Hadiah Lebaran: Alpokat dan Ketulusan Hati
SEAKAN telah membudaya, terkait dengan hari raya idul fitri, banyak orang berkirim parsel sebagai hadiah. Tentu, demi kebahagiaan, baik bagi pemberi maupun penerimanya. Dalam niatan ibadah, kamipun, selalu berupaya untuk membudayakan hadiah lebaran. Sejujurnya, bahwa pemberian kepada orang lain, seakan belum sepadan dengan kiriman yang kami terima. Artinya, kami malu. Mestinya, apa yang kami berikan, dalam kuantitas dan kualitas lebih baik daripada apa yang kami terima. Rasa malu itu seakan selalu mentertawakan atau mengejekku.
Kini, hadiah lebaran itu, terasa istimewa. Terwujud alpokat. Langsung dari Allah SWT. Bagaimana ceritanya?. Pohon alpokat di halaman belakang, telah berbuah. Buahnya besar-besar. Sebagian sudah layak dipanen. Dapat dipetik dalam jangkauan tangan. Sungguh, indah dipandang mata. Enak, gurih banget rasanya.
Suasana surgawi sedemikian terasakan, ketika burung gelatik bersangkar di atas pohon. Di pagi hari, mereka bersiul dan menari-nari. Kuncing-kucing piaraan, suka tidur nyenyak di bawah pohon rindang itu. Beberapa meter jaraknya, ikan-ikan lele di kolam, telah membesar. Ada yang panjangnya hampir setengah meter. Bukankah ini semua surga dunia?! Sungguh, … inilah suasana surga duniawi.
Firman Allah SWT: “Sesungguhnya orang-orang yang bertakwa itu berada dalam surga (taman-taman) dan (di dekat) mata air-mata air (yang mengalir). (Dikatakan kepada mereka): “Masuklah ke dalamnya dengan sejahtera lagi aman”. “Dan Kami lenyapkan segala rasa dendam yang berada dalam hati mereka, sedang mereka merasa bersaudara duduk berhadap-hadapan di atas dipan-dipan. Mereka tidak merasa lelah di dalamnya, dan mereka sekali-kali tidak akan dikeluarkan dari surga”. (QS. al-Hijr: 45 – 48).
Nyata adanya. Dengan rahmat-Nya, hajat rohaniah dan jasmiah, terpenuhi. Kebersatuan dengan makhluk lain, dan ketersambungan dengan-Nya, mengalir dalam suasana tenang, tenteram, damai. Terbukti pula, bahwa bersyukur atas nikmat-Nya, dapat melipat-gandakan hadirnya nikmat-nimat lainnya.
Layak diingat, bahwa dalam perspektif kesemestaan, dikenal istilah “kelestarian lingkungan”. Di dalamnya terkandung makna perihal persahabatan manusia dengan alam. Ajaran ini, sudah ada, sejak Adam dan Hawa masih di surga. Keduanya, boleh hidup bersenang-senang, menikmati kebahagiaan. Asal: jangan sekali-kali, kalian dekati pohon ini. Allah SWT berfirman: “Dan berkata Kami: Wahai Adam! Tinggallah engkau dan istrimu di dalam surga ini, dan makanlah berdua daripadanya dengan senang, sesuka-sukamu berdua, dan janganlah kamu mendekat ke pohon ini, karena (kalau mendekat) akan jadilah kamu berdua dari orang-orang yang aniaya. (QS al-Baqarah: 35).
Begitulah. Pohon, burung, air, ikan, kucing, dan lain-lain, merupakan simbol keberadaan lingkungan fisik dan keanekaragaman hayati. Semua makhluk memiliki hak hidup. Semuanya butuh ketenangan dan kedamaian. Semuanya dicipta-Nya untuk manusia.
Itulah maka, interaksi antara manusia dengan alam semesta, mesti dalam bingkai persahabatan. Makhluk lain, jangan diganggu, apalagi dirusak. Merusak alam semesta, setali tiga uang, dengan berbuat aniaya terhadap diri sendiri, sekaligus merusak tata kehidupan bersama.
