Kampus Murung, Menwa Terkurung

Kampus Murung, Menwa Terkurung

KAMPUS itu rumah intelektual bagi mahasiswa, dosen dan civitasnya. Sayangnya, kampus ini tetiba menggelegar di jagat virtual bukan karena unjuk prestasinya, tapi lebih pada perilaku salah satu unit kegiatan mahasiswanya melakukan penodaan, menciderai apa yang selama ini digembar-gemborkan di kuliah umum, seminar, workshop, FGD, dan sebagainya menyangkut kampanye negasi kekerasan, apapun itu modelnya.

Ruang besar bernama kampus yang semula gegap gempita, mahasiswa bersuka cita menimba ilmu pengetahuan, ketrampilan dan beragam nilai sikap, seolah dibuat surprise dengan berita tentang tindak kekerasan di tubuh resimen mahasiswa (Menwa). Peristiwa yang kita sayangkan kala digelar diklatsar Menwa di salah satu kampus kenamaan di pinggiran Bengawan mengakibatkan meninggalnya mahasiswa D4 Program Studi Kesehatan dan Keselamatan Kerja Sekolah Vokasi UNS, pada Minggu (24/10/2021).

Pemerintah dan regulasi manapun tak pernah merestui diklatsar Menwa dilakukan dengan pernak-pernik kekerasan. Karena praktik kotor ini jelas bertentangan dengan nurani, kemanusiaan dan hukum kita.  Selain korupsi, soal plagiarisme, kebijakan UKT yang belum fairness atau jual beli jabatan maupun perilaku civitas akademika yang membuat wajah bopeng kampus masih saja melata jika tak bisa dikatakan zero. Kita tengok bersama, deretan kasus kekerasan di kampus yang berujung maut. Ospek IPDN 2013, Diklatsar Menwa Universitas Atmajaya, Jakarta, pada Oktober tahun 2015, Diklatsar Mapala UII 2017, Diklat Silat UIN Malang (Maret, 2021), Diksar Mapala IAIN Bone (Maret 2021) dan Diklat Menwa UMS, April 2021, dll.

Rapuhnya integritas seseorang ikut andil atas peristiwa rentannya korps. Barangkali ada yang berprinsip, diksar dengan segenap “balas dendam,” dan, ketika para anggota Menwa terjebak dalam pemikiran senioritas, maka hati, otak dan aksinya hanya satu, yakni merasa paling tinggi, paling benar dan terbaik. Padahal untuk mencapai garis itu, tak sedikit norma dan aturan ditabrak hanya untuk memuaskan hasrat berlebih karena terlampau lama narsis atas posisi ordinatnya.

Kemudian, bergelimang hasrat “mengerjai” menjadi bagian orientasi utama mereka yang tega dan lugas melakukan pengingkaran organisasi. Semua disulap dan disuap dengan pembenaran. Senioritas segala-galanya, ia telah menjadi berhala baru baginya. Kurusnya hati dan kusutnya jiwa sosial kemanusiaan telah memperbudak dirinya menjadi budak nafsu diklatsar. Mereka tak segan-segan melakukan aksi kekerasan berdalih menjaga disiplin dan penghargaan pada tetua alias senior. Acap mereka yang devian ini sudah tak lagi menghargai atau menghormati itu nama besar, keluarga atau korps. Kehormatan itu sudah tak penting lagi, dan arogansi menjadi magnet daya hidupnya. Inilah menwa yang keblinger. Tipikal ini bahkan tak berat hati kala menjual harga dirinya.

Apa yang diungkap di atas sungguh membuat kita ngelus dada. Karena, bagi Menwa sesungguhnya telah mengingkari nilai pengukuhan, pelanggaran pakta integritas maupun penindasan atas nilai bersama yang kita anut. Agama apapun tak pernah kompromi dengan memunggungi korps. Mereka bekerja bukan lagi bertumpu pada penghormatan dan penghargaan tapi lebih pada pelampiasan.

Kondisi tersebut jika tak ditanggulangi akan berdampak buruk, yakni terjadi akutnya pelacuran korps. Pada step seperti itu begitu rentan atas runtuhnya kepercayaan masyarakat dan para junior atas urgensi dan strategisnya korps tersebut. Keterpurukan ini jika pun terlampau dirawat oleh Menwa, bukan tak mungkin akan mempercepat lonceng kematian bagi korps, karena masyarakat sudah telanjur tak percaya dan berpaling pada UKM yang masih punya komitmen, kompetensi dan dedikasi.

Sekali lancung ke ujian, (mungkin) semur hidup orang tak bakal percaya. Oyot yo oyot, begitu orang Jawa bilang. Sekali melakukan kekerasan, dua tiga kekerasan lagi, maka dia akan dilabeli tukang pukul, bahkan dalam konteks meninggalnya Gilang, para mahasiswa UNS berteriak Menwa pembunuh atau algojo dan minta rektorat membubarkan UKM yang tersandung perkara hukum itu. Demikian juga personal-personal yang menyalahgunakan kewenangan atas korps-nya dan terbukti, maka tidak mudah baginya untuk membalik branded hitam yang keburu melekat di sekujur korps.

Ganti Wajah

Analog konkret, ketika tak sedikit mahasiswa terpapar narkoba, maka para dosen maupun pembina berteriak menyoal si anak yang bandel, turunan dan lingkungannya yang salah. Tak pernah rasanya korps satu ini secara ksatria mengakui ketidaksempurnaan dan kegagalannya dalam mencetak potret diklatsar yang hanya berkisah muram. Bisa dibayangkan, manakala orang-orang yang tega mengingkari korps-nya bukan tak mungkin korps besarnya terabai dan kalaupun nampak merawat korps-nya, tak lebih dari sekadar topeng belaka. Kenapa? Karena basis mental, mindset-nya hanya ego, balas dendam dan pelampiasan kekerasan. Segala gerutu, dan keluh kesah Menwa baru atau junior, sesungguhnya sejak itu akan memunculkan kelas-kelas sosial baru di Korps Menwa yang tentunya akan berdampak pada partisipasi yang beragam pula dalam UKM Menwa.

Dilansir BBCNI (28/10/2021), pengamat pendidikan, Doni Koesoema, menyebut kekerasan dalam kegiatan Menwa merupakan persoalan "laten" karena berulang kali terjadi. Itulah kemudian, paska pergi untuk selamanya, muncul ultimatum pembubaran Menwa yang menjelma dalam aksi 100 lilin oleh mahasiswa UNS (26/10). “Kita semua di sini adalah manusia yang menghargai nyawa orang lain,” kata seorang peserta aksi bernama Pius kepada Solopos. Mahasiswa juga menyerukan hal sama di situs change.org lewat petisi berjudul “Bubarkan Resimen Mahasiswa (Menwa) UNS”. Dibuat oleh Front Mahasiswa Nasional UNS, petisi tersebut sudah ditandatangani oleh sekira 14 ribu orang.

Bahkan Tempo (11/6/2000) pernah mengangkat tulisan, “Menwa ganti wajah saja.” Kini martir itu di tangan Rektor dan Mendikbud-Ristekdikti. Hemat penulis, wadah Menwa tak pernah bermasalah, yang menjadi masalah itu perilaku orang-orang di dalamnya. Maka kemudian, wadah itu penting, tapi aktor dan spirit di dalamnya harus terus bergerak, berubah jadi lebih baik, nirkekerasan. Ini akan menjadi bagian cara kita menjaga marwah Menwa. *

Marjono

ASN; Penulis buku; Eksponen Menwa