setiap sajian programnya. Sudah menjadi tugas kita bersama dan telah tiba masanya bagi kita untuk konsisten melestarikan dan menjaga budaya, sehingga tidak teralienasi. Mengenang Ki Manteb, merayakan budaya. Selamat jalan suhu, selamat jalan Sang Dalang, Sang Penjaga Budaya, Duta Bangsa. *
Marjono
Kasubag Materi Naskah Pimpinan Pemprov Jateng