Dalam perspektif moralitas, Richard A.McCormick (1981: 405) mengajarkan bahwa kehidupan bersama dan bersahabat, merupakan conditio sine quanon (syarat mutlak) bagi terwujudnya pengembangan potensi, aspirasi, dan mimpi-mimpi indah. Penghormatan, perlindungan, serta perhatian terhadap hak masing-masing makhluk, merupakan hak asasi kehidupan.
Lebih dalam lagi M. Quraish Shihab (1994) mengingatkan, demi keberlanjutan tata kehidupan bersama, maka dalam rentang hari ini dan hari esok, biarkanlah semua bunga mekar. Biarkan lebah mengisap sarinya. Tataplah keindahannya. Hiruplah aroma wanginya. Jangan dipetik, kecuali digunakan secara wajar. Selebihnya, rawatlah agar saatnya bunga menjadi buah. Makanlah buahnya, untuk tambahan nutrisi dan kesehatanmu. Tapi ingat, sisakan buah terbaik untuk benih. Itulah akhlak atau moralitas kehidupan bersama.
Semakin lengkap, ketika leyeh-leyeh di teras, terdengar alunan lagu Koes Plus. “Nusantara…Nusantara…Inilah surga di dunia”. Begitulah Koes Plus menyanjung negeri ini. Sungguh elok. Sanjungan bernuansa syukur ke hadirat Ilahi, atas kasih-sayang-Nya kepada bangsa. Sanjungan sebagai peringatan, agar keelokannya terus dijaga, supaya rahmat-Nya ternikmati bagi seluruh makhluk ciptaan-Nya, sepajang masa.
Layak diingat. Pada tahun 1980-an, kondisi negeri ini masih subur-makmur, gemah-ripah loh jinawi. Apakah sekarang masih seperti itu? Yok Koeswoyo - personil Koes Plus - bilang, itu masa lalu. Sekarang, tidak ada lagi kolam susu, melainkan kolam lumpur. Kail dan jala tidak lagi menghidupi. Telah lama dianggurkan (dipensiun). Mengapa? Karena, danaunya kering. Sungainya tercemar. Ikan di laut banyak dicuri bangsa lain.
Perubahan kondisi seperti itu, layak dimaknai sebagai pertanda, kita lalai bersyukur. Lalai merawatnya. Terlihat, sebagian dari kita, justru sering serakah. Mereka mengambil sebanyak-banyaknya, tanpa disertai konservasi. Apa yang dipikirkan, hanya demi kebutuhan jangka pendek. Masa bodoh dengan kehidupan generasi penerus. Adakah sikap demikian disadari, dan telah disesali?
Dinyatakan oleh Francis Fukuyama (2002: 104), disrupsi (kekacauan) kehidupan bersama, terjadi antara lain sebagai akibat dari ingsutan kultural yang luas, yang memasukkan kemerosotan agama, dan meningkatnya swakepuasan individualistik, di atas kewajiban komunal.
Lantas, apa kaitan antara hadiah lebaran, cerita alpokat, dengan disrupsi? Sebagaimana dapat dilihat, alpokat itu halus kulitnya, lembut dagingnya, enak rasanya, banyak gizinya. Sederhananya, alpokat merupakan simbol ketulusan hati. Kehalusan di luar, berlanjut kelembutan di dalam. Keberadaannya bermanfaat bagi makhluk lain (manusia).
Hemat kami, perihal ketulusan hati, senantiasa relevan dibicarakan pada berbagai kesempatan. Ketulusan hati adalah konsistensi antara: isi hati, ucapan, dan perilaku, keseluruhannya hanya demi rahmat dan ridha Allah SWT. Bukankah telah dipahami bahwa hati (kalbu) merupakan organ rohaniah, memiliki fungsi sentral dan strategis bagi kehidupan manusia?!. Hati (kalbu) merupakan instrumen penting dan memiliki sensitivitas tinggi untuk pembedaan nilai sebuah amalan.
