Ketua DPRD DIY Nuryadi Angkat Bicara Soal Unggah-ungguh Jawa yang Semakin Hilang

Dulu, kita berjalan depan orang tua, kita ndhungkluk.

Ketua DPRD DIY Nuryadi Angkat Bicara Soal Unggah-ungguh Jawa yang Semakin Hilang
Ketua DPRD DIY Nuryadi (kanan) saat Sosialisasi Perda DIY Nomor 2 Tahun 2021 di Gunungkidul, Sabtu (19/8/2023). (istimewa)

KORANBERNAS.ID, GUNUNGKIDUL – Ketua DPRD DIY, Nuryadi, merasa prihatin akhir-akhir ini unggah-ungguh atau tata krama Jawa terasa semakin hilang di dalam kehidupan masyarakat. Ini terjadi akibat terkikis oleh perkembangan zaman.

Merespons kondisi tersebut Nuryadi lantas angkat bicara mengenai pentingnya budaya Jawa dihidupkan lagi supaya merasuk sampai pada tataran sosial masyarakat sehari-hari.

“Zaman kita, dengan Bapak masih basa krama inggil, sekarang tidak karena komunikasi antara keluarga seperti dibatasi. Apakah keluarga kalau malam kumpul? Kumpul tapi saling asyik dengan hape,” ungkapnya di sela-sela Sosialisasi Perda DIY Nomor 2 Tahun 2021 tentang Pemeliharaan dan Pengembangan Bahasa, Sastra dan Aksara Jawa.

Kegiatan yang diselenggarakan Dinas Kebudayaan (Kundha Kabudayan) DIY, Sabtu (19/8/2023), di Sanggar Suryo Bawono, Playen Gunungkidul kali ini juga dihadiri Ahmad Fikri, pegiat Aksara Jawa.

ARTIKEL LAINNYA: Tiga Sajak Penyair Pulo Lasman Simanjuntak

Nuryadi sepakat, budi pekerti sebagai bagian dari budaya Jawa perlu diajarkan sejak dini kepada anak-anak saat masih duduk di bangku Sekolah Dasar (SD). Tujuannya supaya mereka di mana pun mampu bersikap sopan dan santun serta memiliki unggah-ungguh. “Dulu, kita berjalan depan orang tua, kita ndhungkluk,” jelasnya.

Lebih lanjut, Nuryadi yang juga Ketua DPD PDI Perjuangan DIY ini teringkat dulu saat masih duduk di bangku SD, ada satu hal yang paling membanggakan bagi seorang murid yaitu saat menyambut guru datang.

Ada yang menuntun sepeda dan ada yang membawakan tasnya. “Itu yang sekarang hilang, apakah karena muridnya, bisa iya, bisa juga karena perkembangan zaman,” kata Nuryadi.

Dia mengakui, memang terdapat banyak kendala manakala Yogyakarta melestarikan budayanya, termasuk aksara Jawa.

ARTIKEL LAINNYA: Berpakaian Kejawen Bawa Kentongan, Pawai HUT RI di Jonggrangan Bantul Meriah

“Pasti ada tantangan. Pasti ada kendala yaitu orang sudah tidak berminat. Jika masyarakat tidak berminat dan pemerintah tidak peduli, pasti akan hilang,” ungkapnya.

Menurut Nuryadi, aksara Jawa harus dilestarikan sehingga bisa memperlihatkan nuansa Yogyakarta sebagai pusat kebudayaan Jawa.

Selain aksara, busana khas Yogyakarta juga perlu dijadikan sebagai kebanggaan. “Mohon maaf kita beda dengan Bali, kalau di Bali pakaian merupakan adat kebanggaan, kita masih sering jadi hambatan. Karena kita tidak biasa saja,” tambahnya.

Di hadapan 30 orang peserta dari berbagai kapanewon di Gunungkidul sekaligus sebagai relawan yang siap mendukung program itu, Ahmad Fikri menyampaikan dengan adanya Perda DIY Nomor 2 Tahun 2021 diharapkan masyarakat mengerti bahwa sudah ada regulasi yang melindungi eksistensi budaya Jawa secara keseluruhan.

ARTIKEL LAINNYA: Melestarikan Tradisi, Kalurahan Sabdodadi Gelar Kenduri Ageng

Ke depan, kata dia, perda tersebut perlu segera ditindaklanjuti dengan diterbitkannya peraturan gubernur (pergub) sehingga secara teknis semakin kuat.

“Perda ini tidak semata-mata ingin menunjukkan keistimewaan DIY tetapi justru ini penghargaan terhadap warisan leluhur. Hari ini kita melihat aksara Jawa sangat minim dikuasai oleh masyarakat. Sebagian besar warga Yogyakarta tidak memiliki kemampuan maca tulis aksara Jawa,” ungkapnya.

Ahmad Fikri melihat sangat aneh jika aksara Jawa tidak ditradisikan. “Kenapa kalau belajar gamelan, macapat, jathilan dan sesorah, orang mudah terpanggil dan mudah mendirikan sanggar. Kenapa tidak ada sanggar di Yogyakarta yang fokus pada aksara Jawa,” ujarnya.

Menurut dia, dengan adanya perda dan pergub harapannya akan menginsipirasi masyarakat untuk membentuk sanggar aksara Jawa, selanjutnya mulai lagi menggalakkan tradisi menulis dan membaca aksara Jawa.

ARTIKEL LAINNYA: Di Terowongan Kereta Api Ijo Terbentang Bendera Merah Putih Sepanjang 1.000 Meter

“Hakikat aksara Jawa itu bisa untuk menulis bahasa apa saja, yang penting pada zaman digital ini aksara Jawa nggak punah dan bisa untuk berkomunikasi,” jelasnya.

Ahmad Fikri yang juga pegiat Kampung Aksara Pacibita ini menyatakan untuk masuk ke filosofi Jawa masyarakat perlu diberikan motivasi terlebih dulu, yaitu menguasai aksara Jawa beserta karakternya dan memahami betul tata tulisnya.

“Jika secara teknis mampu menguasai aksara Jawa maka begitu ngomong filosifisnya akan enak. Jika kita tidak bisa maca tulis aksara Jawa pasti tidak punya dasar selain dari ilmu rungon. Perlu ditambah dengan kemampuan maca tulis aksara Jawa, supaya yakin belajar dari serat-nya langsung,” tandasnya. (*)