Komisi Yudisial Jangan Mengecilkan Diri Sendiri

Komisi Yudisial ibarat anak yang tidak terlalu diinginkan.

Komisi Yudisial Jangan Mengecilkan Diri Sendiri
Sesi diskusi dan dialog dengan narasumber kegiatan Sinergisitas Komisi Yudisial dengan Media Massa di Yogyakarta, Sabtu (5/8/2023). (sholihul hadi/koranbernas.id)

KORANBERNAS.ID, YOGYAKARTA – Mantan Ketua Komisi Yudisial (KY), Suparman Marzuki, berpesan kepada jajaran pimpinan dan anggota KY periode saat ini untuk tidak mengecilkan diri bahkan mengecilkan peran lembaga yang tugasnya mengawasi hakim dan peradilan di Indonesia itu.

Pesan tersebut disampaikannya saat menjadi narasumber sekaligus memberikan urun rembug pada kegiatan Sinergisitas Komisi Yudisial dengan Media Massa di Yogyakarta.

Acara bertema Kolaborasi Komisi Yudisial dan Media Massa dalam Mewujudkan Peradilan Bersih yang berlangsung 4-6 Agustus 2023 itu dibuka Ketua Komisi Yudisial Prof Amzulian Rifai didampingi anggotanya Prof Mukti Fajar Nur Dewata.

“Di tengah merosotnya integritas hakim, Komisi Yudisial  jangan mengecilkan perannya. Jangan kecilkan diri sendiri,” kata Suparman Marzuki.

Penyerahan cenderamata kepada narasumber kegiatan Sinergisitas Komisi Yudisial dengan Media Massa di Yogyakarta. (sholihul hadi/koranbernas.id)

Menurut dia, KY merupakan institusi yang strategis dan besar sebab diberikan mandat mengawasi etik. “Komisi Yudisial ini kedudukannya setara dengan presiden dan lembaga negara yang lain. Anggota KY jangan mengecilkan diri. Maksimalkan peran Komisi Yudisial ini,” ujarnya.

Lebih lanjut, Ketua Komisi Yudisial sejak tahun 2013 yang menggantikan Eman Suparman ini menyampaikan KY semestinya juga berperan untuk menguatkan integritas hakim.

Pria kelahiran Lampung tahun 1961 yang juga dosen Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia (FH UII) Yogyakarta ini mengakui sekarang ini ini sulit mencari hakim yang memiliki integritas tidak tercela.

Bukan berarti tidak ada, lanjut dia, KY akhirnya berdamai dan sedikit menurunkan grade kompetensi hakim. “Pilihannya tidak banyak dan realitasnya seperti itu,” ungkapnya.

ARTIKEL LAINNYA: Mengawasi 9 Ribu Hakim, Komisi Yudisial Sangat Terbuka Terhadap Kritik

Setengah bercanda, Suparman yang saat ini menjadi tim reformasi hukum dan peradilan menyarankan KY jangan sebatas menjadi lembaga normal akan tetapi abnormal. Caranya adalah menguatkan dasar legal, peran aktual serta peran yang diharapkan.

Meski sumber daya manusia (SDM) terbatas, menurut Suparman, tidak perlu gelisah. Yang penting adalah kewibawaan, moral dan etik harus dibangun. Selain itu, juga berani tampil mengatakan sesuatu yang memiliki arti penting.

“Banyak peradilan yang irama dan caranya merusak peradilan. KY perlu mengambil posisi penting. Ambil peran ini ke depan,” saran dia.

Narasumber lainnya adalah Ketua Departemen Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada (UGM) serta Direktur Pusat Kajian Anti-Korupsi FH UGM, Zainal Arifin Mochtar.

ARTIKEL LAINNYA: LPS Mengakui, Sektor Keuangan Masih Dihantui Rendahnya Literasi dan Ketimpangan Akses

Dia juga memberikan dorongan kepada Komisi Yudisial untuk menguatkan peran-perannya. “Komisi Yudisial ibarat anak yang tidak terlalu diinginkan. Jika dibaca risalahnya, sebenarnya KY besar banget kiprah dan kewenangannya,” ujar Zainal yang juga peneliti Hukum Tata Negara Indonesia itu.

Terkait dengan pengangkatan hakim agung ke depan, Zainal membayangkan Komisi Yudisial menjadi semacam ruang direktori besar yang menyimpan rekam jejak asal muasal seluruh hakim.

“Untuk mengetahui rekam jejak seorang hakim KY bisa melihat dari direktori putusan, bisa diketahui kapan mulai mencong,” kata dia.

Menurut Zainal, supaya tetap bisa memiliki kemampuan berdiri gagah sebagai lembaga yang independen terhadap lembaga yang diawasi mau tidak mau KY harus berbenah diri.

“Problem di Komisi Yudisial seperti apa? Dinding  itu bertelinga, jangan dikira menyendiri di Senen kita tidak mengetahui,” ujarnya bercanda.

ARTIKEL LAINNYA: Sambut HUT ke-78 RI, Tujuh Pusat Perbelanjaan di Yogyakarta Gelar Festival Belanja

Juru Bicara (Jubir) KY, Miko Ginting, menyatakan semua yang disampaikan oleh para pembicara akan dijadikan catatan.

Sama-sama sebagai anak kandung yang lahir dari Reformasi, menurut dia, ketika memandang KY pakai kacamata KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi) bagaimana pun Komisi Yudisial bukanlah lembaga penegak hukum.

“Itu contoh saja. Lembaga etik tetapi dibayangkan sebagai lembaga penegak hukum. Dalam beberapa hal proses etik berbeda dengan penegakan hukum,” kata Miko.

Usai sesi dialog dan tanya jawab, ketiga narasumber sepakat pada dasarnya KY bukanlah rival. Memperkuat Komisi Yudisial sebetulnya juga memperkuat peradilan. Dengan begitu akan terbangun kepercayaan publik terhadap lembaga pengawas yang kredibel. (*)