Mengawasi 9 Ribu Hakim, Komisi Yudisial Sangat Terbuka Terhadap Kritik

Seleksi calon hakim agung sangat ketat dan berat.

Mengawasi 9 Ribu Hakim, Komisi Yudisial Sangat Terbuka Terhadap Kritik
Kegiatan Sinergisitas Komisi Yudisial dengan Media Massa di Yogyakarta. (sholihul hadi/koranbernas.id)

KORANBERNAS.ID, YOGYAKARTA – Komisi Yudisial atau KY tidak bisa bekerja sendirian. Lembaga yang dibentuk tahun 2005 yang saat ini berusia 18 tahun itu membutuhkan sinergisitas dengan semua pihak termasuk media massa.

“Komisi Yudisial perlu bersinergi karena kita memiliki keterbatasan. Tidak mungkin KY yang berfungsi sebagai pengawas eksternal jika tidak kuat secara internal,” ungkap Prof Amzulian Rifai, Ketua Komisi Yudisial, Jumat (4/8/2023) malam.

Selama tiga hari hingga 6 Agustus 2023 digelar kegiatan Sinergisitas Komisi Yudisial dengan Media Massa di Yogyakarta. Acara bertema Kolaborasi Komisi Yudisial dan Media Massa dalam Mewujudkan Peradilan Bersih kali ini juga dihadiri anggota KY di antaranya Prof Mukti Fajar Nur Dewata.

Menurut Prof Amzulian, sebagai lembaga yang memiliki tugas pokok dan fungsi (tupoksi) sebagaimana diatur di dalam Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial, pihaknya menyadari masih memiliki keterbatasan SDM (Sumber Daya Manusia).

ARTIKEL LAINNYA: Jangan Dicap Negatif, Stunting Tak Pandang Keluarga Kaya atau Miskin

Disebutkan, dengan SDM sekitar 300 orang lembaga tersebut bertugas mengawasi sembilan ribu hakim se-Indonesia sebagai bagian dari tugas besarnya memperkuat peradilan.

Keberadaan 20 kantor penghubung di daerah-daerah diharapkan bisa menjadi sarana untuk memperkuat sinergi tersebut. “Memang perlu upaya ekstra keras untuk mewujudkan ini,” ungkapnya.

Di tengah keterbatasan SDM dan kewenangannya, menurut pria kelahiran Muarakati 2 Desember 1964 ini, KY juga terus berupaya memperkuat advokasi.

Dia menyebutkan, ada beberapa hakim diintimidasi oleh aparat hukum lainnya meskipun bagi para hakim senior hal-hal seperti itu dianggap biasa saja.

ARTIKEL LAINNYA: Menanggulangi Kemiskinan, Baznas Launching Program Kampung Berkah

“KY turun tangan di situ. Kita sampaikan ke publik KY tidak boleh dianggap sebagai lawan yang mencari-cari kesalahan tetapi memberi advokasi hakim. KY juga melakukan pengawasan etik,” ujarnya didampingi Juru Bicara KY, Miko Ginting dan Jumain selaku Kepala Pusat Analisis dan Layanan Informasi.

Prof Mukti Fajar menambahkan, mengingat KY sebagai lembaga tinggi negara yang bertanggung jawab kepada publik maka semua yang dilakukan oleh lembaga ini harus diketahui oleh masyarakat.

Itu sebabnya KY sangat terbuka menerima kritik dan masukan dari semua kalangan termasuk media massa sebagai pilar keempat demokrasi, demi mewujudkan peradilan yang bersih dan berintegritas.

“Kita membuka diri terhadap masukan, kritik dan saran,” ujar pria kelahiran Yogyakarta 29 September 1968 ini seraya berharap informasi yang disampaikan media mampu memberikan nilai-nilai edukasi.

ARTIKEL LAINNYA: LPS Mengakui, Sektor Keuangan Masih Dihantui Rendahnya Literasi dan Ketimpangan Akses

Dalam kesempatan itu, Prof Amzulian Rifai maupun Prof Mukti Ali juga memberikan penjelasan mengenai tupoksi KY lainnya yaitu mengusulkan pengangkatan hakim agung dan hakim ad hoc di Mahkamah Agung kepada DPR untuk mendapatkan persetujuan.

Prof Amzulian menyatakan seleksi calon hakim agung sangat ketat dan berat. “Setelah lolos seleksi, hal yang berat lainnya ketika usulan itu dibawa ke DPR RI,” ucapnya seraya mencontohkan dari sembilan usulan yang lolos hanya tiga.

Keduanya mengakui, tidak banyak seleksi jabatan sedetail itu. Tim seleksi KY turun langsung bertanya ke para tetangga di lokasi tempat tinggalnya bahkan sampai masuk rumah mengecek kondisi dapur, meja makan maupun kamar mandi calon hakim yang diseleksi.

Selain itu, Komisi Yudisial juga menggunakan informasi intelijen. Ini semua dimaksudkan untuk mencari sosok hakim yang berintegritas. (*)