Cendol Dawet dan Ketoprak Pelajar

Cendol Dawet dan Ketoprak Pelajar

DUA lelaki remaja itu lincah bergerak di atas panggung. Mimik Ija dan Imin, tokoh peran dagelan yang dalam bahasa ketoprak disebut gecul, sepanjang penampilan memancing tawa penonton. Sorak penonton yang mayoritas adalah teman-teman mereka di SMP Pangudi Luhur 1 Klaten, pecah begitu Ija dan Imin masuk pangung dengan gerak tubuh yang agak erotis, menyesuaikan dengan irama gending dolanan laras pelog. Bahkan, ketika irama gamelan sudah berhenti, Ija masih saja menari-nari. Imin memandangi dengan agak bengong. “Wis...wis...wis...,” kata Imin sambil menghentikan gerak tangan Ija.

 

Sabtu (28/9/2019) malam itu, grup SMP Pangudi Luhur 1 Klaten tampil dalam Festival Ketoprak Pelajar 2019 yang diselenggarakan oleh Amigo Group di aula SD Krista Gracia, Jl. Seruni No. 8 Klaten, yang sudah disulap menjadi gedung kesenian dengan peralatan modern.

 

Iki rak malem minggu ta? Wancine ngapèli apa diapèli. Kok malah dha nèng kéné ki ngapa jé, (Bukankah ini malam minggu? Waktunya main ke tempat pacar? Kok malah duduk-duduk di sini, ada apa?),” ucap Ija sambil menuding teman-teman satu sekolah yang duduk manis di atas tikar di depan panggung. Yang dituding hanya tertawa ringan.

 

Woouw... aku ngerti. Iki mesthi kabeh jomblo-jomblo... (Woouw... aku tahu. Ini pasti kalian semua jomblo),” sambung Ija.

Imin menimpali, “Tenang...tenang. Bagi yang jomblo ndhak usah khawatir. Mereka yang PDKT (pendekatan, red) belum tentu jadian. Mereka yang sudah jadian, belum tentu ke pelaminan....”

 

Ratusan penonton yang mengenakan dresscode kaos merah dan memadati gedung kesenian itu tertawa lepas sambil bertepuk tangan. Riuh.

 

Melihat respon yang antusias itu, Imin dan Ija pun kegirangan ikut bertepuk tangan. “Tepuk tangan lagi...,” kata Ija. Sesaat kemudian, Imin melanjutkan, “Tapi, apalah artinya tepuk tangan tanpa saweran....” Jargon itu, sudah banyak digunakan para seniman profesional yang memerankan gecul dalam berbagai panggung. Namun, diucapkan oleh remaja yang belum cukup mengenal duit dalam pentas, justru membuat yang mendengar kembali tertawa. Para juri yang duduk di depan panggung berjarak sekitar 10 meter, pun ikut terkekeh.

 

Setelah tawa mereda, Ija membuat pentas malam itu makin menjadi.

“Min!”

“Apa?”

Jaman saiki sekolah-sekolah wis ana lagu wajibé. Kabèh seka cah SD, SMP tekan SMA mesthi ngerti lagu iki. Mesthi apal! (Zaman sekarang, sudah ada lagu wajib bagi anak sekolah. Semua murid, mulai dari SD, SMP sampai SMA pasti tahu lagu ini. Pasti hafal!!),” tutur Ija.

 

Apa kuwi? (Apa itu?),” tanya Imin.

Rungokna ya! Kupingmu dijembèng... (Dengarkan ya! Telingamu dibuka lebar...,” kata Ija.

GECUL – Ija (kiri) dan Imin (kanan), pemeran dagelan atau gecul dalam Festival Ketoprak Pelajar tingkat SMP di Klaten. Penampilan keduanya, mengocok perut penonton. (Foto: Dok. FKP 2019/Koran Bernas).

 

Yoohh...,” sahut Imin sambil tangannya membelalakkan mata; dan bukan menarik daun telinga seperti diminta Ija.

Ija kemudian mengambil ancang-ancang.

 

“Cendol dawet, cendol dawet segeer!”

Penonton sambil bersorak mengikuti ajakan Ija bernyanyi mengulang ucapan Ija.

Regané pira?,” teriak Ija.

“Lima ratusan nggak pakai ketan...,” sahut penonton.

