Pilkada, Isu Agama dan Politik Uang

Pilkada, Isu Agama dan Politik Uang

KORANBERNAS, JOGJA -- Pilkada 2020 di tiga kabupaten di DIY seperti Sleman, Bantul dan Gunungkidul diperkirakan bakal ramai. Karakteristik masing-masing kabupaten memunculkan banyak calon pemimpin daerah, baik dari petahana maupun nama-nama baru.

Yang menarik, berbeda dari DKI Jakarta yang sarat politik identitas, “barang dagangan” itu ternyata tidak laku digunakan untuk mendulang suara di pilkada nanti. Pengamat politik dan ilmu pemerintahan Universitas Muhammadiyah Yogyakarta, Zuly Qodir, kepada KoranBernas di kampus setempat, 18 Februari 2020 lalu mengungkapkan politik identias, dalam hal ini terkait agama, tidak akan banyak muncul di pertarungan pemimpin daerah di DIY.

"Soal (politik) identitas agama ataupun etnis di Yogyakarta tidak akan berjalan efektif di pilkada nanti," ujarnya.

Namun soal politik uang, kemungkinan tersebut bisa saja terjadi pada pilkada nanti. Hal yang sama juga terjadi di daerah-daerah lain di Indonesia.

Meski demikian, tidak semua biaya politik para calon bupati/wakil bupati bisa disebut sebagai politik uang. Biaya politik sah saja dikeluarkan calon pemimpin daerah, seperti untuk membeli atribut kaus, bendera, makan dan kebutuhan kampanye lainnya.

"Tapi kalau memberikan uang untuk membeli suara di TPS atau saat pemilu, kemungkinan itu akan tetap terjadi. Itu yang jadi tantangan berat di pilkada seluruh Indonesia, termasuk di tiga kabupaten di DIY yang akan menyelenggarakan pilkada," tandasnya.

Petahana Diuntungkan

Terkait kontestasi politik, menurut Zuly, petahana di masing-masing kabupaten akan diuntungkan, baik bupati atau wakil bupati yang akan saling bertarung. Pertama, nama petahana sudah dikenal masyarakat karena sudah memimpin lima tahun terakhir, akan menguntungkan mereka dalam bertarung nanti.

Yang kedua, petahana juga mulai dikenal di kalangan birokrat. Berbagai program yang sudah digagas dan dilaksanakan selama bekerja akan jadi pertimbangan birokrat memilih mereka.

"Petahana dimanapun selalu diuntungkan dalam pilkada," ujarnya.

Namun pasangan yang akan digaet oleh para petahana pun bisa jadi penentu kemenangan. Elektabilitas calon-calon baru yang akan mendampingi petahana pun diperhitungkan para pemilihnya.

Selain itu, tingkat akseptabilitas di kalangan masyarakat bisa jadi akan membuat calon-calon pasangan petahana pun dilirik pemilih. Keduanya harus saling beriringan karena tanpa salah satunya maka sulit untuk menaikkan jumlah pemilih bagi petahana.

"Jadi orang populer belum tentu dipilih, tapi orang yang tidak populer tapi karena tingkat akseptabilitasnya tinggi maka bisa menang," ungkapnya.

Di Bantul misalnya, dua tokoh petahana yakni Suharsono dan Abdul Halim Muslih hampir dipastikan akan berseberangan jalan dalam pilkada kali ini. Halim yang merupakan kader PKB memilih menggandeng tokoh PDIP, Joko Purnomo dalam koalisi mendatang. Sedangkan Suharsono akan maju dengan calon lain. Meski belum menyebut nama, politisi Gerindra ini disinyalir akan maju dengan putra daerah lain.

Kedua petahana ini memiliki elektabilitas tinggi meski masih lebih besar Suharsono. Namun dari sisi akseptabilitas, Halim justru lebih tinggi dibandingkan lawan politiknya. Apalagi di Bantul kekuatan NU masih cukup baik sehingga bisa menyulitkan Suharsono.

"NU dan PDIP yang mendukung pak Halim secara resmi, bisa jadi lawan yang berat bagi pasangan Suharsono," ungkapnya.

Munculnya isu intoleransi di Bantul selama kepimpinan Suharsono, menurut Zuly, hanya akan berpengaruh negatif pada suara aktivis dan akademisi. Namun isu itu tidak akan banyak berdampak pada pemilih lain di masyarakat. Hal ini berbeda dengan Sleman yang tingkat akademisnya lebih tinggi.

