Tak Lagi Terdengar Denting Mangkok Wedang Ronde
KORANBERNAS.ID, YOGYAKARTA -- Sejak merebaknya virus Corona yang belakangan dikenal dengan nama Covid-19, sejumlah pedagang makanan keliling di kawasan Rukun Warga 08 Kelurahan Sorosutan Kecamatan Umbulharjo Kota Yogyakarta berangsur menghilang.
Apalagi setelah ada imbauan yang ditingkatkan menjadi setengah petaturan untuk tetap tinggal di rumah guna memutus mata rantai penyebaran virus yang telah membawa banyak korban ini. Pedagang makanan baik siang, sore maupun malam banyak yang tidak jualan.
"Mbak Munah pulang ke Madura," kata Fatiqu menjawab pertanyaan koranbernas.id, Selasa (14/4/2020), tentang wanita penjual sate ayam yang tinggal di dekat rumahnya.
Biasanya Munah berjualan keliling mulai sore sampai malam. Karena rasanya enak dan harganya murah, satu tusuk kecil Rp 1.000, Munah banyak ditunggu terutama anak-anak.
Pedagang lain yang kemudian "menghilang" hingga kini adalah Kang Man. Pria berkumis asal Piyaman Gunungkidul hingga belum muncul lagi. Penjual bakmi thig-thog itu biasanya mulai keliling dengan gerobak dorongnya sehabis Maghrib dengan suara khasnya thig-thog thig-thog. Aroma bumbu dan telur yang di-kongseng dengan irus geni sehingga menimbulkan bunyi krag-kreg menjadi salah satu daya tariknya, selain bau harum masakannya.
Ada lagi penjual yang menghilang adalah penjual bakpao. Dengan gerobak genjot-nya setiap sore dia menawarkan lewat speaker dengan musik dan diakhiri kalimat "halal lho". Seharga Rp 3.000, bakpao panas aneka varian rasa ini banyak penggemarnya. Termasuk para lanjut usia yang cocok dengan makanan empuk lagi hangat.
Penjual es krim dan bakery bermerk pun menghilang. Demikian pula es dhung-dhung belakangan juga tak lewat lagi. Sedang penjual siomay keliling masih ada tetapi berkurang jumlahnya.
Ada lagi yang hilang dari peredaran yakni penjual bubur kacang hijau dan bubur ketan hitam. Pria asal Subang Jawa Barat ini sempat muncul dua hari tapi lantas menghilang lagi.
Juga Pak Tri, penjual mi ayam yang tinggal di Dagaran sudah lama tidak lagi jualan. "Padahal enak dan murah lho mi ayam Pak Tri," kata seorang ibu yang biasa membeli.
Pedagang wedang ronde pun ikut-ikutan menghilang sehingga tidak lagi terdengar thintingan (dentingan) mangkuk yang mengeluarkan bunyi khas, bahkan penjual tape keliling dengan sepeda asal Berbah Sleman lama tidak kelihatan.
Bakso dan jamu
Banyak yang menghilang tapi masih ada yang tetap berjualan, salah satunya jamu Jawa. Dagangannya dibawa keliling oleh seorang pria dan menjelang Dhuhur ada lagi penjualnya, mbak Yanti.
Wanita single parent yang tinggal di Mergangsan ini tak pernah absen jualan. Ini semata-mata terdorong oleh tanggung jawab sebagai sumber mata pencarian keluarga.
Usai Maghrib masih ada penjual bakso. Dia adalah pria asal Eromoko Wonogiri Jawa Tengah yang tetap setia mengunjungi pelanggannya.
Demikian juga penjual sayur keliling pagi hari. Bedanya mbak Datik, salah seorang di antaranya, sekarang lebih memenuhi pesanan pelanggannya agar tidak berisiko ada dagangan tidak laku dan bisa pulang tidak terlalu siang.
"Mboten margi kumendel nanging amargi kepepet. Menawi mboten wantun njih mboten nedha," (bukan berarti terlalu berani. Kalau tidak jalan ya tidak makan), katanya kepada koranbernas.id, Rabu (15/4/2020).
Dia juga menjadi tulang punggung keluarga karena suaminya yang menjual jasa angkutan kini sangat sepi penumpang.
Datik pun mengaku selalu dibayangi rasa was-was dengan risiko yang mungkin bisa terjadi. Yang bisa dia lakukan hanya jalan sambil berdoa kepada Allah SWT sebagai satu-satunya tempat dia berlindung.
"Mugi-mugi Gusti Allah tansah njangkung gesang kula," (Semoga Allah selalu melindungi hidup saya),” katanya sambil berlalu meneruskan perjalanan mengantar pesanan pelanggannya.
Mereka hanya potret sejumput orang dari puluhan keluarga yang terdampak merebaknya Covid-19. Mereka mencari sesuap nasi hari ini untuk hari ini.
Bagi penjual yang nenghilang pun pelanggan tidak bisa berkabar meski lewat HP. Siapa menduga akan terjadi seperti ini sehingga tidak bisa saling berkomunikasi. Semoga mereka tetap sehat berkumpul dengan keluarga di kampung.
Meski sulit mencari uang di sana, tapi tanah subur menjadi harapan mereka. Sayuran di sekeliling rumah, umbi-umbian bisa menjadi makanan sehat seadanya.
Kini mereka menunggu suasana normal lagi agar bisa kembali merantau ke Jogja. Di perkotaan mereka merasa lebih mudah mencari rezeki. Buktinya jauh-jauh mereka ke sini. (sol)