Menulis, Cara Lain Merawat Imun

Menulis, Cara Lain Merawat Imun

PUSARAN pandemi Covid-19 membawa kita untuk disiplin ber-5M (memakai masker, menjaga jarak, mencuci tangan dengan sabun dan air mengalir, menjauhi kerumunan, dan mengurangi mobilitas). Diakui atau tidak, ada satu lajur lain yang barangkali jarang dilalui orang saat bala menerjang, yaitu melakukan hal-hal positif dan salah satunya, yakni lewat aktivitas menulis.

Memang belum ada penelitian yang mengungkap soal kaitan menulis dengan imunitas seseorang apalagi di tengah pandemi seperti sekarang. Namun demikian, penulis optimis kalau menulis itu mampu meningkatkan imun untuk menghalau kenestapaan dari kepedihan pandemi dan bencana lainnya juga. Kala menulis tentu saja kita butuh balutan tubuh sehat dan dirangkai sehat jiwa dan mental yang sehat pula.

Dengan cara menulis pula, pandemi Covid-19 maupun bencana lainnya itu seolah lewat saja, karena kita tak hanya sibuk memikirkan sesuatu yang negatif bahkan tragis. Meski demikian, bukan berarti matahati kita menjadi kacamata kuda, bukan. Sekali lagi tidak seperti itu. Justru melalui menulis, pikiran, hati, dan emosional kita diajak tertata, teratur dan tenggang rasa. Sense of crisis bahkan bisa menjelma lewat lokomotif menulis.

Di dalam menulis pun kita tak bisa semena-mena, meskipun keliaran kreatif kita bermetamorfosa ke dalam gugusan aksara yang tak tanggal satu demi satu atas perkara makna. Pertanyaan menariknya adalah siapa panglima: makna kata atau tata kata. Itulah bagian yang menyenangkan dari episode hidup yang bernama menulis.

Bunga Lili

Menekuni dunia menulis itu joyfull, pkiran dan emosional kita bisa beranjak ke aras yang nyaman dan ruang yang begitu damai. Bagi orang yang memberi tempat terhormat bagi hobi menulis, sudah taka sing lagi. Dan bagi kawan-kawan yang masih menjadi manusia asing dengan kepenulisan, bisa saja belajar mencintai dengan segenggam semangat dan seonggok asa yang kita tebarkan ke dalam sekujur kita. Tak lebih.

Kita bisa memahami di pusaran pandemi Covid-19 dan bencana lainnya, seperti banjir, longsor, gempa bumi, angin dan erupsi gunung berapi, suka tak suka, diakui atau tidak, telah membawa emosi warga gampang tersengat. Sensitivitas mengental, tak pagi siang bahkan malam.

Itulah kemudian, lewat menulis harapannya kita bisa menuangkan ide, hingga solusi atas PR bangsa ataupun kemurungan negeri ini. Di sinilah menulis menjadi seksi, karena melaluinya kita bisa mengajak, mempersuasi, mengedukasi, memberdayakan masyarakat secara santun, arif dan tak menggurui. Jadi, menulis ibarat menanam bunga lili di tenda pengungsi atau membagi roti ke rumah isolasi.

Penting dalam menulis, kita sorongkan nilai-nilai yang menguatkan, menghibur dan menetramkan jiwa raga. Bukan sebaliknya, mengadu domba, provokasi, fitnah, hoaks ataupun menabur ujaran kebencian. Tapi sekali lagi, dengan menulis kita memenuhkan konten-konten positif bahkan mesti menjangkau pada domain produktif..

Menulis pula mampu membawa orang lain tersulut dan termotivasi untuk menjadi kontingen kebaikan, tim kesalehan bagi sesama. Lewat menulis pula kita bisa mengajak, merogoh rasa kemanusiaan yang menjulang tinggi, apalagi kala bangsa ini disekap pandemi dan bencana yang masih jauh dari kata selesai.

Sekali lagi, dengan menulis sekurangnya tubuh dan jiwa kita menjadi sadar dan siap menjaga diri dan lingkungan agar tak terjebak atas arus bencana yang datang dan pergi. Ruas menulis jugalah, kita bisa menangkap segala isu yang menjalar kemudian kita formulasikan ke dalam satu ritme yang bermakna dan lebih bernyawa bagi nasib dan masa depan.

Namun jangan terlena dengan menulis yang hanya menggadaikan harga diri dan bangsa. Jangan sampai menulis hal-hal yang kontraproduktif, melemahkan negara atau menjelekkan bangsa. Pendeknya, jangan keblinger dalam melampiaskan syahwat menulis hanya dengan reruntukan rupiah, terus kita melakukan hal-hal yang menyimpang dari nilai utama dan filosofi tinggi yang digenggam para leluhur bangsa.

Dunia Tahu Kita

Ada kalimat mulia, kita akan menjadi apa yang kita tuliskan. Kita akan menjadi atas apa yang kita pikirkan. Maka kemudian, ketika kita menulis kutup-kutup positif atau kebaikan, dengan demikian kita sekurangnya telah menjadi duta damai, agen ramah dan representasi sikap toleran tapi tetap kritis menyikapi lalulalang problematik. Menjadi penulis itu mesti menjadi sosok inklusif, terbuka atas segala opini, dan kritik orang lain.

Merekam jejak sebagian para ulama, mereka bisa menulis karena sejak nyantri sudah belajar menulis. Dimulai dari mencatat penjelasan gurunya. Mencorat-coret kitab yang sudah lusuh. Naik tingkat menulis maqolah untuk didiskusikan dengan kawannya dan naik tingkat lagi menulis pengetahuan yang sudah ada di kepala. Maka ketika tulisannya dipelajari santri yang lain, saat itulah sang santri diperhitungkan.

Pada relasi pandemi dan bencana kini, memang sudah banyak buku panduan maupun protap kesehatan. Bahkan maklumatnya pun sudah banyak yang diinstall di android kadang menjadi candaan di whatsapp group. Kemajuan seperti ini bukan berarti kita tidak perlu lagi menulis. Kita tetap harus menulis untuk bertukar gagasan dan pengalaman tentang berbagai hal mutakhir yang dihadapi saat ini. Sebab setiap zaman ada tantangan dan setiap waktu terdapat masalah yang perlu dijelaskan. Menulis itu dinamis, mengikuti dinamika zaman yang selalu berubah.

Menulis adalah bagian jalan lurus untuk mengabdi kepada bangsa. Menulis adalah cara mewariskan ilmu yang paling elegan. Menulis merupakan bagian tradisi literasi kita. Lewat membaca kita tahu dunia, dengan menulis dunia tahu kita. Lewat menulis pula, kita harus menjadi bagian solusi bukan bagian problema. Dengan menulis pula kita bisa menemukan surga. Surga mewadahi hobi, surga  untuk menjadi sosok totalitas. Kita bisa berkaca atas mereka yang total menekuni dunia menulis, sebut saja Agus Noor, Pramudya Ananta Toer, maupun para penulis yang berbasis pesantren, misalnya Habiburahman, dll.

Selain itu, melalui menulis kita berjuang membalik kemurungan menjadi keriangan. Transformasi sosiokultur. Sekali lagi, domain menulis inilah kita berusaha menjejaki ingatan, kenangan dan pemikiran bahkan pemenungan, seperti halnya cinta yang tak pernah sia-sia. Menulis itu ekplorasi, bermimpi dan aktualisasi. Menulis berkilaulah, bercahayalah. **

Marjono

Kasubag Materi Naskah Pimpinan Pemprov Jateng