Tanggal Terbit Edisi Pertama Suara Muhammadiyah Diusulkan Menjadi Hari Pers Muhammadiyah

Ditemukan pada 13 Agustus 1915 sebagai waktu terbitan pertama.

Tanggal Terbit Edisi Pertama Suara Muhammadiyah Diusulkan Menjadi Hari Pers Muhammadiyah
Muchlas MT (kanan) bersama Haedar Nashir. (muhammad zukhronnee muslim/koranbernas.id)

KORANBERNAS.ID, YOGYAKARTA – Persyarikatan Muhammadiyah mengusulkan tanggal 13 Agustus sebagai Hari Pers Muhammadiyah. Usulan ini guna merawat ingatan tentang lahirnya Majalah Suara Muhammadiyah beserta peran-peran kebangsaannya.

"Pemilihan waktu tersebut merujuk pada terbitan Suara Muhammadiyah edisi pertama 13 Agustus 1915,'' kata Muchlas MT, Ketua Majelis Pustaka dan Informasi (MPI) PP Muhammadiyah, Rabu (23/8/2023), di Suara Muhammadiyah (SM) Tower and Convention Kota Yogyakarta.

Meski belum ditemukan secara fisik terbitan pertama Suara Muhammadiyah, namun kata Muchlas, setelah melakukan penelitian dengan ketat ditemukan pada 13 Agustus 1915 tersebut sebagai waktu terbitan pertama.

Pada abad pertama, Suara Muhammadiyah menjadi media yang populer di kalangan warga Persyarikatan. Tantangan muncul pada abad kedua ini, di tengah berbagai tantangan termasuk digitalisasi harus dijawab dengan elegan oleh SM dan manajerial yang taktis, supaya tidak tergilas roda peradaban.

ARTIKEL LAINNYA: Gebyar Gunungkidul Digelar Nonstop Siang-Malam, Ketua DPRD DIY Nuryadi Beri Atensi

Dia berharap melalui agenda ini media-media di lingkungan Persyarikatan Muhammadiyah lebih profesional dan kompetitif. Lebih-lebih Muhammadiyah memiliki media tertua di Indonesia yaitu Suara Muhammadiyah.

“Kami akan mengusulkan untuk berkenan kiranya menetapkan pada 13 Agustus sebagai Hari Pers Muhammadiyah,” harapnya.

Selain itu, MPI PP Muhammadiyah juga akan diusulkan menjadi warisan budaya benda dan tak benda. Dokumen terbitan SM edisi kedua yang tersimpan di Leiden akan didaftarkan sebagai warisan benda, dan muatan atau konten-kontennya diusulkan sebagai warisan budaya tak benda.

“Ada dua yang kami usulkan yaitu peringatan Hari Pers Muhammadiyah yang bukan hari pers tandingan dari hari pers nasional. Dan usulan SM sebagai warisan budaya,” sambungnya.

ARTIKEL LAINNYA: Jadi Warisan Budaya, Kundha Kabudayaan DIY Gelar Lomba Gobak Sodor

Ketua Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah, Dadang Kahmad, menyampaikan lahirnya Suara Muhammadiyah 108 tahun lalu tidak bisa dilepaskan dari konteks yang melingkupinya waktu itu.

Konteks yang terjadi saat itu adalah tingginya masyarakat yang buta huruf. Muhammadiyah merespons fenomena sekelilingnya selain mendirikan rumah sakit, sekolah, panti asuhan, juga dengan mendirikan Suara Muhammadiyah.

"Lahirnya Suara Muhammadiyah sebagai aktualisasi dari perintah membaca," tambahnya.

Mendapat usulan untuk menyetujui Hari Pers Muhammadiyah dan Suara Muhammadiyah menjadi warisan budaya benda dan tak benda, Ketua Umum PP Muhammadiyah, Haedar Nashir, menyampaikan untuk menunggu hasil sidang pleno PP Muhammadiyah.