 

Ija dan penonton kemudian bersama nyanyi tanpa iringan gamelan. “Ji, ro, lu, pat, lima enem pitu wolu. Tak kintang-kintang, tak kintang-kintang. Lo...lo...lo. Ngono lho!”  Berkata begitu, Ija sambil berjalan menuju dinding panggung. Dahinya ia tempelkan di dinding. Lalu, pantatnya digerakkan ke kiri-kanan lalu berputar. Erotis.

 

Ulah Ija dan Imin malam itu, membuat pertunjukan ketoprak pelajar menjadi hidup. Menghibur. Interaksi dua bocah lucu dengan penonton, menjadi kekuatan bagi grup SMP Pangudi Luhur 1 Klaten yang kemudian oleh dewan juri dinyatakan berhak merebut juara umum Festival Ketoprak Pelajar 2019. Selain merebut predikat dagelan (gecul) terbaik, SMP PL 1 Klaten juga merebut penyaji terbaik, sutradara terbaik, kostum terbaik, artistik terbaik, peran putri terbaik II. Padahal, ini adalah kali pertama SMP PL 1 Klaten mengikuti festival ketoprak pelajar.

 

Lakon Rengganis, yang mereka bawakan adalah naskah garapan. Bukan naskah klasik yang biasanya berlatar belakang sejarah kerajaan zaman dahulu. Naskah itu sederhana. Bertutur tentang seorang gadis desa bernama Rengganis yang hendak disunting putera mahkota Kerajaan Tirta Bumi. Sang ibu yang menjadi ratu di kerajaan itu, tidak setuju, Sebab, putera mahkota sudah dijodohkan dengan Sekar Arum yang juga anak bangsawan. Rupanya, perjodohan itu didasari akal licik sang bangsawan yang ingin merebut takhta dengan membunuh putera mahkota dan Rengganis. Naskah dengan durasi pentas 50 menit itu mengambil setting kehidupan di Pulau Bali.

 

Gebyar kostum yang mereka kenakan, didominasi warna merah dan emas. Hanya saja, motif kain yang dipakai pemain beraneka ragam. Ada motif batik mega mendung yang dikenal sebagai ciri khas batik Cirebon. Juga ada kain songket Palembang. Ada pula kain endek tenun khas Bali.

 

Cendol dawet, sebenarnya adalah lirik penggalan yang diciptakan pemusik dangdut Abah Lala dari Boyolali. Lirik sebagaimana digunakan Ija untuk memancing tawa, awalnya digunakan Abah Lala ketika mereka bersama grup MG 86 , berpentas dangdut di banyak tempat. Cendol dawet yang lebih mirip jargon, terasa pas ketika grup MG 86 menyanyikan lagu milik Didi Kempot berjudul Pamer Bojo. Ketika membawakan lagu ini, jargon Cendol Dawet ia masukkan di sela-sela lagu. Cendol Dawet akhirnya populer dan sering ditirukan anak-anak yang menyukai musik dangdut. Di daerah Boyolali, cendol atau dawet yang disajikan dengan segumpal ketan di dalam mangkuk, adalah kuliner khas Boyolali.

 

Popularitas cendol dawet di telinga publik penggemar dangdut dan Didi Kempot, dengan cerdik digunakan oleh sutradara yang mengarahkan Ija dan Imin untuk mencuri nilai dari dewan juri. Dan berhasil.

***

FESTIVAL Ketoprak Pelajar 2019, yang didanai Amigo Group, adalah kegiatan tahunan dan sudah sepuluh kali dilaksanakan. Penggagas kegiatan festival, Bondan Nusantara kepada Koran Bernas menjelaskan, sejak awal festival ketoprak bagi pelajar adalah perwujudan mimpi Edy Sulistyanto, pimpinan Amigo Group, yang sedari kecil menyukai ketoprak dan sering menonton ketoprak tobong yang pentas di dekat rumah tinggalnya.

 

“Sebelum festival ketoprak ini lahir, saya dan Pak Edy melakukan studi kecil-kecilan, untuk melihat potensi berkesenian di kalangan anak-anak. Hasil studi itu mengejutkan. Ternyata, anak-anak di Klaten sejak kecil sudah akrab dengan gamelan. Ini sangat eman-eman kalau tidak diopeni,” tutur Bondan.

 

Di sekolah, ia melanjutkan, guru-guru kesenian seperti kurang dihargai. Predikat guru yang hebat adalah mereka yang mengajar matematika, bahasa Inggris atau yang lain. Guru kesenian, seperti orang-orang yang terpinggirkan.