"Dugaan saya sebagian besar masyarakat, isu intoleransi tidak sampai sehingga tidak banyak berpengaruh pada elektabilitas Suharsono di Bantul. Beda kalau soal tanah atau korupsi pembangunan, maka akan jadi masalah serius di Bantul," ungkapnya.

Sedangkan di Sleman, kemenangan Sri Muslimatun jadi bupati menggantikan Sri Purnomo tergantung dari pasangan yang akan digaetnya. Muslimatun yang mendaftar lewat Gerindra akan ditentukan suaranya dari pasangan yang akan maju nanti.

Sebab bila pasangannya tidak mendapatkan akseptabilitas tinggi, maka justru akan jadi nilai negatif bagi Muslimatun. Anggapan siapapun wakilnya namun kemenangan ada di tokoh bupati, tidaklah benar.


“Kan bisa jadi calon bupatinya tidak terlalu tinggi nilai akseptabilitas di masyarakat, namun wakilnya tinggi, sehingga justru wakilnya yang menaikkan nilai jual dan akseptabilitas bupatinya. Ini juga terjadi di Sleman, siapa yang akan dibawa Muslimatun," terangnya.

Munculnya nama anak Amien Rais, Mumtaz Rais, yang digadang-gadang akan maju, disinyalir akan berpengaruh di Sleman. Meski secara nasional nama Amien Rais di PAN sudah turun popularitas dan wibawanya, di Sleman dan Yogyakarta masih cukup tinggi.

Karenanya bila tidak ada nama lain dari PAN yang maju, maka suara Muhamadiyah akan mendukung Mumtaz Rais. Tapi bila ada nama tokoh seperti Sadar Narimo dan Srihandayani, maka suara PAN di Sleman akan terpecah.

"Saya dengar Sadar Narimo juga maju. Jadi ada calon lain dari Muhammadiyah. Suara dari Muhammadiyah nanti bisa jadi pecah," ujarnya.

Sri Purnomo yang merupakan tokoh berpengaruh di Sleman pun nantinya diperkirakan akan menentukan siapa yang maju dari PAN. Meski anak Sri Purnomo, Raudi Akmal, terganjal tak bisa maju bupati/wakil bupati, Sri Purnomo kemungkinan akan bersuara untuk menentukan siapa yang maju.

"Karena Pak Sri cukup disegani dan memiliki pendukung yang baik, maka akan berpengaruh untuk siapa yang akan dipilih PAN nanti. Jadi siapapun kandidat yang maju, sebaiknya konsultasi dengan Pak Sri," ujarnya.

PDIP yang mempunyai 11 kursi di DPRD Sleman, lanjut Zuly, nantinya juga berpotensi menang. Namun PDIP yang tidak punya tokoh, harus berkoalisi dengan partai lain agar menyedot suara bila tak mau kalah.

"Karena bagaimanapun suara PDIP bagus di Sleman, tapi soal pilkada adalah soal figur. Berbeda dengan Pileg," katanya.

Di Gunungkidul, wakil bupati Immawan Wahyudi yang akan maju menggantikan Badingah pun harus menentukan pasangan yang tepat. Sebab PAN dan PDIP akan bersaing ketat di kabupaten tersebut.

Immawan walaupun memiliki akseptabilitas cukup baik di masyarakat, harus hati-hati dengan isu intensitas konflik pariwisata selama lima tahun terakhir. Bila terbentuk persepsi negatif pada diri Immawan saat berpasangan dengan Badingah, maka bisa jadi titik negatif bagi pencalonannya.

"Tapi bila isu itu tidak sampai ke masyarakat, maka Immawan bisa menang. Tapi juga tergantung siapa pasangannya. Kalau lembek, ya sulit," ungkapnya.

Nama Rektor UNY, Sutrisna Wibawa, yang siap maju di pilkada Gunungkidul, akan semakin menambah ramai kontestasi politik di kabupaten tersebut. Tidak punya latar belakang politik, Sutrisna harus memanfaatkan modal sebagai warga Gunungkidul dan membuat jaringan orang Gunungkidul di
luar kabupaten untuk memilih dia.

"Sutrisna harus meyakinkan masyarakat kalau akademisi bisa menyelesaikan masalah, maka pesaing berat Immawan ya pak Sutrisna. Karena orang sekarang mempercayai tokoh yang dianggap agak baik adalah akademisi ataupun agamawan," ulasnya. (yve)