Diajarkan oleh para agamawan, bahwa hati (kalbu) itu identik raja, sedangkan organ tubuh lainnya, seolah prajuritnya. Jika rajanya baik dalam kepemimpinannya, maka prajuritnya akan baik pula dalam menjalankan tugas-tugasnya. Begitupun sebaliknya. Jika rajanya buruk, sesat, dzalim dalam kepemimpinannya, maka prajuritnya pun akan kacau dan buruk dalam pelaksanaan tugas-tugasnya. Akankah terwujud keharmonisan ataukah disrupsi kehidupan bersama, pengaruh ketulusan hati pemimpin, sangat signifikan. Rasulullah SAW bersabda, “Ketahuilah, sesungguhnya di dalam tubuh manusia terdapat segumpal daging. Jika ia baik, seluruh tubuh baik. Jika ia rusak, seluruh tubuh juga rusak. Ketahuilah (segumpal daging) itu ialah hati (kalbu)….” (H.R. Muslim).
Dari Umar, bahwa Rasulullah SAW bersabda: "Semua perbuatan tergantung niatnya, dan (balasan) bagi tiap-tiap orang (tergantung) apa yang diniatkan; barang siapa niat hijrahnya karena Allah dan Rasul-Nya, maka hijrahnya adalah kepada Allah dan Rasul-Nya. Barang siapa niat hijrahnya karena dunia yang ingin digapainya atau karena seorang perempuan yang ingin dinikahinya, maka hijrahnya adalah kepada apa dia diniatkan." (HR. Bukhari No. 54).
Petunjuk spiritual-religius di atas semakin memperteguh keyakinan, bahwa ketulusan hati dalam setiap amalan, amatlah penting, dan menjadi titik tolak keberlanjutannya. Artinya, tingkat ketulusan hati, sangat menentukan kadar kualitas amalannya, maupun besar-kecilnya rahmat dan tingkat keridhaan Allah SWT. Sebaliknya, jika sesuatu hanya diniatkan untuk perkara dunia (tidak tulus hati), maka perolehannya, maksimal sebatas apa yang diniatkannya. Itulah kehidupan sekuler. Baginya, tak tersedia pahala akhirat.
Allah SWT berfirman:“Barang siapa yang menghendaki kehidupan dunia dan perhiasannya, niscaya Kami berikan kepada mereka balasan pekerjaan mereka di dunia dengan sempurna dan mereka di dunia itu tidak akan dirugikan. Itulah orang-orang yang tidak memperoleh di akhirat, kecuali neraka dan lenyaplah di akhirat itu apa yang telah mereka usahakan di dunia dan sia-sialah apa yang telah mereka kerjakan” (Q.S. Hud: 15-16).
Disrupsi kehidupan bersama, dapatlah diidentikkan dengan kelangkaan buah alpokat, dan semakin melimpahnya buah kedondong. Buah kedondong, walaupun kulit (luarnya) halus, tetapi dalamnya berduri. Hati berduri adalah simbol ketidaktulusan niat dan perbuatan, alias munafik.
Dalam hipotesis Francis Fukuyama (2002: 6-7), kemunafikan, keserakahan, hingga putusnya ikatan-ikatan sosial (tali silaturahmi), sangat terkait dengan transisi era industri ke era informasi. Hubungan antara manusia, antarbangsa, bahkan jalinan dengan alam semesta, hingga ke Sang Pencipta, bersifat sangat teknologis, ekonomis, dan kultural belaka. Nilai-nilai moral-religius, kepatutan, keharmonisan, semakin tercampakkan.
Setelah direnung dalam-dalam, dapat diyakini, hadiah lebaran berupa alpokat, pasti bukan kebetulan, melainkan sarat dengan pesan moral, sekaligus peringatan tentang pentingnya ketulusan hati. Makna idul fitri, sebagai kembali ke fitrah yang fitri (suci), mestinya tak berbeda dengan kesucian rohani. Dari ketulusan hati itulah seluruh pemikiran, sikap, dan perilaku, berlanjut kepada amalan-amalan berskala sosial-kebangsaan, dunia-akhirat. Semoga demikian. Wallahu’alam. ***
Prof. Dr. Sudjito Atmoredjo, S.H., M.Si.
Guru besar Ilmu Hukum UGM