 

Dengan mengajak Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Kabupaten Klaten, Bondan mengumpulkan guru-guru kesenian. Mereka diajak bicara dari hati ke hati. Setelah diskusi yang panjang, guru-guru kesenian itu kemudian ditantang untuk melatih anak-anak bermain ketoprak dan difestivalkan.

 

“Jadilah kemudian tahun 2010 mulai diselenggarakan festival ketoprak pelajar. Pertama kali hanya untuk pelajar setingkat SMA atau SMK. Ternyata hasilnya memuaskan. Sekolah-sekolah antusias ikut serta. Guru-guru kesenian juga bisa merasa bangga,” kata Bondan sambil membetulkan letak topi putih yang ia kenakan.

 

Bertambah tahun, peserta festival juga bertambah banyak. Konsep yang hendak dibangun Bondan, adalah menggugah berkesenian lewat ketoprak secara bersama-sama. Karena itu, hadiah yang disediakan untuk peserta juga tidak biasa dilakukan di tempat lain. “Setiap bidang penilaian, kita sediakan tiga pemenang. Tujuannya adalah supaya semakin banyak yang merasa senang karena meraih penghargaan,” ujar lelaki yang sejak kecil bersama orang tuanya menggeluti ketoprak.

 

Bondan menambahkan, festival ketoprak untuk tingkat SMP dan SD, tahun 2019 ini baru untuk yang ketiga kalinya diselenggarakan. Tidak lain, alasannya agar pengenalan kesenian ketoprak dilakukan sejak dini.

 

Upaya memasyarakatkan ketoprak, kata Bondan, tidak bisa berhenti hanya sampai pada festival. Karena itu, mereka yang sudah tidak ikut festival karena sudah lulus sekolah, dikumpulkan dan diberi ruang organisasi bernama Alumni FKP (Festival Ketoprak Pelajar). Mereka dikumpulkan dan ditugasi untuk membantu membina kelompok ketoprak di sekolah-sekolah. “Bisa di sekolah almamaternya atau bisa juga di sekolah lain. Lalu, sekali waktu untuk mengisi kekosongan, mereka juga diberi kesempatan pentas,” katanya.

 

Ketoprak, kisah Bondan mengutip hasil penelitian yang pernah ia baca, awalnya lahir di daerah Wedi, Klaten sekitar tahun 1900-an. Ketoprak waktu itu belum menggunakan gamelan, tetapi lesung dan bambu. Sangat sederhana. Seiring tahun, kesenian kelas desa itu beberapa kali diminta tampil di Kadipaten Mangkunegaran, Surakarta. Karena isi pentas sering mengeritik penguasa waktu itu, tahun 1915 ketoprak dilarang pentas oleh pemerintah Belanda. Akhirnya, mulai tahun 1925, ketoprak justru berkembang di Yogyakarta. Diawali dengan pentas tahun 1924 di daerah Demangan. Di Yogyakarta, iringan ketoprak diganti gamelan dan berkembang pesat hingga sekarang.

 

Menggugah kesenian ketoprak di Klaten, bagi Bondan juga bermakna membangkitkan kembali ketoprak di daerah kelahirannya. Upaya seniman ketoprak yang setia pada jalur tradisional ini, rupanya mulai memetik hasil.

 

Setidaknya, pada festival ketiga tahun 2012, tampil seorang pelajar bernama Sukimin. Ia juga menjadi gecul. Dan tahun itu, Sukimin meraih juara gecul terbaik.

 

“Waktu itu saya yang menjadi salah satu juri. Penampilan Sukimin memang bagus. Kelihatan kalau dia punya talenta di situ. Orangnya lucu dan jujur. Orangnya bersahaja,” kata Bondan berkisah.

 

Kini, Sukimin yang memang seorang waria, sering tampil di atas panggung bersama karibnya, Panut yang juga waria. Sukimin menggunakan nama panggung Mimin, sedang Panut memakai nama Apri. Keduanya, banyak mengisi acara dagelan dalam berbagai panggung. Mereka sering tampil dalam limbukan bersama dalang kondang Ki Seno Nugroho.

 

Diakui atau tidak, Festival Ketoprak Pelajar di Klaten, yang pesertanya kemudian melebar datang dari luar Kabupaten Klaten, telah melahirkan artis ternama.

 

Seni drama tradisi itu kembali menggeliat dari tempat kelahirannya. (iry)

 

(Artikel ini juga dimuat di Koran Bernas versi cetak edisi 6 - 20 Oktober 2019).