ARTIKEL LAINNYA: Kemegahan Gaung Gamelan Awali Internasional Yogyakarta Gamelan Festival ke-28

Namun demikian, dalam pandangan pribadinya Haedar mengapresiasi inisiasi tersebut. Bahkan dia menyarankan untuk menambahkan, selain hari pers juga sebagai hari literasi publik. Dia juga menekankan, Hari Pers Muhammadiyah bukan saingan Hari Pers Nasional.

Dalam konteks membangun bangsa, Muhammadiyah menghadirkan media Suara Muhammadiyah berlatar belakang pada rendahnya tradisi membaca di masyarakat Indonesia. Sebab tradisi lisan lebih kuat daripada tradisi tulisan, hal itu bukan hanya terjadi di Indonesia tetapi juga di berbagai negara.

“SM memegang peran penting, membangun tradisi baru selain sebagai media juga sebagai literasi,” kata Haedar.

Mengungkapkan tentang sejarah munculnya tradisi membaca di Indonesia, Haedar menjelaskan tradisi itu tidak bisa dilepaskan dari keberadaan lembaga pendidikan pesantren.

ARTIKEL LAINNYA: Perlu Didukung, Upaya Pelestarian Gerobak dan Sapi Jawa

Akan tetapi lebih cenderung hanya menguasai Bahasa Arab dan bahasa lokal. Namun untuk penguasaan Bahasa Latin hanya dikuasai elite yang mengenyam pendidikan sekolah Belanda.

Dalam sejarahnya, Organisasi Budi Utomo ikut menyebarluaskan Majalah Suara Muhammadiyah ke anggota-anggotanya. Antara Muhammadiyah dengan Budi Utomo memiliki arsiran tebal, karena tokoh-tokohnya juga saling kolaborasi. Bahkan Sutomo selain aktif di Budi Utomo juga tokoh Muhammadiyah.

“Jadi layak bahwa SM selain sebagai tonggak gerakan pers, namun juga membangun tradisi literasi. SM luar biasa perannya dalam mengenalkan Bahasa Indonesia,” jelasnya.

“Jadi layak SM kita usulkan dan kami instruksikan untuk menyiapkan bahan dan usulan kepada pemerintah untuk menjadikan SM sebagai warisan budaya benda dan non benda. Karena itu tadi membantu mengenalkan Bahasa Indonesia sebelum Sumpah Pemuda,” ungkap Haedar. 

ARTIKEL LAINNYA: Pergelaran Wayang Kulit Memberi Banyak Pelajaran bagi Masyarakat

Dari berbagai peran tersebut, menurut Haedar, SM  sangat layak menjadi tonggak sejarah kebangkitan nasional. Dia beralasan kegiatan keagamaan yang dilakukan oleh Muhammadiyah bukan hanya urusan primordial, tapi juga kebangsaan.

Pada kesempatan ini, Guru Besar Sosiologi ini menekankan tentang obyektifitas pemangku kebijakan dalam melihat sejarah. Keadilan itu tegak di atas semua golongan. Termasuk pengakuan terhadap Suara Muhammadiyah yang saat ini sudah menjadi bagian dari perjalanan sejarah bangsa Indonesia.

Menghadapi realitas baru era digital, Haedar berpesan supaya pers atau media bisa melakukan penyesuaian. Termasuk mengawal arah jalan negara, sebab pers bagian dari pilar demokrasi untuk melakukan kritik terhadap pemerintah secara obyektif, untuk meluruskan arah bangsa dan negara.

Dia menekankan supaya pers atau media jangan sampai hanya menjadi stempel penguasa. Melainkan harus menjadi motor penggerak kemajuan bangsa secara kritis dan obyektif.

ARTIKEL LAINNYA: Purnama di Kampung Sastra, Candi di Tepi Kolam

Menurutnya, pers dan media juga bertugas membangun tradisi literasi di masyarakat. Salah satunya mencerdaskan ekosistem media sosial, supaya tidak menjadi predator kebudayaan.

“Harus ada gerakan mencerdaskan ekosistem media sosial kita, dan itu bisa dimulai dari Muhammadiyah,” katanya. (*)