Chapter Jogja Art Fair Menyatukan Pasar, Akademisi dan Teknologi
Ekosistem seni rupa tak bisa lagi berdiri sendiri-sendiri. Seni itu tidak bisa dipisahkan dari perkembangan teknologi dan pendidikan.
KORANBERNAS.ID, SLEMAN -- Setelah 17 tahun berlalu sejak Jogja Art Fair (JAF) pertama kali digelar, Yogyakarta kembali mengukir sejarah dengan Chapter Jogja Art Fair 2025, sebuah unique art fair yang bukan hanya merevitalisasi semangat JAF, namun juga menandai babak baru dalam ekosistem seni rupa Indonesia.
Lebih dari sekadar pameran, inisiatif ini menjadi ruang temu strategis yang menyatukan seniman, akademisi, galeri dan publik, sembari menjembatani ketimpangan antara praktik seni dan apresiasi pasar.
Diselenggarakan atas kolaborasi antara Chapter Jogja dan Gelanggang Inovasi dan Kreativitas (GIK) UGM, pameran ini akan berlangsung 20-29 Juni 2025, bertepatan dengan pembukaan ARTJOG di Jogja National Museum. Ajang ini menjadi bagian dari rangkaian besar Jogja Art Weeks atau yang dikenal sebagai “Lebaran Seni Rupa”.
“Chapter dimaknai sebagai babak. Dalam konteks ini, Jogja bukan hanya latar tempat, tapi menjadi narasi itu sendiri, kota dengan jejak kultural panjang yang membentuk ekosistem seni progresif di Indonesia,” ujar Ignatia Nilu, Direktur Artistik Chapter Jogja Art Fair saat konferensi pers, Senin (16/6/2025).
Dinamika seni
Dia menegaskan inisiatif ini bukanlah replikasi masa lalu, tetapi kelanjutan visi menuju platform seni yang kolaboratif, inklusif, dan kontekstual terhadap dinamika seni hari ini.
Kembali ke akarnya, Chapter Jogja terinspirasi dari Jogja Art Fair 2008 yang dulunya berfokus pada artist art fair sebagai strategi distribusi karya.
Pada 2010, JAF kemudian bertransformasi menjadi ARTJOG, festival seni kontemporer bertaraf internasional yang lebih menekankan pada presentasi konseptual dan artistik.
Kini, Chapter Jogja menjawab kebutuhan baru yaitu menghubungkan ruang-ruang yang selama ini terfragmentasi, seperti akademisi, teknologi, komunitas, pasar dan publik.
Berdiri sendiri
Adji Wartono selaku Head Of Experience Program GIK UGM menambahkan, ekosistem seni rupa tak bisa lagi berdiri sendiri-sendiri. Seni itu tidak bisa dipisahkan dari perkembangan teknologi dan pendidikan.
"Melalui Chapter Jogja kami memberikan ruang di mana kolaborasi lintas disiplin bisa tumbuh antara seniman, akademisi dan masyarakat. Bahkan kalau pun ada jual beli karya, itu bukan hanya soal transaksi, tapi soal jualan ide, program dan nilai,” ujarnya.
Adji menyatakan pentingnya seni sebagai jembatan antar sektor, bukan sekadar simbol ekspresi. “Kita tidak menghadapkan seni pada teknologi, tapi menyatukannya. Seniman kini juga pengguna teknologi, bahkan kreator teknologi itu sendiri," tambahnya.
Edisi perdana Chapter Jogja X GIK UGM menampilkan tujuh eksibitor dari berbagai kota dengan latar praktik berbeda yakni Komunitas Seni Sakato (Yogyakarta), Sanggar Dewata Indonesia (Yogyakarta), Ruang MES 56 (Yogyakarta), Nadi Gallery (Jakarta), ArtSociates (Bandung), Nonfrasa Gallery (Ubud, Bali) dan UOB Painting of The Year Art Gallery.
Seni kontemporer
Turut hadir Studio Arte, studio konservasi seni yang memberikan edukasi konservasi terhadap lukisan, foto, hingga karya tiga dimensi.
Chapter Jogja juga menyuguhkan program Community Talks, yang melibatkan para kolektif seperti Sakato, SDI, dan MES 56. Diskusi ini menggali semangat kolektivitas dan peran komunitas dalam mendorong dinamika seni kontemporer di Indonesia.
Menurut Heri Pemad selaku Founder & Fair Director Chapter Jogja, tantangan terbesar saat ini adalah bagaimana menjembatani ribuan seniman di Yogyakarta, dari pelajar hingga maestro, dengan sistem apresiasi yang berkelanjutan.
“Chapter Jogja bukan untuk menggantikan yang sudah ada, tapi untuk memperkuat yang belum sempat terstruktur. Ini adalah babak awal dari upaya membangun ekosistem seni yang berkelanjutan, sehat, dan terhubung secara lebih luas,” jelas Pemad.
Tonggak sejarah
Menurut dia, Kota Yogyakarta memang dikenal sebagai rumah bagi ribuan seniman dan telah membentuk tonggak penting sejarah seni rupa sejak era ASRI pada 1950-an. Namun realitanya, banyak seniman yang masih kesulitan mengakses pasar seni secara adil dan berkelanjutan.
Chapter Jogja menutup celah tersebut dengan memadukan kekuatan komunitas, profesionalisme galeri dan pendekatan akademis. Event ini tidak hanya memamerkan karya, tetapi juga menawarkan refleksi mendalam tentang keberlanjutan praktik seni di tengah perubahan sosial dan teknologi. (*)